1 minggu yang lalu
Sepenggal Kegelisahanku Pada Sesama Spesies
Kembali ke ilmiah. Sejarah awal ilmu dan filsafat telah kututurkan secara ringkas sebelumnya. Pemikiran ilmiah ini kiranya menjadi muara atas segala kerisauan, persoalan hati, rutinitas, canda tawa, dan segala rintang masalah yang menghadang. Ia menjadi obat penenang, membuatku merenungi kelemahanku di hadapannya Yang Maha Besar. Ilmiah, ya kuperhatikan alam sekitarku yang mulai tak beres.
Sudah lama aku khawatir terhadap alamku sayang. Hutan-hutannya mulai menipis. Padahal menjaga satu pohon saja dapat meghidupkan dua sampai tiga manusia. Sudah hutannya ludes, kayu-kayu gelondongan itu pun tak membuat negeri kita menjadi sejahtera, karena barang-barang itu ilegal dan diekspor keluar tanpa izin. Maka rugilah negeri kita bertriliun-triliun rupiah. Selanjutnya, terjadilah bencana. Mulai dari kabut asap tebal, telah membuat ribuan orang sesak nafas. Asap itu pun mengusik negeri seberang, membuat malu negeri kita. Tak lama kemudian, banjir melanda, disusul lonsor. Nah bencana itu balik lagi ke kita kan! Makanya sejak dini mulai dari diri sendiri, kita jaga lingkungan kita ini agar tetap berseri-seri. Tabungan oksigen buat cucu-cucu kita nanti.
Kegelisahanku kian melebar saat mengetahui kekeliaruan di lautku tercinta. Kini sumber daya ikan tak lagi melimpah, produksi ikan-ikan pelagis, ikan karang, dan ikan perenang cepat mulai menurun. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ikan kita kebanyakan dicuri ole pelaut-pelaut asing. Pelaut yang menggunakan kapal-kapal raksasa yang disokong oleh perusahaan ikan raksasa pula. Mereka mengeksploitasi ikan tanpa perhitungan. Untuk memacing segelintir Tuna, mereka mengorbankan mahkluk-mahkluk lain. Dimana alat tangkapnya didesain untuk menjerat hewan lain pula. Kejadian ini biasa disebut tangkapan samping. Celakanya, setelah terjerat, tangkapan samping itu dibuang kembali ke laut, karena dianggap tidak berguna.
Penangkapan pun dilakukan secara hantam rata. Mereka tidak memperhatikan umur produksi, keberlangsungan generasi dan mengganggu proses pemijahan yang akan melahirkan generasi-generasi ikan pelanjut. Makanya volume, bobot ikan dari tahun ke tahun makin menurun akibat perlakuan tadi. Sepertinya pemerintah harus melakukan pengendalian dalam dunia tangkap-menangkap. Kapal-kapal penangkap raksasa dibatasi, dibuatkan daerah perlindungan laut untuk menjaga ekosistem. Tidak memberlakukan alat tangkap yang mengakibatkan tangkapan samping. Serta memperbaiki perekonomian nelayan kita.
Lingkungan yang makin tergerus tanpa batas. Kutahu bahwa ini semua adalah ulah manusia, spesiesku sendiri. Mereka mengeksploitasi alam untuk kepentingan sendiri, sudah tak ada lagi penghargaan pada alam. Alam cuma dijadikan alat semata untuk kejayaan manusia. Semuanya bepusat pada manusia, Antroposetris.
Seperti tidak ada rasa penyesalan dalam diri manusia, proses itu terus berlangsung, tak ada yang sanggup menghadang tindakan mereka. Gerakan asimilasi perbaikan tak sebanding dengan laju pengrusakan. Faktor pembatas tak berlaku untuk manusia, akselerasi rantai makanan pada organisme hewan pun tak diadopsi manusia. Mungkin karena spesiesku ini adalah pemangsa puncak, dimana manusia dapat berbuat apa saja, lantaran tak ada yang menjadi pemangsanya. Pemangsanya mungkin berupa penyakit, bencana, atau takdir yang juga hadir lantaran ulahnya, bapak, kakek, pendahulunya yang terus-menerus mewariskan prilaku tak senonoh terhadap alam.
Kelincahan manusia berbanding terbalik dengan kekacauan alam. Setiap kali manusia mendapatkan ilham untuk sebuah inovasi, saat itu pula muncul kekacauan dipermukaan bumi. Setiap kali para dokter menemukan vaksin, antibiotik, serum, untuk penyakit tertentu, saat itu juga penyakit tersebut bermutasi dan menampilkan wajah baru dan butuh obat baru lagi. Contohnya pada disiplin ilmuku yang tak terlalu kupedulikan, bahwa ketika satu permasalahan berusaha diselesaikan, tentunya dengan menggunakan teknologi manusia yang sedikit jauh dari biotik, memang manusia jarang mau menjamah hal-hal yang tak segera menguntungkan, atau sifatnya jangka panjang. Karena ketamakan itu, manusia selalu mencari cela jalan pintas untuk memberangus secepatnya masalah berupa penyakit yang muncul. Pada tambak yang terinfeksi virus white spot (bintik putih) penyakit yang membuat kebanyakan petambak jantungan, strok karena dampaknya dapat membunuh keseluruhan udang yang dipelihara.
Makanya jalan tercepat yang ditempuh yaitu dengan asupan antibiotik. Dengan demikian, udang yang dipelihara dalam waktu singkat dapat pulih kembali. Tapi, jangan gembira dulu, karena virus tersebut tak mungkinlah mati semua, kemungkinan besar ada yang dapat bertahan dari terjangan antibiotik. Dan yang bertahan inilah yang akan mewariskan keturunan yang juga dapat bertahan dari bebagai obat yang dilancarkan kepada pendahulunya. Virus tersebut bermutasi, terjadi kekacauan genetik secara kebetulan, dan hal ini tak dapat ditembus oleh senjata apa pun. Kecuali jika diadakan lagi penelusuran, penelitian terhadapa virus mutasi tersebut. Lalu membuatkan penangkalnya. Namun peristiwa itu pastilah berulang lagi, mereka bertahan lagi dan melahirkan keturunan yang resisten lagi. Kita seperti main kucing-kucingan dengan alam.
Menurutku, jalan satu-satunya yang dapat dilakukan adalah Back to nature. Memang hal ini adalah opini usang, ungkapan orang-orang yang sirik terhadap prilaku orang terhadap alam yang dapat memberikan keuntungan yang melimpah. Tapi, saya kira ini untuk mereka juga, karena pada perinsipnya kita tak dapat melawan alam, kita mesti hidup selaras dengan alam. Kita tak usah malu meniru usaha para petani yang menerapkan pupuk organik dalam mengolah tanah mereka. Untuk tambak mungkin sekali lagi kita cukup memberinya waktu untuk istirahat sebentar. Lahan tersebut jangan terus dipaksa, digerus, mereka pun perlu asupan udara segar, pancaran sinar matahari pagi. Serta memperkenalkannya dengan saudara mereka, berupa kumpulan bakau yang ditanam cukup dipinggir-pinggir pematang. Selain itu ada baiknya jika kita mencoba untuk memberi pula keleluasaan pada organisme peliharaan untuk hidup tenang di tambak kita. Memberinya sedikit banyak tempat untuk bersantai dan bermain dengan kawan-kawannya. Ya.. kepadatannya mesti di pikirkan kembali.
Mengenai prilaku manusia mungkin aku sedikit keliru. Aku sempat menggeneralkan manusia dalam berprilaku, padahal ada juga manusia yang sangat sayang terhadap alamnya. Karena cintanya, ia mengorbankan apa saja, baik harta, waktu, tenaga dan orang-orang dekatnya. Mereka mungkin sangat mencintai kebersihan, menghemat dalam menggunakan air, menanam pohon di pekarangan rumahnya, atau menerapkan prinsip recaycle, reuse, recovery dalam berindustri.
Aku tak tahu berada dalam titik mana. Berpihak pada siapa? Untuk saat ini idealismeku terhadap lingkungan belum terberi, entah sampai kapan. Aku sekadar khawatir saja terhadap alamku, bumi yang kupijak saat ini. Aku menganggapnya seperti mahluk hidup yang setara dengan manusia. Bahwa alam juga ingin hidup dengan cara dan aturan mainnya sendiri. Manusia karena ketamakannya telah menggeser aturan alam, membuatnya kritis dan membuat organisme lain kewalahan berjuang pada lingkungan yang tipis unsur kehidupan. Mereka makin miskin, bukan tak punya uang, tapi tak punya ruang lagi.
Aku mungkin bisa disebut sebagai pemerhati. Pemerhati yang bisu. Aku hanya dapat melawan konspirasi dunia ini lewat kata-kata yang tertorehkan. Entah dibaca atau tidak, pikiran dan kegelisahanku terhadap lingkungan telah tercurahkan. Meski pengetahuanku terhadap alam bisa dibilang minim, aku tetap rela menegur orang yang buang sampah sembarangan. Minimal bekas plastik belanjaanku tak aku cecerkan ke mana-mana. Meski minim, tapi jika semua manusia berbuat demikian, bisa jadi kekacauan itu bisa diminimalisir. Bau amis selokan, atau samping rumah makan mungkin tak ada lagi. Kita pun dapat dengan nikmatnya menghirup udara segar yang bertebaran menutupi ruang-ruang padat bumi kita.
Berbagi Gelisah..
0 komentar:
Posting Komentar