1 minggu yang lalu
Hujan di Hari Ini
Kalau bukan hujan apalagi. So… sudah pasti hujan. Ya ya, belakangan ini kota sering terguyur hujan. Memang sih sekarang sudah musimnya, tapi kok tak mati-mati, tak henti-henti. Terus melaju seperti anak panah yang mencari sasaran. Turun terus, emangnya kami ini tak punya pekerjaan di luar sana. Emangnya kami harus terus terkurung di dalam rumah. Hujan, kenapa sih ngambek, siapa gerangan yang membuat kamu nangis terus, apakah ia awan, matahari, angin ataukah bulan yang sementara merunduk di belahan bumi yang lain.
Hujan, tau tidak, kemarin itu rumah pada gelap, jadi susah beraktivitas. Aku tak jadi nyetrika, tak jadi nonton, susah baca buku. Pokoknya, tak ada yang dapat diperbuat gara-gara mati lampu. Aku pun makin curiga, kalau mati lampu kemarin itu gara-gara kamu hujan. Tapi, tunggu dulu hujan, meski lampu mati aku tak kehabisan akal. Aku tetap memanfaatkan waktu untuk berfikir. Menghayalkan sesuatu yang enak-enak. Tau tidak, apa yang aku pikirkan saat-saat seperti itu. Berfikir saat suasana hening dengan cahaya remang-remang. Kita tak usah menutup mata, tak usah bersusah payah menutup telinga dengan bantal guling. Cukup dengan menatap langit-langit rumah, kita pun sudah bisa menghayal. Tentunya menghayalkan berada disampingnya, sambil ngobrol tentang hari-harinya. Dia yang masih ada di ubun-ubun, belum bisa dieksplore hingga kini. Toh setelah menghayal kita jadi cepat bobo, capai menghayal terus.
Mau tau tidak, kemarin lusa, waktu aku masih di kampus, saya jadi terlambat makan siang gara-gara menunggu kamu berhenti turun. Perutku pun gambek, sampai-sampai waktu pulang ke rumah, aku tak sempat lagi makan malam. Hujan, ku tahu bahwa kau tak pernah bosan mendengar ocehan orang-orang, karena kamu tahu bahwa kamu sementara membawa rezki, membuat petani tak menderita lagi. Hujan tak mau menjawab, ia hanya berdiam diri. Menutupi perlakuannya yang telah membuat kita semakin sejahtera.
Hujan, dibantu oleh petir, kilat yang menyambar-nyambar. Kalau kilat datang, aku langsung ketakutan. Telinga pun kusumbat dengan apa saja, agar tak mendengar petir yang menggelegar. Kalau perlu aku masuk ke kolong meja, menghindari sayatan cahaya yang tetap nampak di dalam rumah. Petir, kekuatan alami, kekuatan dengan ratusan juta volt listrik. Petir tentunya hadir dengan memberi kita pengharapan. Harap-harap cemas para petani akan datangnya hujan. Petir yang pada nantinya akan mengaduk uap-uap air, menstimulan terjadinya reaksi elektro kimia pada unsur-unsur yang melayang-layang di atmosfer. Kemudian menangkap unsur-unsur itu, seperti nitrogen yang dominan serta oksigen di udara. Reaksi-reaksi itu menghasilkan senyawa nitrat. Hujan telah membantu nitrat ini turun ke bumi, kebetulan senyawa ini sangat di butuhkan oleh tanaman, dengan begitu hujan telah membantu tanaman untuk menemukan santapannya.
Huh.. meski begitu, aku tetap kesal sama hujan. Sejak kedatangannya beberapa minggu lalu, kepalaku kapok dibuatnya. Sebentar-sebentar pening, nyut-nyut. Hidung pun mulai tersumbat. Ini yang aku tak suka, tanpa mengingat waktu aku sering membuang kotoran yang menyumbat hidung, dimana pun. Kotaran itu tak pernah mau kompromi untuk segera dibuang. Baik saat kuliah, saat menatap ia yang lagi asyik membaca. Atau berdua dengannya. Virus itu menjadi semacam parasit yang terus menggerogoti kesenanganku. Etos kerja juga mulai merosot, dahulu, kalau malam-malam mulai larut, aku tak lekas tidur dan terus beraktivitas, tapi kini setelah virus itu menjangkiti, aku makin doyan tidur, menuruti rasa malasku. Ini tak lain karena kepala yang berat, mata yang sayup, dan tubuh yang lemas. Hari-hariku tambah tidak produktif jadinya.
Tapi, pikir-pikir enak juga sih kalau hujan. Udara disekitar jadi sejuk, apalagi kalau deras, uhh sejuknya, bulu kuduk jadi berdiri deh. Belum lagi kalau teh hangat disajikan di depan mata. lansung santap, amboi nikmatnya. Aku sering duduk-duduk di beranda rumah kalau hujan deras turun. Aku menatap bulir-bulir air yang melompat-lompat di tanah, melihat bunga-bunga menari tertempa hujan. Kuperhatikan bunga-bunga kecil yang menjalar di pekarangan rumahku. Kok tambah banyak, tambah semerbak. Ini pasti ulah hujan. Ia telah memberinya ruang untuk tetap hidup, mekar, membuat mata dan pikiran pun tambah segar. Alam menjadi basah, debu-debu menghilang, ia bermetamorfosis menjadi lumpur, menyatu dan melekat menjadi tanah. Kalau hujan pikiran jadi jernih, karena kian jernih, jadi aku makin bebas berfikir, berfikir tentang apa saja. Berfikir tentang teori-teori sistemik, berfikir tentang laut, atau memikirkan ia yang mungkin juga saat ini sementara menghayal karena hujan. Ini adalah sebuah keberuntungan, karena jarang-jarang kita mempunyai kesempatan berfikir tenang, makanya kumanfaatkan saja. Aku ingin mengeksplore semua ide-ide gila yang ada di kepala. Lagi pula belakangan ini aku sering memikirkan hal-hal sepele, tapi sedikit kereatif. Segala yang aku perbuat, aku sering mengkait-kaitkannya dengan sesuatu, menghayalkannya menjadi sesuatu dan sesuatu itulah kekuatannya.
Coba lihat, tatap jendela sekarang, pasang telinga baik-baik, hujan lagi deras. Orang sementara mengenakan payung, mengangkat celananya tinggi-tinggi agar tak terkena lumpur. Aku harus ngetik cepat-cepat, takut nantinya mati lampu. Kalau sudah mati lampu, mampus deh. Ngetiknya terhambat, lagian ide-ide yang biasanya bersiliweran tidak tersalur. Oh hujan, berkah apa lagi yang kamu torehkan kepada kami, bencana apa pula yang muncul karena kunjunganmu. Beberapa hari lalu, tepatnya awal Januari, terjadi peristiwa tragis, kecelakaan pesawat Adam Air. Aku memperhatikan dan mengikuti berita itu tiap hari.
Sejak kejadiannya, empat hari lalu, pesawat tersebut belum juga diketemukan. Awalnya diperkiraan jatuh pada pedalaman Mamuju, Sulawesi Barat, namun belakangan berita itu ternyata tidak valid. Informasi berupa 12 korban yang selamat dan sementara di evakuasi belakangan hari terbukti keliru. Simpang siur berita tersebut, bukan hanya karena kesalahan informan beserta pejabat teras sekitar, tapi juga kesalahan wartawan yang meliput peristiwa tersebut. Ini merupakan kesalahan yang sangat fatal. Karena berhubungan dengan pembodohan masyarakat. Untuk itu kiranya, para pahlawan informasi ini lebih tekun menggali berita, jangan asal caplok saja, tanpa memperlihatkan bukti yang kuat. Ngomong-ngomong dari tadi kan kita bicarakan hujan, tapi kok, lari ke wartawan. Tapi, jangan salah, yang menyebabkan pesawat itu karam kan juga karena hujan. Kalau bukan hujan siapa lagi. Tapi, bukankah banyak pesawat lain yang tetap mengudara dan tidak jatuh. Kalau itu sih tergantung keberuntungan. Bisa juga karena faktor fasilitas yang kurang mendukung. Dapat pula karena kerusakan jaringan komunikasi. Entahlah, tapi belakangan ini memang rawan bencana, bukan hanya di udara, tapi juga di laut.
Tanggal 2 Januari kemarin. Pekerjaan hampir terhambat gara-gara hujan. Untung saja yang kamu bawa cuma air, kalau besi bisa berabe. Malam itu, hasil layout identitas harus diantar secepatnya ke percetakan. Kalau tak cepat-cepat, pak Agus yang biasa bantu kami mengkalkir identitas di Harian Fajar bakal pulang ke rumah. Demi mengantarnya layout identitas itu, saya bersama seorang rekan terpaksa menerobos guyuranmu. Melewati jalan-jalan licin karenamu. Mengejar waktu agar segera ke Harian fajar. Untung saat itu baju saya dilapisi sweter, busana bagian dalam tak terlalu parah. Air mengumpul pada sweter tersebut. Lagian, saya hanya dibonceng. Tapi, biarpun begitu, tas dan celana tak bisa lolos dari guyuran hujan. Ketika sudah sampai di tempat kalkir, hujan mulai reda. Tapi kami berdua tetap kedinginan karena melawan angin malam.
Ya sudahlah. Hari itu seperti hari-hari biasa saja, seperti kemarin dan seperti lusa. Yang beda hanya karena adanya perasaan gelisah, cemas, harap. Sesuatu yang berkelabat dalam dada yang tak tahu harus dihempaskan kemana. Terpaksa ia yang tak tahu berbentuk apa, hanya menjadi bunga-bunga tidur saja, atau sekadar pengantar ke mimpi-mimpi lain yang lebih nikmat dan lebih segar. Hari pun berlalu dengan berat. Aku seperti ingin menghentikan detak jam dinding untuk menundanya beranjak. Agar aku dapat berfikir jernih untuk berbuat sesuatu. Namun, jam tetaplah jam seperti biasanya. Meski bergerak, tapi ia tetaplah benda mati, benda yang tak pernah mengerti. Hingga pukul 12.01 malam tanggal 3 Januari. Dan saat itu, hujan turun dengan derasnya.
Esok harinya kutemukan pagi yang cerah, langit biru tanpa awan. Aku kembali duduk di beranda, tepatnya di kursi plastik berwarna merah. Kukunyah permen mind, sebelah tanganku menyentuh pinggir cangkir yang hangat, cangkir yang berisi teh sariwangi. Kumenerawang, mencoba mengingat-ingat sesuatu. Sesuatu yang memang sering hadir saban pagi, di tempat ini. Mengingat sebuah nama, sebuah pesona yang tambah hari demikian mekar lagi ranum. Aku hanya dapat menghirupnya, memandanginya dengan nikmat. Tapi tak bisa kusentuh, tak bisa kubelai. Ia seperti menyimpan bisa, yang bila disentuh menyebabkan pelakunya akan gemetaran, lalu layu. Walau begitu ia tetap menjadi yang teristimewa. Namun sayang, ada sesuatu yang terlupa, kukorek-korek, ternyata pagi tak basah lagi. Tapi kutetap merindukan hujan, kurindu lembab dan sejuknya. Karena hujan dapat menggantikan dan mengingatkan ia yang lagi mekar disana.
“Hujan, kapan kau kembali,,,,,,,,”
Idham Malik
6 Januari 2007
1 komentar - Skip ke Kotak Komentar
mantap kak...
update terus kak
supya saya bisa dapat tambahan bacaan juga...
Posting Komentar