1 minggu yang lalu
Mengenal Jurnalisme dari Dekat
Habis magrib, anda sedang asyik bersantai bersama di ruang keluarga. Sembari menyeruput kopi hangat ditemani kripik pisang, atau kacang goreng sisa kue lebaran, saat itu tanpa sadar anda sementara diserbu sekawanan informasi. Sekelompok berita yang akan menyita waktu dan pikiran anda, mereka datang lewat layar kaca dari berbagai channel. Anda diajak untuk menyimak sesuatu yang penting. Dari soal pendidikan, sekolah roboh, jalanan berlubang, pelayanan pemerintah, perampokan dan lain-lain. Anda secara tidak langsung diajak paham dan terlibat.
Kalau sudah paham, rasa penasaran menjalar ke benak anda, kalau sudah begitu, ada kemungkinan anda menularkannya kepada teman dekat anda. Pemberitaan mengenai ketidakbecusan dan korupsi di pemerintah dan parlemen membuat anda marah, begitu pula dengan orang lain yang menyimak informasi tersebut. Karena masyarakat sudah tahu, dan bernafsu untuk menggagalkan proyek ketakbecusan itu, jadinya kebijakan yang semula merugikan anda dan masyarakat umum akhirnya dapat diubah, serta mengakhiri kebejatan para pelayan dan wakil rakyat itu. Begitulah mungkin sederhananya peranan media sebagai penyampai informasi dan forum kritik dan kesepakatan publik. “Publik right to Know”..
Dalam hal profesionalitas Jurnalisme pun tak luput dari kekeliruan. Meski tetap terdapat sejumlah jurnalisme yang tetap mengedepankan orisinalitas, aktual, loyalitas publik serta aspek kebenaran suatu berita, tetap saja ada sekelompok pelaku jurnalisme yang tak memprioritaskan elemen-elemen itu. Jurnalisme model ini dinamakan Bad journalism, media yang kurang cakap melaporkan pemberitaan yang perlu diketahui masyarakat. Media yang melakukan pemberitaan terhadap suatu peristiwa secara dangkal, sembrono, data tidak lengkap, tidak akurat serta tidak seimbang (cover both sides).
Hal ini dilandasi kemalasan mencari fakta serta manajemen redaksi yang buruk. Kedangkalan pelaporan tersebut dikarenakan adanya sikap acuh tak acuh terhadap peliputan. Media hanya menjadi penyampai informasi biasa saja, mengikuti formalitas dengan mengisi kolom demi kolom dengan hal-hal halus dan sepele. Enggan berurusan dengan hal-hal yang lebih menantang, penuh pertempuran. Media seperti ini lebih banyak menimba fakta-fakta yang sudah “siap edar” dari narasumber yang sudah rutin dan formal serta “siap wawancara”. Lalu bersama-sama kameramen tv membuat dramatisasi penangkapan yang penuh dengan teriakan dan letusan senjata. Atau kesana-kemari di ruang pengadilan mencari peristiwa yang sudah siap dinilaiberitakan. Semua itu menurut Downie J.R. dan Kaiser, “bukanlah hal baru, atau faktual, interesting, atau penting untuk diberi label news”.
Dari sinilah terjadi bias. Berita yang diterima masyarakat kerap disensor secara invisible. Entah itu terkait dengan ketidakcakapan wartawan, entah dengan visi redaksi, entah pula dengan kesejahteraan dan keselamatan bisnis media. Meski berbagai asumsi itu tidak sahih benar, setidaknya masih melogikakan cacatnya pemberitaan. Buruknya pemberitaan media menyebabkan ketidaktahuan masyarakat.
Jurnalisme yang tetap mempertahankan etika profesinya, serta tanggung jawab yang ia emban tentunya akan menyajikan berita yang akurat dan terjamin kebenarannya. Hasil peliputan yang didasari keihlasan dan kerja keras untuk mendapatkan fakta selengkap-lengkapnya. Sehingga pemberitaan tersebut dapat mencerahkan pembaca dan mengajak mereka untuk berfikir dan memecahkan masalah secara bersama-sama. Pelaku jurnalisme bertugas sebagai penyampai kebenaran. Kebenaran yang dimaksud bukanlah kebenaran mutlak, kebenaran yang sering dikejar-kejar kaum filosofis, tetapi merupakan kebenaran fungsional. Kebenaran mengenai, misalnya, harga bahan-bahan pokok, nilai kurs mata uang atau hasil pertandingan olah raga.
Jurnalisme melaporkan kebenaran apa yang dapat dipercaya dan dimanfaatkan masyarakat masa kini. Berbekal kebenaran tersebut, masyarakat belajar dan berfikir mengenai segala sesuatu yang terjadi disekitarnya. Apakah besok akan hujan? Apa di sana ada kemacetan lalu lintas? Apa jagoan olah raga saya menang? Apa yang ditegaskan presiden kemarin? Dengan demikian jurnalisme menyampaikan kebenaran lewat fakta-fakta yang diketemukannya saat itu. Fakta-fakta yang dilaporkan secara serius.
Ya.. jurnalisme adalah jalan, perinsip yang menata masa depan kita. Karena jurnalisme berbicara tentang fakta, maka tak salah kalau kita sedikit menghargainya. Bukan membuatnya terombang-ambing dalam agresif nafsu, yang kemudian menyalahi dasar melangkah kita, yaitu keihlasan dan kejujuran menyajikan berita..
Di identitas Unhas
0 komentar:
Posting Komentar