6 hari yang lalu
Ungkapan Cinta si Bocah..
Pada suatu negeri yang tak ada lagi, hiduplah seorang bocah pada rumah yang tak ada lagi. Rumah yang hilang bersama orang tuanya, rumah yang gosong, hangus. Ia kemudian hidup sendiri di lorong-lorong, beralaskan tikar karung goni. Kalau pagi ia berangkat ke jalan utama sambil membawa sebuah kaleng bekas. Dengan modal suara nyaring, cempreng, ia bernyanyi sebisanya, kemudian meminta recehan belas kasih para pengguna jalan. Beruntung, bocah yang cukup tampan itu mengenal seorang gadis cilik. Gadis dari keluarga fakir yang hidupnya tak jauh beda dari bocah itu. Mereka berdua kemudian mengadu nasib bersama. Berganti-ganti pekerjaan.
Pada umur tujuh tahun bocah itu mulai mengatakan cintanya. Ia mengatakannya lewat lagu yang ia gubah pada malam-malam bimbangnya. Lagu yang ia bawakan dengan nada merdu diringi musik kecapinya. Gadis cilik terdiam lama saat mendengar lirik yang dibawakan boch cilik. Tanpa ragu dengan keyakinan kuat, bocah terus bernyanyi, mengungkapkan isi hatinya. Setelah lirik terakhir usai, gadis cilik menatap matanya dalam-dalam. Ia mendekat lalu, lalu dengan cepat mengecup pipi si bocah. Nyawa si bocah serasa ingin lari, terbang melayang-layang. Ia tak menyangka akan memperoleh kecupan dari gadis pujaannya.
Ia pun menjadi sepasang kekasih sepanjang waktu. Kalau tak lagi kerja, mereka bermain bersama. Mengunjungi sudut-sudut kota. Main air di aliran irigasi, berlari-lari di taman kota. Hanya malam yang memisahkan mereka, karena gadis cilik harus menyerahkan hasil kerjanya seharian kepada orang tuanya saat langit sudah merah atau jingga.
Pada umur sembilan tahun bocah itu sudah berani mencium bibir gadis pujaannya. Ia merebut kepala gadis itu, membelai rambut panjangnya. Membisikkan kata-kata mesra di kuping sang gadis. Dengan perlahan-lahan ia menyentuhkan bibirnya, memasukkan lidahnya. Lidah mereka bermain. Sebentuk kebahagiaan luar biasa melanda dua insan itu.
Pada umur 14 tahun bocah berkulit merah itu makin berani. Ia memegang erat lengan gadis dan menuntunnya ke lorong sempit dan remang-remang. Gadis yang sementara mekar, pesona yang mengundang banyak mata pria untuk tak memandangnya hanya sekali itu turut manut saja pada ajakan si bocah. Mula-mula ia memeluknya, mendorongnya ke sisi tembok lalu menjatuhkannya ke tanah. Gadis tak dapat lari dan tak berteriak, barangkali ia juga menginginkan hal yang sama, yaitu semacam kepuasan birahi yang sudah klimaks. Malah gadis cilik itu dengan sukarela melepas pakaian dan celana si bocah saat mulut mereka bersentuhan. Pertama bocah itu menyentuh buah dada dengan memasukkan tangan ke sela-sela kemeja gadis cilik, menindih-nindih puting susunya yang kencang. Gadis cilik juga nampak tak sabar. Ia membuka sendiri kemejanya dan meletakkan kepala bocah ke sela-sela buah dadanya. Lama berselang, keduanya asik dalam perjuangan, bermain kuda-kudaan. Sampai nafas bocah cilik habis dan keringat sang gadis bercucuran deras.
Pada umur 15 tahun bocah itu pergi merantau ke negeri orang. Ia diajak pamannya untuk bertaruh, mengorbankan segala yang dimiliki untuk mengadu nasib. Ia dengan terpaksa meninggalkan gadis pujaannya. Meninggalkan ia sendiri dan berharap ia menanti kepulangannya. Sang gadis pun merelakan kepergiannya dengan memperingati bocah agar tetap berkirim surat.
Berbulan-bulan berlalu, kemudian bertahun-tahun, sepucuk surat pun tak muncul. Yang hadir hanyalah kesepian, keraguan dan kebimbangan di benak sang gadis. Ia terlanjur cinta terhadap pria yang mungkin sudah tak bocah lagi. Dengan paras yang tampan dan dewasa. Ia pun tumbuh menjadi remaja yang memesona, dengan mata dan bibir yang indah. Disertai lesung pada sepasang pipinya. Sesaat ia mulai ragu akan kesetiaan prianya.
Sementara pria sedang berjuang dengan getir. Ia pun tak tahu bahwa negeri yang dikunjunginya adalah negeri yang kacau, negeri yang dilanda perang berkepanjangan. Nasib yang diperolehnya malah lebih buruk dari sebelumnya. Ia kemudian bersembunyi di bawah gorong-gorong dengan busana yang sama sepanjang hari. Ia tak mampu melaksanakan tugasnya, yaitu menyurati gadis pujaannya. Yang ia kerjakan hanyalah berjuang untuk hidup, berjuang untuk mendapatkan sepotong roti, tikus bakar, atau serangga yang ia tangkap pada sela-sela batu, untuk ia santap, mengisi ruang-ruang kosong dalam perutnya yang tak pernah penuh.
Sepuluh tahun pun berlalu dengan cepat, negeri itu sudah dalam kondisi baik. Ia pun sudah dapat pekerjaan tetap. Dan,, ia mengingat gadis pujaannya. Ia pun berniat untuk pulang ke negerinya dan meminang sang gadis. Ia ingin melihat paras gadis pujaannya yang dalam benaknya tetap mungil, merah dan cerah. Ia ingin mengetahui apakah gadisnya itu tetap cantik dengan mata yang lentik. Namun sayang, saat bertandang ke rumah gadis, ia sudah ditemani seorang putra yang mungil. Ternyata ia telah menikah dengan kawan lamanya. Ia menikah karena ketakutannya, dan kekecewaan yang ia tampung hari-ke hari. Sang pria mengakui hal itu dengan rasa bersalah yang membara.
Getir menyambangi, menyayat hati yang sudah lusuh... apa mau dikata, kita hanya berharap..
Idham Malik.. Lawas, 2007
0 komentar:
Posting Komentar