5 hari yang lalu
Resolusi untuk Tambak Tradisional Sulsel
Pada januari ini, sebulan sudah perjalanan, perjuangan, dan harapan. Hidup memang tak pernah putus untuk diterjemahkan, dalam pengalaman masing-masing orang, dalam sebuah moment, dalam perangkap suasana. Dalam penempuhan itu, kita kemudian mengenal istilah gagal dan berhasil, tepat sasaran atau melenceng dari perkiraan. Pada semua itu, kita menangkap sebuah rasa dan warna, yang mungkin cerah ataukah kelabu.
Pada sebulan ini, saya mencurahkan cukup banyak waktu untuk mengenal lebih jauh seluk beluk tambak dalam sebagian masyarakat Sulsel. Sebelumnya, pengetahuan tentang tambak sudah banyak saya peroleh di bangku kuliah, juga dalam pengalaman penelitian saat mahasiswa, yang banyak dilakoni di tambak. Namun, kala itu tambak sekadar menjadi media yang diam, yang tak tahu ingin bicara apa. Kini, dalam pandanganku, tambak mulai membuka mulut, suara-suaranya mulai sedikit terdengar, ia mengeluh.
Sebulan lalu, akhir November, saya sempat ke Malili dan Palopo. Di sana tambak masyarakat sangat luas, diisi bandeng dan udang. Sistem pengelolaannya menerapkan metode tradisional, memanfaatkan air pasang. Tampaknya, petani di sana masih sering was-was dengan tambak mereka. Suatu waktu mereka berhasil, namun di waktu lain mereka menuai kegagalan. Dan kegagalan telak biasa ditemukan pada tambak udang, sementara bandeng cukup tahan terhadap serangan penyakit mematikan. Sehingga petani kadang menerapkan sistem campur, udang dan bandeng diisi bersama.
Sayangnya, petani agak sulit menemukan solusi dari persoalan yang memberatkan itu. sebenarnya, petani selalu punya cara untuk belajar, seperti belajar pada petani lain yang berhasil. Misalnya, pada satu kecamatan terdapat satu petani yang berhasil dan yang lainnya pada gagal, otomatis petani yang satu itu menjadi rujukan tentang metode bertambak untuk kondisi daerah setempat. Namun, kadang petani yang berhasil itu juga belum menemukan prosedur yang betul-betul efisien dan ramah lingkungan. Petani mengandalkan pupuk yang lebih condong ke pupuk kimia, mereka menganggap bahwa penggunaan pupuk yang banyak dapat meningkatkan produktivitas ikan dan udang. Solusi lain yang mereka terapkan dengan pengelolaan air, yaitu dengan melakukan penggantian air. Namun, mekanisme itu kadang juga tidak rutin dan terbengkalai, lantaran air tergantung dari pasang. Kadang juga air yang ingin masuk itu keruh, sehingga percuma saja dimasukkan ke kolam.
Petani di malili agak sulit menangani tambaknya yang sangat luas, karena pemakaian terus menerus, otomatis kandungan hara di dalam tanah sudah berkurang, sehingga memerlukan pupuk yang banyak. Namun, endapan pupuk, kotoran ikan dan udang itu sangat jarang dibersihkan dengan cara pengangkatan lumpur atau sekadar dengan pengeringan. Sehingga, kandungan bahan organic semakin meningkat, yang tentu akan berbahaya bagi kehidupan udang. Material organic ini mempengaruhi pH, metabolism organisme, dan menjadi racun bagi udang. Selain itu, bisa diduga juga bahwa material organic menjadi lahan subur tempat tumbuhnya bakteri dan virus berbahaya. Sementara bakteri positif (probiotik) yang berguna untuk mengurai bahan organic dan sisa-sisa plankton mati semakin kurang jumlahnya dalam tambak lantaran kurangnya oksigen, pH rendah, atau lantaran suhu yang ekstrim. Bertumpuknya bahan organic ditandai dengan bau yang tak sedap, lumpur berwarna hitam, yang biasanya banyak mengandung H2S (Hidrogen Sulfida), besi, dan mangan.
Sementara penyakit yang ditemukan pada udang biasanya virus white spot, vibrio, mio, insang merah, atau kropos. Penyakit ini bisa berasal dari inang atau bibit yang tidak tahan penyakit atau bisa jadi indukan awalnya berpotensi terkena virus, bisa juga berasal dari factor eksternal seperti kondisi suhu ekstrim, salinitas tinggi, atau oksigen sangat rendah. Dalam kondisi seperti itu, udang biasanya mengalami stress, kurang nafsu makan, metabolisme tubuh terganggu, pencernaan terhambat, dan ujung-ujungnya pertumbuhan lambat dan kematian.
Sebenarnya, ditinjau dari penyebab munculnya penyakit pada umumnya, di tambak tradisional tidak terlalu banyak. Misalnya padat penebaran pada tambak tradisional sangat renggang, mungkin hanya 5 - 10 ekor permeter, selain itu tidak menggunakan pakan buatan, sehingga sisa pakan tidak tergradasi menjadi kotoran. Namun, kotoran terbentuk dari akumulasi pupuk yang banyak, juga dari feses ikan dan udang, yang dari siklus ke siklus tidak mendapatkan penanganan maksimal. Persoalannya terletak pada pola kebiasaan petani yang selalu memaksakan alam berproduksi. Namun, sulit juga untuk berharap petambak untuk bersabar, karena mereka juga dikejar target untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-harinya..
Untuk itu, sangat dibutuhkan penelitian atau metode yang tepat agar petambak tetap berproduksi tapi lahan juga tidak tergerus kondisinya. Di sini kita mengandaikan dengan teori Malthus, bahwa kebutuhan manusia meningkat, sementara sumberdaya alam semakin menipis. Langkah-langkah taktis yang bersifat berkelanjutan sangat diperlukan, dan pemerintah, masyarakat sipil, tokoh masyarakat, serta akademisi harus merenungkan hal ini. Petambak pun diajak selalu merefleksi aktivitasnya, dan mencari sendiri formula untuk bangkit dari kegagalan..
Kondisi tambak di kecamatan Suppa juga tak beda jauh, petakan tambak di Suppa luasnya hingga 5 hektar, atau sekitar 3 – 4 hektar perpetak. Tapi petambak di sana sudah jauh lebih mengenal tentang teknologi pertambakan udang. Dalam mengatasi persoalan krisis unsur hara dan menurunnya pH tanah dan air, mereka menggunakan kapur. Tentu hal ini sangat menolong, karena menurunnya pH dapat membahayakan kehidupan udang. Di samping itu, mereka melakukan pengeringan, walau kurang maksimal. Untuk mengatasi hama, mereka menebar saponin. Pupuk yang digunakan pun cuma jenis tertentu, rata-rata menggunakan posca dan sp 36 karena mereka anggap dapat mengeraskan tanah. Namun, tambak itu lagi-lagi bermasalah dengan kondisi tanah.
Dari satu petakan yang telah dikuras airnya, akan tampak lumpur hitam dan baunya yang menyengat. Pada tambak ini pun banyak yang kurang dalam dan tak memiliki Karen atau parit. Sehingga, jika tingkat kecerahan meningkat dapat mengganggu aktivitas udang akibat sengatan matahari. Jika terdapat caren dan tinggi air cukup (1 meter lebih), udang bisa bersembunyi dan tidak kewalahan dengan sinar matahari. Harus diketahui pula tingkah hidup udang windu, jenis udang yang lazim dibudidayakan di pinrang dan malili, udang windu selalu beristirahat di dalam lumpur. Celakanya, udang jenis ini punya kebiasaan jika dalam kondisi lapar suka memamah lumpur. Sehingga, pada tambak tradisional yang tidak menggunakan pakan tambahan, sangat rawan terkena penyakit atau udang keropos, lantaran nafsu makan udang yang menurun akibat cuaca ekstrim atau oksigen menurun. ini bisa diamati jika punggung udang kehitaman karena udang justru memakan lumpur.
Di samping hal teknis, pola produksi masyarakat Suppa juga sangat dipengaruhi dengan sistem sewa atau gadai yang lahan tambak yang dilakoni oleh petambak. Petambak sangat memperhitungkan unsur waktu, sehingga setelah panen, mereka mengupayakan dalam jangka waktu dekat akan melakukan penebaran lagi untuk mengejar waktu target penggunaan lahan. Namun, kegagalan sebelumnya sering juga diiringi dengan kegagalan selanjutnya. Mereka seperti bermain dadu, kadang berhasil dan kadang gagal. Alam lah yang mempermainkan tambak mereka. Tapi, mereka mengantisipasi hal itu dengan pengisian bandeng dan udang secara bersamaan. Meski udangnya bermasalah, masih ada bandeng yang menjadi penopang hidup mereka.
Namun, itu adalah cara berfikir yang keliru. Karena benur yang ditebar juga mengeluarkan ongkos, walau ditutupi dengan keberhasilan bandeng. Kalau misalnya ragu akan hasil udang, sebaiknya tidak usah menebar udang, karena pada akhirnya akan gagal juga jika kualitas lahan tidak memadai.
Untuk sementara ini saya berfikir dua paket resolusi untuk pengelolaan tambak tradisional bagi masyarakat Malili dan Suppa. Pertama adalah gerakan pengeringan dan pengangkatan lumpur dalam satu masa dalam setahun. Pola ini harus dipelopori oleh pemerintah beserta tokoh masyarakat yang terkait. Misalnya setelah dua siklus pemeliharaan, butuh waktu jeda pada musim panas untuk sesekali pengangkatan lumpur yang dilanjutkan pengeringan. Pengangkatan lumpur ini bermanfaat juga untuk memperdalam tambak pada bagian parit, mempertinggi pematang. Petambak kurang berminat mengangkat lumpur karena akan mengeluarkan ongkos lagi. Tapi, dengan bantuan pemerintah, saya pikir bisa dimasukkan ke dalam program bantuan. Selain bantuan benur dan pupuk.
Kedua adalah meminimalisir pupuk kimia dan mensubtitusikannya dengan pupuk organik. Kelebihan pupuk kimia dianggap berbahaya bagi kelangsungan tambak, karena akan mengeluarkan amoniak. Sementara pupuk organik akan meningkatkan kualitas tanah dan tanpa melahirkan residu. Petambak butuh informasi tentang pembuatan pupuk organik, misalnya dari pupuk kompos, pupuk biogas, atau dengan kultur fermentasi. Keberadaan kelompok tani yang mengorganisir dan memberdayakan petambak untuk memproduksi pupuk organik sangat menunjang perbaikan kualitas tambak. Mungkin suatu ketika, pemerintah dapat menginisiasi untuk memasukkan informasi dan teknologi pupuk organic ke masyarakat tambak. Di samping itu, tambahan probiotik juga akan membantu merombak bahan organic yang merugikan.
Untuk sementara, hanya dua inilah yang perlu diperioritaskan, khususnya untuk tambak tradisional di Sulawesi Selatan.. ke depannya, semoga akan muncul solusi-solusi baru, yang akan memecahkan problem masyarakat tambak. Seiring dengan semangat dan niat yang tulus, untuk kesejahteraan rakyat sekitar kita.. amin..
Makassar, 6 Januari 2012
0 komentar:
Posting Komentar