Menurut selentingan yang sepotong-sepotong saya dengar di warung-warung air tebu, jangan sekali-kali memperlihatkan anak gadismu pada Raja Limbu. Jika ia sesekali berkeliling hutan dan sempat melihat anak gadismu, yang berkulit sawo dan sedikit berambut, mata teduh dan takut, air liur Raja Limbu yang berwarna merah muda sontak meleleh, matanya yang coklat memerah, dan bulu-bulu kuduknya merinding bagai duri. Raja limbu pun langsung meminta ke kesatria perak untuk merebut paksa gadismu dan menyimpannya ke dalam kelambu di atas kreta. Yang saya dengar, sehabis berkeliling, Raja Limbu biasanya memboyong gadis sebanyak lima hingga tujuh.
Ia paling suka anak gadis kaum indo yang kulitnya jernih dan bentuk tubuhnya sempurna. Yang paling menarik matanya adalah kaum indo yang berasal dari koloni-koloni di pinggir sungai. Kaum yang berasal dari pegunungan Kaukasia karena kulitnya putih, matanya seperti bola pimpong, hidungnya bangir. Keturunan lain yang jadi kegemarannya pula adalah yang berasal dari pesisir sungai Tiang Ze, sungai kuning daratan Cina. Yang para pendahulunya merupakan tabib yang sering terperangkap dalam hutan hujan karena keintimannya mencari daun-daun tanaman obat yang memang hanya terdapat di hutan Kora ini.
Raja Limbu jarang melirik jika berkeliling di tengah hutan, yang berisi kaum pribumi. Soalnya para gadisnya tak beda jauh dengan nenek moyang manusia versi Charles Darwin. Jika berkeliling di sana. Raja Limbu harus melengkapi wajahnya dengan kain pengharum, karena tak tahan terhadap bau kringat kaum pribumi. Bau yang merupakan campuran aroma bensin dan bangkai babi.
Setelah sampai di kediamannya, ia menempatkan mereka dalam kamar khusus yang besar. Di dalamnya telah siap ramuan beraroma melati. Ruangan itu terdiri dari ranjang besar dengan bunga beraneka warna di atasnya. Lilin-lilin dalam gelas kaca yang cahayanya tak pernah redup melingkari ranjang itu. Para perawan baru itu pun lantas di suruh mandi dalam kolam bundar raksasa. Airnya berwarna putih kelabu, seperti susu kelebihan air. Di permukaan air itu melayang lembaran-lembaran bunga dan dedaunan, yang berbau surga.
Ketujuh gadis itu pun mandi beramai-ramai. Mereka mengusap lehernya yang berkeringat, lingkar dadanya yang tampak kebiruan. Rambut-rambut mereka yang hitam kelabu. Air kolam itu sedikit berubah warna lantaran telah bercampur dengan lumpur yang ada di kaki-kaki para gadis, ketombe-ketombe pada rambutnya atau daki-daki pada kulitnya. Pun sontak kulit-kulit mereka bercahaya, dalam ruangan itu timbul semacam pelita-pelita baru yang terpantul dari kulit mereka.
Setelah membenamkan diri di kolam itu, pada gadis itu disediakan sehelai kain halus aneka warna. Dengan sehelai kain itulah mereka lilit-lilitkan di badan mereka. Dan meski telah mereka lilitkan, masih tampak samar buah dadanya yang memancar bak rembulan kala purnama.
Pada saat itulah aroma kemenyan menusuk hidung mereka, hingga membuat mereka tergelepar-gelepar di ranjang atau di lantai Kayu Ramin. Mata berkedip-kedip, nafas berdesah-desah. Mereka berhalusinasi, seperti merasakan nikmatnya surga bersama sekawan kesatria berwajah tampan. Mereka bergembira.
Setelah mengetahui para gadis telah membersihkan diri. Raja Limbu pun masuk dengan menggetarkan pintu. Ia sendirilah yang dapat masuk ke kamar itu. Kamar tempat melepaskan hasratnya setiap bulan purnama. Atau pada waktu-waktu khusus sesuai dengan ketetapan dewi kepercayaannya. Dewi Keperkasaan.
Sontak suara-suara lengkingan pun bergema di ruangan itu.
0 komentar:
Posting Komentar