Saya tak menyangka diriku akan
jatuh hingga kedalaman tak terkira. Pada relung-relung dimana jiwaku bisa
ditetak dan mungkin retak, teriris-iris bukan oleh belati, bukan oleh sebuah
pisau pramuka, tapi oleh kata-kata. Mungkinkah saya ini adalah keturunan dari dewa
kesedihan, yang tak mampu mengelola rasa, gampang tersentuh oleh
ketersinggungan, mudah mengambil kesimpulan yang terkait jiwa manusia.
Terus terang saya tak nyaman
melihat orang-orang kecil yang selama ini saya kagumi digertak-gertak sedemikian
kasar. Meski dengan alasan yang mungkin terlihat tampan, seperti menjaga
kualitas sebuah pelayanan. Omong kosong dengan pelayanan. Pada dasarnya kita
semua sama. kita memiliki intan yang bersinar-sinar dalam diri kita, namun
kemudian menjadi bara dan sinarnya menghamburkan hawa panas. Jiwa kita
ditumpulkan oleh standard. Sebuah patokan yang dibangun oleh susunan
argumentasi terkait harga sebuah diri, yang katanya berindikator dari harta.
Saya masih tak percaya bahwa harga diri dapat dibeli oleh harta. Walau banyak
yang mengatakan bahwa harga termurah di dunia ini adalah harga diri.
Kejadian dua hari begitu
menggelikan. Hanya lantaran debu di lemari dan di poci menjadi lelucon. Saya
tidak melihat lucunya dari segi mana. Justru saya melihatnya dengan kaca mata
tragedi. Dimana gara-gara debu, petugas hotel menjadi geger dan sembah palsu,
sementara jiwanya tercabik-cabik dan keringat meluncur dengan deras. Pelayan
yang sepanjang hari bekerja itu, yang tak tahu lagi sudah berapa liter
kringatnya tercurah hanya untuk bertahan hidup. Kemudian diajarkan tentang cara
melayani dengan begitu kasar. Hebatnya ceritra itu menjadi lelucon dan
orang-orang pada tertawa. Entah tertawanya menertawakan pelayan tersebut
ataukah menertawakan orang yang menindak buruk sang pelayan. Saya tidak
mengerti, inikah yang disebut dengan harga sebuah pelayanan?
Kita punya jiwa yang terbentuk dari embun yang
hinggap di dedaunan, yang kemudian dihisap oleh ulat-ulat. Kita punya jiwa yang
lahir dari tetes hujan, menetes ke tanah, dihisap hingga tiba di pucuk. Ah.
Jiwa yang teriris-iris melihat orang kecil diperlakukan sebegitu kasar.
Saya tak habis pikir kenapa juga
saya menjadi bagian dari kemelut itu. Saya menjadi bagian sebuah sumber
keresahan. Dimana saya hanya tertawa-tawa di luar, namun begitu teriris-iris di
dalam. Tapi untungnya saya melihat mata-mata yang murung di balik gemuruh tawa
itu. Mata-mata yang sedih, namun menampakkan keceriaan. Ada pula
kejengkelan-kejengkelan tidak perlu, yang tiba-tiba mencuat dari mulut yang
selama ini begitu sendu. Saya begitu tak percaya, kenapa dari mulut itu dapat
mengeluarkan ‘bisa’, yang racunnya dapat membunuh. Itu lagi-lagi menjadi humor.
Humor tumor.
Dan kejengkelan itu begitu menyakitkan. Bergulung-gulung,
bagai tsunami yang menghantam pedesaan rindang. Menghantam hingga
dinding-dinding perbatasan rubuh, lebur menjadi puing-puing. Meski begitu,
puing-puing ini akan kembali dibangun menjadi bangunan yang lebih fleksibel,
menjadi lebih nyaman untuk dihuni dan tidak akan gampang lagi untuk dirontokkan.
Dirontokkan oleh kata-kata jorok dan penghinaan.
Begitulah, kita hidup di antara
orang-orang yang hidupnya dikendalikan oleh ruang dan waktu, dikendalikan oleh
sebuah tujuan. Hidup yang bergerak dan menjadikan dirinya sebagai pusat, untuk
menikmati walau dengan menyakiti orang lain. Tapi, proses menyakiti itu
disebabkan oleh ketidaktahuannya akan eksistensi seseorang, kemudian karena
kepolosannya akan dampak yang disebabkan oleh kata-katanya. Kepolosan itu diisi
oleh pengaruh kurang baik yang diserap dari sebuah otoritas. Sehingga otoritas
haruslah menawarkan kebaikan, agar kebaikan itu menular. Jika yang ditawarkan
itu keburukan, walau dalam bentuk humor. Humor yang dimaksud adalah humor yang
tidak baik, yang biasa disebut humor tumor. Humor yang tertawa akibat kelemahan
orang lain.
Ya sudah lah. Ini adalah cobaan
dan pelajaran. Saya pun akan belajar cara berkomunikasi dengan baik. Dan yang
lebih penting adalah cara untuk menjadi pusat perhatian. Ini yang luput selama
ini dari perhatian saya.
Idham Malik
Semarang, 31 Januari 2014
0 komentar:
Posting Komentar