Profil Kelompok Phronima, Kawasan Minapolitan Lowita, Kec. Suppa, Kab. Pinrang.
Kelompok ini didampingi oleh Ir.
Taufik (Pengusaha hatchery dan tokoh perikanan Suppa) dan Prof. Hattah Fattah, MSc (Akademisi dari
Universitas Muslim Indonesia) sejak tahun 2000. Kelompok Phronima terbagi
menjadi dua berdasarkan kawasan, yaitu phronima 1 yang berada di bagian
selatan, sedangkan kelompok pronhima 2 berada di bagian utara. Kedua kawasan
itu dianugerahi dengan kehadiran pakan alami berupa makro bentos sejenis
krustacea bernama Phronima suppa, bahasa
lokalnya disebut were yang artinya
berkah. Pakan alami inilah yang membedakan kawasan ini dengan kawasan budidaya
udang yang lainnya di Sulawesi Selatan.
Ir. Taufik mengenakan baju putih (FGD Kelompok Phronima)
Pada 2013, Ir. Taufik bersama
Prof. Hattah menggandeng 10 petambak di kawasan Phronima (saat ini masuk dalam
kawasan Minapolitan Lowita Kab. Pinrang) untuk melakukan penelitian (demplot)
pemeliharaan udang windu menggunakan phronima dengan metode kultur pronhima di
petakan khusus. Petambak yang digandeng tersebut mengelola lahan seluas 15
hektar, 10 hektar untuk tambak dan 5 hektar untuk petak pembesaran (kultur) Phronima suppa (sejenis were).
Masing-masing petambak menebar benur sebanyak 10.000 perhektar. Pemeliharaan
dilakukan selama 2 bulan setelah penggelondongan sekitar 2 minggu hingga 1
bulan. Hasil panen rata-rata pada siklus pertama yaitu 200 – 300 kilogram atau
diperkirakan sintasan (daya hidup) 80 – 90 persen. Saat itu, Ir. Taufik juga
menghitung biaya produksi dan untung rata-rata yang diperoleh petambak dengan
harga udang standar.
Prof. Hattah membawa materi dalam pelatihan BMP Budidaya Udang Windu untuk Penyuluh Perikanan Kab. Pinrang
Untuk meningkatkan produksi dan
tetap menjaga kualitas lingkungan, para petambak yang didampingi Ir. Taufik dan
Prof. Hattah Fattah terus melakukan inovasi. Sejak bulan Agustus 2014, telah
ditemukan format baru untuk melakukan penghematan dan peningkatan produksi
udang windu untuk kawasan yang menggunakan Phronima
suppa. Dengan cara pengurangan jumlah tebaran, yang sebelumnya 15.000 –
20.000 diturunkan menjadi 10.000 – 7.000 perhektar, dengan pertimbangan daya
dukung lingkungan dan ketersediaan Phronima
suppa di tambak. Dengan jumlah 10.000 - 7000, berarti sebanyak 10 - 7 ekor
udang menempati ukuran 1 m2. Dengan cara seperti ini, jumlah
pronhima yang tersedia dalam tambak cukup hingga ukuran yang diinginkan pasar
dan tidak habis di tengah jalan, misalnya habis pada ukuran 60 ekor/kg, yang
menyebabkan kematian udang pada ukuran tersebut.
Penurunan jumlah dapat
mempersingkat waktu panen, masa
pemeliharaan yaitu selama 21 hari di tambak tokolan dan 40 – 45 hari di tambak pembesaran. Masa
pemeliharaan dan masa panen yang singkat juga berpengaruh terhadap jumlah
siklus pertahun, yang sebelumnya jumlah siklus hanya 2 – 3 siklus, dengan
metode baru dapat menambah jumlah siklus, yaitu 5 – 6 siklus pertahun. Metode
seperti ini telah dipraktekkan oleh beberapa petambak di kawasan pronhima 1 dan
akan menyebar ke seluruh kawasan phronima.
Syarat lain yang harus dipenuhi
yaitu, tersedianya dua atau tiga petak tambak minimal. Yang terdiri atas tambak
tokolan atau gelondongan (20 – 30 are) dengan tambak pembesaran (8000 – 10000 m2),
ditambah sebuah kolam untuk persediaan pronhima (10 – 20 are). Sehingga udang
dari hatchery terlebih dahulu ditokolkan di tambak tokolan, lalu setelah
berumur 21 hari, udang dipindahkan ke tambak pembesaran yang sebelumnya telah
dilakukan juga kultur phronima. Pada saat udang berukuran 60 – 40 ekor/kg,
udang dapat dipindahkan ke tambak phronima atau dilakukan panen parsial. Udang
yang telah dipindahkan tersebut dapat dipanen hingga ukuran 30 – 20 ekor/kg.
Pemindahan tersebut akan memungkinkan phronima kembali berkembang pada tambak
pembesaran. Pada saat bersamaan, tambak tokolan sudah terisi lagi oleh benur
dan tambak pembesaran dilakukan persiapan dan kultur pronhima, sehingga
budidaya udang dapat dilakukan secara modular.
Hewan Phronima suppa, crustacea kecil yang dimanfaatkan oleh petambak Suppa sebagai pakan alami budidaya udang windu.
Metode budidaya seperti ini dapat meningkatkan produksi udang windu, sebab dalam setahun produksi udang dapat mencapai hingga 1 ton dengan kemungkinan hidup mendekati 100 persen. Metode sebelumnya, dengan padat tebar 15.000 – 20.000 hanya dapat melakukan panen dua - 3 kali atau dua siklus, dengan hasil produksi pertahun, yaitu 400 kilogram.
Metode budidaya seperti ini dapat meningkatkan produksi udang windu, sebab dalam setahun produksi udang dapat mencapai hingga 1 ton dengan kemungkinan hidup mendekati 100 persen. Metode sebelumnya, dengan padat tebar 15.000 – 20.000 hanya dapat melakukan panen dua - 3 kali atau dua siklus, dengan hasil produksi pertahun, yaitu 400 kilogram.
Pemanenan dilakukan pada saat ukuran
udang sudah masuk ukuran pasar, dan untuk kasus Suppa yaitu dengan menunggu
jadwal pembelian dari PT. ATINA, dimana PT. ATINA membeli udang pada saat
kondisi pasang, yaitu masa bonang. Sebab pada saat pasang, udang dalam kondisi
prima, udang tidak kropos dan moulting. Namun, jika kondisi tambak tidak lagi
memungkinkan untuk dilanjutkannya pemeliharaan udang, lantaran pakan alami
Pronhima Suppa sudah berkurang di tanbak pembesaran, maka panen harus segera
dilakukan. Jika tidak dilakukan, maka udang akan mati karena kelaparan.
Hal lain yang perlu diapresiasi
dari kelompok ini yaitu para petambak tidak lagi menggunakan pestisida dalam
mengatasi hama dan penyakit, senantiasa berkoordinasi saat pemasukan air,
perbaikan air, panen, dan mengatasi persoalan lingkungan, sosial dan ekonomi
petambak. Kelompok ini didampingi oleh Ir.
Taufik (Pengusaha hatchery dan tokoh perikanan Suppa) dan Prof. Hattah Fattah, MSc (Akademisi dari
Universitas Muslim Indonesia) sejak tahun 2000. Kelompok Phronima terbagi
menjadi dua berdasarkan kawasan, yaitu phronima 1 yang berada di bagian
selatan, sedangkan kelompok pronhima 2 berada di bagian utara. Kedua kawasan
itu dianugerahi dengan kehadiran pakan alami berupa makro bentos sejenis
krustacea bernama Phronima suppa, bahasa
lokalnya disebut were yang artinya
berkah. Pakan alami inilah yang membedakan kawasan ini dengan kawasan budidaya
udang yang lainnya di Sulawesi Selatan.
Pada 2013, Ir. Taufik bersama
Prof. Hattah menggandeng 10 petambak di kawasan Phronima (saat ini masuk dalam
kawasan Minapolitan Lowita Kab. Pinrang) untuk melakukan penelitian (demplot)
pemeliharaan udang windu menggunakan phronima dengan metode kultur pronhima di
petakan khusus. Petambak yang digandeng tersebut mengelola lahan seluas 15
hektar, 10 hektar untuk tambak dan 5 hektar untuk petak pembesaran (kultur) Phronima suppa (sejenis were).
Masing-masing petambak menebar benur sebanyak 10.000 perhektar. Pemeliharaan
dilakukan selama 2 bulan setelah penggelondongan sekitar 2 minggu hingga 1
bulan. Hasil panen rata-rata pada siklus pertama yaitu 200 – 300 kilogram atau
diperkirakan sintasan (daya hidup) 80 – 90 persen. Saat itu, Ir. Taufik juga
menghitung biaya produksi dan untung rata-rata yang diperoleh petambak dengan
harga udang standar.
Untuk meningkatkan produksi dan
tetap menjaga kualitas lingkungan, para petambak yang didampingi Ir. Taufik dan
Prof. Hattah Fattah terus melakukan inovasi. Sejak bulan Agustus 2014, telah
ditemukan format baru untuk melakukan penghematan dan peningkatan produksi
udang windu untuk kawasan yang menggunakan Phronima
suppa. Dengan cara pengurangan jumlah tebaran, yang sebelumnya 15.000 –
20.000 diturunkan menjadi 10.000 – 7.000 perhektar, dengan pertimbangan daya
dukung lingkungan dan ketersediaan Phronima
suppa di tambak. Dengan jumlah 10.000 - 7000, berarti sebanyak 10 - 7 ekor
udang menempati ukuran 1 m2. Dengan cara seperti ini, jumlah
pronhima yang tersedia dalam tambak cukup hingga ukuran yang diinginkan pasar
dan tidak habis di tengah jalan, misalnya habis pada ukuran 60 ekor/kg, yang
menyebabkan kematian udang pada ukuran tersebut.
Penurunan jumlah dapat
mempersingkat waktu panen, masa
pemeliharaan yaitu selama 21 hari di tambak tokolan dan 40 – 45 hari di tambak pembesaran. Masa
pemeliharaan dan masa panen yang singkat juga berpengaruh terhadap jumlah
siklus pertahun, yang sebelumnya jumlah siklus hanya 2 – 3 siklus, dengan
metode baru dapat menambah jumlah siklus, yaitu 5 – 6 siklus pertahun. Metode
seperti ini telah dipraktekkan oleh beberapa petambak di kawasan pronhima 1 dan
akan menyebar ke seluruh kawasan phronima.
Syarat lain yang harus dipenuhi
yaitu, tersedianya dua atau tiga petak tambak minimal. Yang terdiri atas tambak
tokolan atau gelondongan (20 – 30 are) dengan tambak pembesaran (8000 – 10000 m2),
ditambah sebuah kolam untuk persediaan pronhima (10 – 20 are). Sehingga udang
dari hatchery terlebih dahulu ditokolkan di tambak tokolan, lalu setelah
berumur 21 hari, udang dipindahkan ke tambak pembesaran yang sebelumnya telah
dilakukan juga kultur phronima. Pada saat udang berukuran 60 – 40 ekor/kg,
udang dapat dipindahkan ke tambak phronima atau dilakukan panen parsial. Udang
yang telah dipindahkan tersebut dapat dipanen hingga ukuran 30 – 20 ekor/kg.
Pemindahan tersebut akan memungkinkan phronima kembali berkembang pada tambak
pembesaran. Pada saat bersamaan, tambak tokolan sudah terisi lagi oleh benur
dan tambak pembesaran dilakukan persiapan dan kultur pronhima, sehingga
budidaya udang dapat dilakukan secara modular.
Metode budidaya seperti ini dapat
meningkatkan produksi udang windu, sebab dalam setahun produksi udang dapat
mencapai hingga 1 ton dengan kemungkinan hidup mendekati 100 persen. Metode
sebelumnya, dengan padat tebar 15.000 – 20.000 hanya dapat melakukan panen dua
- 3 kali atau dua siklus, dengan hasil produksi pertahun, yaitu 400 kilogram.
Pemanenan dilakukan pada saat ukuran
udang sudah masuk ukuran pasar, dan untuk kasus Suppa yaitu dengan menunggu
jadwal pembelian dari PT. ATINA, dimana PT. ATINA membeli udang pada saat
kondisi pasang, yaitu masa bonang. Sebab pada saat pasang, udang dalam kondisi
prima, udang tidak kropos dan moulting. Namun, jika kondisi tambak tidak lagi
memungkinkan untuk dilanjutkannya pemeliharaan udang, lantaran pakan alami
Pronhima Suppa sudah berkurang di tanbak pembesaran, maka panen harus segera
dilakukan. Jika tidak dilakukan, maka udang akan mati karena kelaparan.
Hal lain yang perlu diapresiasi
dari kelompok ini yaitu para petambak tidak lagi menggunakan pestisida dalam
mengatasi hama dan penyakit, senantiasa berkoordinasi saat pemasukan air,
perbaikan air, panen, dan mengatasi persoalan lingkungan, sosial dan ekonomi
petambak.
Idham Malik
1 komentar - Skip ke Kotak Komentar
kami memiliki 600ha lahan tambak air payau (berupa hutan mangrove) sudah terdpat 2 petak tambak(7ha& 17ha) lokasi di kalimantan utara jika berminat membeli/kerjasama hub 085222440659/ anto_bunyu@yahoo.com
Posting Komentar