Tulisan kanda Asra Tillah di website Khittah, cukup membantu kita untuk menjernihkan kembali pengertian ideologi.
Memang penting untuk kembali merefleksikan kembali pemahaman kita terhadap istilah-istilah umum, namun sering disalahpahami oleh orang banyak. Apalagi istilah itu sudah diatur-atur secara sepihak oleh penguasa, yang serta merta berubah pengertiannya dengan bergantinya penguasa. kita biasa menyebutnya dengan politik bahasa.
Ideologi pada masa Orde Lama, menjadi santapan utama dalam orasi-orasi politik. Ideologi pun menjadi pengertian kolektif massa dan disederhanakan sedemikian rupa agar dapat dipahami rakyat umum. Orang-orang berbicara politik, yang dalam hal ini politik kelas-politik identitas. Para pemimpin rakyat mendidik dengan pendekatan ideologi untuk memetakan persoalan dan menyusun solusi dari setiap persoalan. Masing-masing pihak mendefinisikan metodelogi untuk menuju cita-cita, yang serunya cita-citanya selalu berujung pada kesejahteraan bersama.
Sumber : Istimewa
Ideologi pada Orde baru menjadi barang usang yang tidak berguna untuk perbaikan ekonomi. Sehingga, kata-kata ideologi, revolusi, neoliberalisme digantikan dengan kata-kata pembangunan, stabilitas, pertumbuhan ekonomi. Pada masa Orde Baru, ilmu sosial dikanalisasi dan selalu ditambatkan untuk bergandengan dengan istilah pembangunan. Ideologi dianggap terlalu mengawang-awang dan tidak dapat diukur layaknya menukar beras dengan sepatu.
Menariknya, adalah perkembangan ideologi di masa reformasi. Istilah ini kembali didengung-dengungkan, namun sayangnya tidak begitu mengakar ke bawah. Istilah-istilah teoritik menjadi santapan mahasiswa serta aktivis LSM buruh dan petani, namun sangat jauh bagi para buruh sendiri, dan para petani sendiri. Buruh dan petani masih berkutat dengan istilah-istilah teknis, yang disebarkan dengan suburnya oleh penyuluh pertanian dan kepala desa. Sehingga, ideologi pada masa reformasi menjadi wacana elit semata, sedangkan rakyat bengong-bengong saja.
Sama halnya dengan ideologi yang berkembang belakangan terakhir, yang dalam tulisan Asra Tillah disebut sebagai Ideologi Islam. Orang-orang tersentuh ego-nya untuk membela Islam. Lalu, ramailah muncul komentar bahwa sekarang saatnya politik identitas. Padahal, penganut ideologi tersebut harus mengerti dahulu secara mendalam metodelogi yang digunakan untuk tercapainya target-target politik. Dalam bahasa Hegel, ide merasuk ke dalam realitas. Ide bisa menjelaskan alam semesta dan semesta manusia, semesta politik, semesta kemanusiaan dengan rasional. Tidak ada lagi yang tidak bisa dijawab oleh ideologi. Sedangkan Marx menganggap ideologi sebagai penjelasan lengkap, adalah cerminan dari kepentingan yang melatarbelakangi kelas-kelas dalam masyarakat.
Untuk itu, saat-saat sekarang ini, kita jangan terlalu cepat terpengaruh, kita jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan, agar tidak menjadi objek yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. Kita harus mengembalikan lagi pada tujuan negara ini dibentuk, mengingat lagi pesan-pesan para pemimpin bangsa, bahwa walaupun berbeda ideologi, tetap bersama-sama untuk membangun bangsa.
Apalagi karakter organisasi yang berdiri, pada umumnya adalah organisasi yang mengakomodir banyak pihak. Anggaplah Syarikat Dagang Islam (SDI), yang dibuat oleh Tirto Adhie Soeryo serta diteruskan oleh HOS Cokroaminoto. Meski berlandaskan Islam, tetap mengakomodir pandangan-pandangan lain yang lebih baru, seperti sosialisme-komunisme untuk lebih mematangkan strategi perjuangan. Sebab, strategi perjuangan jalan kiri, lebih matang-lebih strategis-lebih canggih. Semangat Islam, sistem ekonomi sosialis, gerakan massa banyak dipengaruhi oleh gerakan kiri.
0 komentar:
Posting Komentar