Dalam kondisi apakah lahir optimisme? Barangkali dari kurangnya
pengetahuan. Optimis, sebuah sikap jumawa terhadap terawang masa depan, langkah
dini dari aksi menggali lubang kubur sendiri.
Jumawa muncul dari hal yang dibesar-besarkan, gelembung dari
perkiraan statistik yang kurang akurat. Asumsi yang berangkat dari perangkap
teori yang dibaca setengah - setengah, disertai imajinasi kreatif yang begitu
jauh dari realitas.
Lalu, dari optimisme itu, melandai menuju pesimisme. Ibarat
sisifus, yang mengangkat batu ke bukit, lalu jatuh, dan mendorong lagi hingga
ke puncak, lalu jatuh kembali. Hal yang sama seperti apa yang harus ditanggung
manusia, yaitu penderitaan.
Hal inilah juga yang dialami dalam kegiatan pendampingan
petambak dan masyarakat pesisir. Semakin kita selami, semakin kita tenggelam
dalam ketidaktahuan. Semakin kita gali, kian kita bingung pada hal - hal
mendasar. Seperti, apa motif keterlibatan dalam pendampingan? Bagaimana cara
membangun kepercayaan? Apakah mungkin semua kepentingan dapat terakomodasi?
Apakah nilai - nilai baru yang diharapkan dapat terwujud dan akhirnya menjadi
basis kultur bersama?
Nilai - nilai memang jauh, abstrak dan seakan fana seperti itu,
mustahil dapat dipahami dengan cepat. Apalagi praktik dalam tindakan. Makanya,
tindakan - tindakan kecil mesti dilirik kembali, hal - hal yang menyentuh
langsung persoalan hidup mereka. Meski begitu, ketika kita mendekat untuk
bersentuh langsung. Respon bisa dua arah, adanya penerimaan yang baik dari
masyarakat kecil, atau menganggap hal itu biasa-biasa saja, ibaratnya seperti
tamu yang datang ke rumah, diterima, dijamu, setelah itu, sudah.
Seperti manusia pada umumnya, masyarakat pesisir yang kita
dampingi juga punya mekanisme bloking. Setiap manusia, ketika mengendus potensi
serangan, secara outomata bertahan diri. Nah, hal inilah yang sulit ditangkap
oleh para pendamping, yaitu melacak mental block masyarakat yang diajak
kerjasama. Ungkapan yang sering kita dengar, "Saya lebih tahu dari
mereka", "Ah, teori, secara praktek cara ini yang sudah
terbukti".
Memang rumit, untuk menembus kerangkeng mental ini, mesti ada
rasa kepercayaan, yang diperoleh dari tindakan yang tulus, dan betul - betul
terlihat bukti nyata, dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sementara, hal itu
menuntut kita untuk konsentrasi penuh, mengorbankan banyak hal, dan mulai tidak
begitu peduli pada urusan yang lain - lain. Inilah biangnya, banyak dari kita
mengerjakan banyak hal, dan tak mampu fokus dan setia merawat proses
pendampingan.
Setelah itu, jika sudah mendampingi, dan bekerja keras dalam
jalur itu, janganlah begitu banyak menaruh harap. Sebab biasanya hanyalah
memicu derita. Cukup, lakukan dan lakukan apa yang bisa dilakukan, periksa apa
yang kurang, lalu perbaiki, lakukan lagi.
Jika tak dapat memberi pengaruh besar, cukup di situ, mungkin
ada hal lain yang di luar kuasa kita. Barangkali faktor budaya, sejarah,
politik, ekonomi, yang silang sikut rumit. Yang kita peroleh adalah pelajaran
tentang masyarakat yang begitu kompleks, yang membutuhkan kerja tangan banyak
pihak, kesadaran masyarakat luas. Dari situ, menjadi modal untuk bergerak di
tempat - tempat lain, untuk sekadar mencoba memberi pengaruh. Tentu, dengan
tidak lupa untuk terus memperbaiki diri, mengasah tools - tools, dan memperluas
wawasan.
Kekurangtahuan yang melahirkan optimisme, menuju ketidaktahuan
yang menimbulkan pesimisme.
0 komentar:
Posting Komentar