Sabara Nurudin tiba-tiba mengajak ngopi pada malam Selasa lalu, 18 September 2023. Sosok yang saya kenal 14 tahun silam saat bersama-sama tidur beralas kardus dan berbantalkan buku di Toko Buku Papirus itu, gaya berjalan, penampilan dan kocaknya masih sama, pengetahuannya yang jauh lebih berkembang, dan lebih membumi.
Saya pun mengajaknya untuk mencicipi kopi di Reservoir, Café kecil di pinggir jalan Kota Kalabahi. Doktor kajian agama itu ditemani oleh Karim yang juga ahli sejarah maritim dan Jamal, pemuda lokal Alor. Dua anak muda yang baru saya kenal. Malam itu pun kami lalui dengan cerita-cerita lepas seputar kesan kesan kehidupan di Alor.
Pada hari itu, katanya ia baru saja pulang dari Belegar, satu kota kecil di Pantar Timur, bersama Karim beserta 4 peneliti lain dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Mereka sedang menggali informasi seputar Alquran Tua yang ada di daerah tersebut. Sabara membuka percakapan, “Barusan ada peneliti Sejarah Maritim dan orang Mandar asli yang pucat naik perahu” sambil ketawa-ketawa. Ia mengolok Karim, teman di sampingnya, yang dengan segera merespon. “Iyo, sepanjang saya naik kapal, barusan saya dapat yang goyang begitu”. Hehehe… Saya pun masuk turut menanggapi, kalau memang di perairan antara Pantar dengan Pulau Ternate itu ada pertemuan arus, jadi ombak agak tinggi. Saya bilang lagi, nanti Om Karim bisa bandingkan lagi kalau ada kunjungan di perairan Wakatobi, itu jauh lebih dahsyat pada musim timur. “Makanya, banyak lahir kapten/nakhoda kapal di sana,” ujarku.
Pembahasan kemudian bergeser ke permainan kata orang Alor. Hal ini dipantik oleh istilah-istilah ilmiah yang keluar dari mulut informannya di Pantar Timur, yang menurutnya luar biasa. Karim terkesan oleh penyerapan kata ilmiah, seperti distrupsi, yang berbeda dengan orang-orang lokal Alor lain, yang tiba-tiba saya mengingat istilah Bapa Onesimus, yaitu ‘lidah takkai’, sehingga penggunaan kata ilmiah yang disebutnya sebagai ‘akademia’ dikurangi dan menuntut kita menggunakan istilah biasa atau disebutnya ‘alamiah’.
Jadilah perbincangan ke arah menyebut satu persatu istilah lokal/ungkapan Alor yang bagi telinga kami sebagai pendatang sangat menghibur. Sabara Nuruddin mencontohkan istilah ‘putar kopi’ yang punya arti umum membuat kopi. Lalu saya menimpali dengan istilah ‘percetakan’, di sini percetakan itu lebih ke arah percetakan batako, bukan percetakan buku ataupun poster. Kemudian muncul kata ‘juragan’ untuk komunitas nelayan jala rumpon, juragan bukanlah pemilik kapal yang mengatur segala aktivitas penangkapan, tapi hanya seorang kapten atau nakhoda. Makanya Sabara langsung menjelaskan kalau kata-kata betul-betul bersifat arbitrer atau manasuka.
Kata-kata orang Alor pun penuh dengan nuansa dan suasana, serta dapat diindrai. Seperti istilah ngobrol-ngobrol, dapat diganti dengan ‘menghangatkan mulut’, kaki berwarna hitam dapat diganti dengan kata seperti ‘jagung bakar’, bercanda dibahasakan dengan istilah ‘main gila’. Jadi, istilah mempunyai kaki dan tangan, istilah yang bekerja dan hidup. Kita dapat berimajinasi. Uang bukan sekadar kata uang, tapi diganti dengan kata ‘bidadari’, sesuatu yang istimewa dan membuat hidup.
Perbincangan masuk ke wilayah yang lebih serius, tapi masih tetap dalam suasana bercanda. Kata Sabara, orang Alor itu ramah-ramah, itu seperti pengakuan Antonio Pigafetta dalam catatan hariannya saat singgah di Alor pada Januari 1522. Antonio ini adalah salah satu kru dari Fernando de Magelhaens yang berhasil selamat dan Kembali ke Eropa untuk ekspedisi mengelilingi dunia setelah Maglehaens sendiri terbunuh dalam persinggahannya di Filipina sebelum kembali ke Eropa.
Catatan Antonio ini pula yang menjadi persaksian Sejarah mengenai hidupnya komunitas Islam di pesisir barat Pulau Pantar, yang kini dikenal dengan Baranusa. Sabara mengatakan dalam catatan Antonio disebut komunitas bangsa Moor (Islam) di Moloku, yang jika ditelusuri catatan-catatan lainnya, penyebar agama Islam dari Kerajaan Ternate, dibawa oleh seorang ulama yang bernama Mohtar Likur. Ia datang bersama Alquran kayu dan seperangkat alat khitan. Saya tiba-tiba mengingat senior saya yang bernama Ridwan Likur, saat ini menjadi guru mengaji dan imam masjid di Kota Kupang. Beruntung dapat mengenal beliau.
Diskusi tentang penyebaran agama Islam dan aktivitas penelitian juga berlanjut malam kemarin, 19 September 2023, yang secara kebetulan duduk bersama Bapak Mohammad Koho yang merupakan Kabid DKP Alor dan Bapak Faizal, bagian perencanaan DKP Provinsi NTT. Sabara mengekslorasi lebih jauh masuknya Islam di Negeri Seribu Moko, “Orang Alor dishadat oleh orang Ternate, tapi disyariatkan oleh Orang Makassar”, katanya. Pernyataan ini masih menggantung, tapi ia memberi klu-nya. Makassar sendiri juga sempat dikunjungi langsung oleh Sultan Baabullah untuk pengislaman orang Makassar, sayang saja Kerajaan Gowa Tallo saat itu menganggapnya punya muatan politik, jadi Makassar tak menjadi Islam oleh kunjungan Baabbullah dari Ternate.
Setelah mengirim utusan Ternate ke Kepulauan Alor, di dalamnya ke Desa Gelubala-Baranusa, serta kunjungan berikutnya lima bersaudara yaitu Iang Gogo, Ima Gogo, Karim Gogo, Sulaiman Gogo dan Yunus Gogo. Lima bersaudara ini tersebar dalam menyebarkan agama Islam, ada yang ke Alor Besar-Bungabali, ke Desa Kui di Alor Barat Daya, ke Malaga di Pantar, serta di Pandai dan Baranusa di Pantar. Kehadiran Gogo ini juga membawa Alquran, sebagaimana di Alor Barat setiap tahun masih diselenggarakan Festival Alquran Tua.
Itulah sebabnya, menurut Sabara, Islam yang masuk ke Alor adalah Islam yang damai, yang turut juga dibawa oleh para pedagang, termasuk pedagang dari Jazirah Sulawesi Selatan. Sabara pernah menulis tentang ini di Jurnal PUSAKA, berjudul “Strategi Integrasi Sosial Makassar Diaspora di Pulau Alor”, tentang datangnya empat perahu yang memuat para pedagang etnis Wajo, Bone, Makassar, Mandar, termasuk juga di dalamnya ada Cina Makassar dan Ambon Makassar. Mereka adalah pedagang Pelabuhan Makassar yang pergi meninggalkan negeri asal untuk bermukim secara menetap di negeri lain, dikenal dengan istilah malekke’ dapureng. Berbeda misalnya, kata Sabara jika Islam disebarkan dengan kekerasan, maka selalu akan melahirkan trauma dan akan mengalami pukulan balik, seperti yang terjadi di dataran Spanyol, yang dipukul balik oleh kaum Kristen Spanyol.
Menurut Jamal, mantan ketua HMI Alor yang juga menemani ngopi malam itu, Lima saudara Gogo terlebih dahulu tiba di Tanjung Bota, yang berdekatan dengan desanya di Alila. Makanya, desa Alila termasuk salah satu desa Islam yang berada di area Kepala Burung. Nah, di sekitar wilayah itu umumnya penganut agama Kristen Protestan. Tapi, di sebuah pulau kecil seluas 8 hektar yang disebut Pulau Sika terdapat sebuah makam seorang Sultan bernama Sultan Alamuddin, yang disebut-sebut sebagai keturunan Wali Songo. Dari seorang tetangga di Kadelang, yaitu Abang Chelo saya memperoleh informasi kalau Sultan ini sempat menyebarkan agama Islam di Flores, yang sebelumnya juga bermukim di Sulawesi. Katanya, mulut ulama itu ‘Mulut Jadi’, ungkapannya bisa berkonsekuensi pada dampak atau terjadi di kehidupan nyata. Misalnya, ia menyebut orang itu akan sakit perut, bakalan sakit perut. Karena itu, orang-orang mengiranya tukang tenun atau di Alor disebutnya Suanggi. Di usirlah Sultan itu dan akhirnya tiba di Jawa, di sana pada suatu peristiwa dia meninggal, dan karena sebab tertentu jasadnya tiba di perairan Alor. Di sana dia ditemukan oleh orang Kristen dan mengubur jasadnya di sana. Berkahlah kehidupan orang itu, hasil tanaman padinya melimpah ruah. Hingga suatu ketika dia takabur karena hasil yang banyak, menyebabkan hasil pertaniannya merosot. Itulah sebabnya, kata Bang Chelo hingga sekarang area Mali ini menjadi kurang subur, di samping memang secara pembagian curah hujan, daerah tersebut memperoleh jatah paling sedikit.
Saat diskusi melipir ke tema wisata Dugong Alor, saya bercerita kalau Paman penjaga dugong yaitu Bapa One juga adalah penjaga Makam Sultan. Hebatnya, karena Bapa Onesimus La’a ini adalah orang Kristen, tapi dialah yang merawat dan menjadi juru kunci Makam Sultan yang terletak di Pulau tak berpenghuni itu. Kata Bapa One ketika melipir ke kantor WWF ID di Kalabahi, “Saya tegas sama ummat Islam yang membawa sesembahan ke makam, saya usir mereka. Kalau bawa kambing, saya suruh mereka taruh jauh-jauh. Ya walaupun mereka marah-marah ke saya, mestinya mereka malu, saya orang Kristen yang merawat dan menjaga Makam ini,” kata Bapa One.
Tentang hubungan antara orang Islam dan Kristen ini menarik disimak di Kepulauan Alor. Masyarakat kepulauan Alor punya respon yang unik mengenai kehidupan beragama. Jamal melanjutkan, ada temannya yang dalam satu rumah ada tiga agama, yaitu Islam, Protestan dan Katolik. Kemudian di Masyarakat Alor, pindah agama adalah hal lumrah, biasanya karena pernikahan dimana wanita ikut agama suami. Kristen pindah ke Islam, begitu halnya Islam ke Kristen, juga dari protestan ke Katolik dan Katolik ke Protestan. Masyarakat Alor tidak ada yang grasah grusuh atau panik lantaran itu. Makanya Karim, tiba-tiba teringat, kalau orang pesisir yang Islam menyebut saudaranya yang Kristen di bukit atau pegunungan, “Mereka itu Saudara kami”, dengan penyebutan saudara yang begitu serius dan tulus, tidak dibuat-buat. Kemudian Karim teringat lagi, kenapa Islam tidak tersebar hingga ke gunung, informannya yang orang pesisir pun bilang “Jadi, siapa lagi yang akan membawakan buah Pinang ke kami?”
Makanya, cukup lazim jika kita menemukan pada acara pentasbihan gereja terdapat rombongan mama-mama berjilbab menabuh rebana atau seorang pendeta memberi nama pada sebuah masjid di Alor. Hal lumrah kita temukan, orang-orang Kristen ikut membangun masjid, atau orang-orang Islam ikut membantu pembangunan sebuah gereja.
Mendengar obrolan antar peneliti agama dan sejarah ini saya jadi teringat slogan Alor yang biasa saya diskusikan dengan Dr Jahved Ferianto Maro yaitu Tara miti Tomi nuku, berbeda-beda tempat duduk, tapi satu hati atau secara singkat berarti berbeda-beda tapi satu saudara. Karena itu, saya berfikir, jika ada istilah Islam Transnasional, kemudian Islam Arab, Islam Pribumi, mungkin bisa juga dirumuskan satu konsep, yaitu Islam Alor?
Hari ini, Sabara dan rombongan Kembali ke Makassar. Dia sempat menanyakan sampai kapan di Alor? Saya menjawabnya tidak akan lama Ustad, tapi dalam hati saya menjawab, walaupun nanti meninggalkan Alor, saya bakalan sangat merindukannya dan berniat untuk kembali lagi ke Alor di tahun-tahun yang akan datang.
Kalabahi
20 September 2023
0 komentar:
Posting Komentar