“Nenek moyangku seorang pelaut...............”
Kutipan lagu di atas hingga kini masih sering didengungkan oleh orang-orang tua terhadap anaknya, guru-guru TK hingga SMA terhadap murid-muridnya. Namun, lagu tersebut kini melempem, tergerus oleh pemahaman miring orang-orang yang merasa dirinya intelektual, tapi tak memahami sejarah petualangan nenek moyang di samudra luas. Belum lagi polemik sejarah nasional yang sengaja menggiring kita ke pemujaan terhadap penguasaan daratan, tanpa memandang kehebatan armada laut dahulu kala. Sehingga membuat generasi sekarang mengalami patahan sejarah, merasa rendah diri akibat dalam pikirannya, Indonesia tak lain adalah sekadar negera bekas jajahan.
Buku “Penjelajah Bahari, Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika”, karya Robert Dick-Read, terbitan Mizan, Juni 2008, membawa angin segar terhadap bukti-bukti arkeologis tentang peranan pelaut Indonesia kuno dalam memajukan perdagangan dunia. Di samping tingkat kejeniusan pelaut-pelaut asal Austronesia atau Indo-polinesia ini dalam membuat perahu yang kokoh, dan disegani lantaran penjelajahannya yang jauh mengarungii lautan luas.
Halaman awal buku ini, dimulai dengan penjelasan kronologis tentang kedatangan Ras Mongol berbahasa Austronesia ke kepulauan Indonesia menggunakan kano-kano dari Formosa, Taiwan, sekitar 3000 SM. Kemudian melakukan upaya kawin mawin dengan Ras Australo-Melanesia, 60.000 tahun lampau, yang juga pernah menyebrangi lautan menuju Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan Bismarck. Ras Austronesia inilah yang menimbulkan budaya baru, dikenal sebagai orang-orang Lapita yang memproduksi tembikar dan obsidian (mata panah).
Menariknya, buku ini menjelaskan tentang kisah pelaut kepulauan Indonesia di pusat-pusat-pusat peradaban dunia. Pelaut Indonesia diindikasikan pernah menempati India Selatan pada era pra-Dravida, akhir 500 SM, dengan menggunakan kano bercadik satu. Pelaut Nusantara disebut sebagai Ras Naga oleh Etnik Tamil, yang kemudian kano bercadik tersebut terserap dalam kebudayaan Tamil, lantaran hipotesis mayoritas Ilmuan abad-19 meyakini bahwa bangsa India bukanlah bangsa pelaut. Dengan kata lain, kano milik pelaut Indonesia direplikasi menjadi model kano umum di India.
4000 tahun lalu, jejak pelaut Indonesia terekam di kerajaan Mesir, Fir’aun dinasti ke-12, Sesoteris III. Lewat data arkeolog mengenai transaksi Mesir dalam mengimpor dupa, kayu eboni, kemenyan, gading, dari daratan misterius tempat “Punt” berasal. Meski dukungan arkeologis sangat kurang, negeri “Punt” dapat diidentifikasi setelah Giorgio Buccellati menemukan wadah yang berisi benda seperti cengkih di Efrat tengah. Pada masa 1.700 SM itu, cengkih hanya terdapat di kepulauan Maluku, Indonesia. Dengan ditemukannya sisa-sisa kambing di situs pemukiman Pulau Timor, menjadi bukti perdagangan pelaut Austronesia dengan Timur tengah dan kemungkinan kuat menggunakan kano atau perahu untuk pengangkutannya.
Pelaut Indonesia juga berhubungan erat dengan kerajaan Romawi dan Yunani Kuno. Dengan sebuah pertanyaan ganjil, mengapa rempah-rempah berupa kayu manis (cassia) atau Cinnamun dan lada bisa sampai ke mediterania setelah pemindahan muatan di Horn of Africa?
Buku ini berisi begitu banyak bukti arkeologis tentang keterlibatan pelaut Indonesia, termasuk dalam membantu perdagangan Bangsa Cina. Pelaut-pelaut kita yang menggunakan perahu dengan sebutan Kun Lun sengaja di sewa oleh Kerajaan Cina untuk mencari obat panjang usia, dan membantu cina dalam pengiriman cargo dari Persia, Sri Langka dan India sekitar Abad 6 M. Bangsa Cina saat itu mahir dalam banyak hal, kecuali satu, yakni bidang kelautan.
Penjelasan di atas adalah bagian awal untuk menelusuri lebih jauh penjelajahan pelaut nusantara di Benua Afrika. Dimana pelaut-pelaut nusantara telah lama mengarungi lautan dan menemukan pulau-pulau eksotis, seperti Kilwa, Lamu, dan Zanzibar, jauh sebelum bangsa Arab ataupun Shirazi.
Ketertarikan Robert antara benua hitam dengan pelaut Indonesia, ini bermula ketika ia mendengar bagaimana masyarakat Madagaskar berbicara dalam bahasa asing, yang mempunyai kemiripan dengan akar bahasa Austronesia, mirip dengan bahasa pedalaman muara sungai Barito Kalimantan dan orang-orang Bajo. Selain itu, mereka menggunakan kano-kano besar bercadik dalam mengarungi samudera.
Robert memfokuskan penelitiannya di Afrika timur dengan selatan. Terkhusus terhadap kelompok masyarakat “Zanj”, yang merupakan asal nama bangsa Azania, Tanzania dan Zanzibar. Keterkaitan ini dikuatkan dengan istilah Zabag atau Zanaj yang berasal dari Sumatera.
Zanj adalah ras Afro-Indonesia yang menetap di Afrika Timur sebelum kedatangan pengaruh Arab atas Swahili. Penting untuk diketahui bahwa era pertambangan emas Zimbabwe yang punya kaitan dengan Madagaskar dan Malagisi pada masa lampau berada pada zaman yang sama dengan masa kejayaan Sriwijaya, Sumatra (Swarnadwipa, “Pulau Emas”).
Inti penelitian Robert untuk menelusuri unsur-unsur etnik dan genetik Afrika di Madagaskar. Karena kata-kata Afrika begitu banyak dalam pembendaharaan mereka, diduga bahwa penghuni pulau tersebut bukan dari penduduk asli Indonesia yang menyebrangi lautan, melainkan bangsa Zanj. Robert juga melacak siapa sebenarnya bangsa Malagasi. Dari investigasinya mengarah pada asal-usul dari Indonesia, tepatnya dari Sulawsi barat daya.
Bukti-bukti pengaruh kerajaan Sriwijaya atau pun pelaut Indonesia mengarah bukan saja pada artefak sejarah, tapi juga ke musik. Bersumber pada fakta kepiawaian para pemain Xilofon Afrika, yang disebut Chopi, yang menurut sejarah lisan pernah menghibur raja-raja Goldfields “Ladang-Ladang Emas” di dalam Great Zimbabwe. Terdapat juga alat musik bambu yang punya kemiripan dengan yang dimainkan di kawasan Asia Tenggara.
Perjalanan pelaut ulung itu bahkan dilukiskan dalam replika di dinding candi Borobudur, dengan perahu bercadik.
Tentang Pelaut Bugis
Telah disebutkan sebelumnya bahwa pada masa kejayaan Sriwijaya, terjadi pengangkutan emas besar-besaran dari tambang emas Simbabwe ke Sumatera. Pertanyaan yang muncul. Siapakah pelaut Sriwijaya yang begitu kuat mengarungi samudra menuju Afrika untuk mengangkut emas ke Swarnadwipa? Pelaut mana yang membentuk armada Sriwijaya yang begitu tangguh mempertahankan daerah kekuasaan Sriwijaya yang terbentang dari kepulauan Jawa hingga sepanjang Sumatera serta membantu menjalin hubungan kerjasama perdagangan dengan bangsa-bangsa besar lainnya, seperti Cina?
Sriwijaya mengalami peningkatan karena sistem persimpangan sungai tradisional, tepatnya di Sungai Musi. Sriwijaya membangun armada laut terdiri dari pelaut Nomaden, pada akhir abad ke-7 pelaut tersebut telah menguasai perniagaan laut melalui Asia Tenggara.
Ada dugaan bahwa armada laut Sriwijaya itu terdiri atas kelompok pelaut nomaden. Pelaut yang bertahan di seluruh pelosok kepulauan dan bersembunyi di hutan-hutan bakau, yang cukup terkenal adalah Mawken, berasal dari kelompok manusia perahu. Menurut cerita, asal-usul mereka bisa bertahan secara permanen di rumah terapung karena terus-menerus diganggu oleh tuan tanah Birma dan Malaya. Namun, mereka tak punya sejarah tentang kano-kano raksasa sehingga dapat diabaikan.
Kelompok-kelompok pelaut lain, yaitu Orang Tambus, Orang Mantang, Orang Barok, Orang Galang, Orang Sekanak, Orang Pasik, Orang Moro, Orang Sugi, diduga punya peranan penting. Namun, mereka diindikasikan tak mampu membangun kelompok penjelajah dan pedagang terorganisir yang dapat mengunjungi India dan Afrika. Mereka lebih mirip kelompok orang liar yang menangkap kapal karam, membuat para pelintas harus waspada dan segera menghindar jika sudah memandang kano mereka.
Analisis armada laut yang perkasa itu pun tertuju pada para pelaut Bajau. “Mereka mengarungi lautan seperti layaknya burung-burung laut,” kata pelancong bernama Rayomond Kennedy. Bangsa Bajo memiliki potensi lebih baik menjadi angkatan laut Sriwijaya. Dengan melihat dari jumlah tempat yang mengenal nama “Bajau”, “Bajo”, “Baju”, “Waju”, atau “Bajoo”, mereka tersebar di mana-mana. Toponim “Bajo” dapat ditemukan dari ujung ke ujung kepulauan Indonesia.
Asal-usul orang Bajo erat kaitannya dengan pelaut lain, yaitu bangsa Bugis (Bugi atau Buki), orang Mandar dan orang Makassar. Unsur yang meyakinkan keterkaitannya adalah keberanian bangsa-bangsa pelaut tersebut mengarungi lautan yang jauh.
Orang Bajo disebut berasal dari Sulawesi, memiliki kekerabatan dengan tau-Wugi. Meski berasal dari Bugis, kebiasaan-kebiasaanya bervariasi, tergantung tempat yang ia diami. Mereka mampu beradaptasi dan dengan cepat menguasai bahasa penduduk lokal. Orang Bajo ada yang tinggal di perahu kecil atau rumah terapung. Mereka dilahirkan, tinggal, makan, tumbuh, dan meninggal di perahunya. Ada juga yang tinggal di kapal bercadik yang memiliki tiga atau empat penyangga.
Jika orang Bajo telah berlayar dan berdagang secara trampil hingga ke tempat-tempat jauh, sementara orang Bugis memiliki kemampuan sebagai pemimpin angkatan laut. Bangsa Bugis digambarkan sebagai bangsa yang “sentrifugal”. Maksudnya mereka mengirim anggota-anggotanya keluar lembah dan pulau tempat mereka tinggal, untuk mendorong mereka bekerja keras mencari kejayaan dan kebijaksanaan. Makanya, hingga kini koloni orang Bugis masih terdapat di pesisir-pesisir pantai beberapa pulau di Indonesia.
Selain itu, bangsa Bugis mempunyai nilai sebagai pedagang sekaligus prajurit yang setia. Selama berabad-abad mereka merupakan pemain utama pengangkutan rempah-rempah, cendana, mutiara, damar, sarang burung walet, sagu, dan sirip ikan hiu yang telah dikeringkan. Pada masa Portugis di tahun 1500-an, orang Bugis dikenal sebagai bajak laut yang menjual harta rampasan mereka hingga ke Malaka.
Bugis berhasil menciptakan koloni bahari yang sukses, mampu mendirikan pos-pos perdagangan hampir di setiap pelabuhan Indonesia. Pada abad ke-17, mereka mampu mengambil kerajaan Johor, dalam kurun waktu 1820-1830, bangsa Bugis sudah memiliki koloni pada masa pembentukan Singapura.
Hal yang cukup menggembirakan adalah bangsa Bugis adalah bangsa yang beradab. “Masyarakat Bugis yang datang tiap tahun untuk berdagang di Sumatra dianggap sebagai teladan dalam cara bersikap oleh penduduk lokal. Bangsa Melayu membuat pantun-pantun yang memuji pencapaian mereka, dalam hal keberanian mengarungi laut, serta semangat yang ditampilkan ketika membelajankan barang bawaannya,” kata seorang pelancong para 1792.
Demikian lah tulisan ini, semoga bermanfaat mengembalikan semangat juang mu..
Terimakasih
Idham Malik,
15 Agustus 2009
Idham Malik,
15 Agustus 2009
0 komentar:
Posting Komentar