Ya, matahari pagi juga bilang begitu. Raja siang yang tak henti menyinari bumi, pasrah akan takdir, berjuang untuk kerja yang optimal. Jika saja matahari ngambek, ekosistem alam pasti akan goncang. Seperti para buruh pabrik kereta api yang mogok kerja, perekonomian dunia sekalipun akan macet.
Tapi, kalau begitu, ia hanya punya satu pilihan, yaitu menyinari bumi.. merubungi alam dengan butiran-butiran zarahnya. Sejujurnya, kekuatanmu tak dapat aku ragukan lagi. Tapi, meski kau begitu hebat. Aku lebih memilih menjadi bulan. Bulan yang cantik dan dapat aku pandangi lewat jendela rumahku. Hatiku akan sejuk, membuat pikiran melambung ke istana raja, melihat selir-selir jelita.. tapi sayang, sementara dipermainkan oleh raja.
Aku duduk termangu di bale-bale, menatap kosong krikil di halaman rumah. Kerikil yang sempurna, menyerupai seorang kawan, sahabat lama yang telah menempati kampung melayu, bermukim dengan nyaman ditemani dengan komunitas-komunitas asing. Rasa-rasanya, ingin kukirimkan sajak padanya, lewat surat di halaman facebook. Sajak berisi rasa bangga sekaligus gundah. Ragu akan hidup di tengah-tengah modernitas.
Alam yang lain. Alam yang membuat kita tergantung terhadap jutaan orang di dunia, namun, kita jarang memerhatikan kumpulan orang itu. Mereka masih susah payah mencari tambahan untuk konsumsi keluarga, anak dan istri. Itu pun dikerjakan dengan pasrah, jujur dan ikhlas. Namun, kecewa pada dunia yang tak perhatian.. dalam hidup yang getir itu. Mereka kadang dibohongi dengan cerdas, sehingga mereka Cuma tahu mengeluh sekaligus terbahak. Tak tahu sebab apa gerangan yang menimpa mereka.
Hidup itu absurb..
Ya, kita hidup dalam kegemilangan, terpesona akan kecerdasan, ilmu pengetahuan. Kita nyaman hidup di atas menara, memandang lautan luas, hutan merebak hijau. Dalam benak pun terbecik, bagaimana aku dapat menguasaimu?
Dalam kegemerlapan pikiran itu, mata tak terkacaukan oleh pandangan kumuh di ujung kaki. Mata melompat menuju lautan, menghindari para pemulung dan peminta-minta yang terseok-seok di pinggir rumah, atau anak-anak balita yang digendong dengan kasar di tengah jalan raya, menangis bingung di hamparan udara panas, terik menggigit.
Oh.. berdosanya aku yang tahunya berleha-leha. Memuaskan nafsu dengan sekadar melahap buku novel. Menyusuri lorong alur tentang percintaan dua anak muda di negeri India. Tapi, aku tak jua resah terhadap sekelilingku, yang ternyata pada melarat. Begitu bodohnya aku.
Apalah guna ilmu ini, kalau Cuma digunakan sebagai ajang gagah-gagahan, memicu kesombongan. Bukankah orang sombong itu identik dengan kebodohan? Atau sebutan lainnya adalah orang yang sok pintar, namun setelah ditelisik ternyata pengetahuannya Cuma secuil. Apa yang bisa kita banggakan dengan ilmu yang sedikit itu? Tapi, jika kita gunakan untuk saling membantu, memecahkan problem masyarakat dengan sesekali merenungi, memikirkan matang-matang, tentang strategi kebudayaan yang akan diterapkan.
Ah.. lagi-lagi, gelisah hati ini menguap oleh apologi rasional. Inilah hidup bro, kita harus bisa bersaing di tengah-tengah krisis dan keterbatasan ini. Siapa yang ahli dialah yang berkuasa, bagi yang tak punya modal, siap-siap lah untuk punah seketika. Karena kalian hanya akan menjadi ejekan, “orang malas”.
Tak tahu batasan apa yang disebut mala itu. Apakah orang yang seharian turun ke sawah, lalu mencari ikan di sungai, menanam ubi di halaman rumah bisa disebut malas? Apakah malas hanya dipandang dari kecukupan ekonomi, dalam hal ini melampaui kebutuhan dasar? Tak tahulah kawan, karena pada dasarnya mereka itu bukan lah orang malas. Justru merekalah yang sangat rajin. Namun, mereka tak tahu mengefisienkan tenaganya, mengatur ritme alam untuk bisa berproduksi maksimal. Kita pun beruntung, karena merekalah yang menghidupi kita, menanamkan butir pada pada lumpur hitam, mencarikan ikan di laut. Kita sekadar menyerahkan benda mati berangka itu. Tanpa mereka, kita pun akan segera punah..
Pagi yang indah, malaikat bertandang ke kampus. Seorang ahli tafsir. Makanya saya harus siap-siap dulu ya.. hehehe
1 minggu yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar