1 minggu yang lalu
Aku mulai dari kata berbicara, dan berbahasa, kutambah dengan kata berkomunikasi
Aku ingin berkomunikasi bukan lewat kata tapi lewat gerakan. Ya.. seperti orang jaman purba yang berbahasa lewat gerik dan bahasa tubuh. Tangannya berayun-ayun, melompat-lompat. Sesekali merentang, mengatup, berkejap-kejap dan menepuk-nepuk dada. Kepalanya mengangguk, kemudian menggeleng. Badannya bergoyang kiri-kanan lalu membungkuk. Bibirnya tetap bergerak-gerak, tepatnya bergetar, namun tak bersuara. Ia hanya bersuara saat berteriak, memanggil-manggil kawannya dari kejauhan. Atau sesekali berdehem. Ehmm.
Ya.. aku bosan dengan kata. Sudah lama aku bermain dengan kata-kata. Tapi tak ada yang kudapat, cuma sekadar sumpah serapah saja. Dan aku pun mulai takut berkata-kata. Cukup sampai sini saja, aku ingin mengisolasi diri, ingin lenyap dari keramaian. Aku ingin berada dalam ruang bebas, hampa, lepas dari pesona kata. Di sana aku hanya bersahabat dengan burung-burung, dengan kumbang yang bergelantungan di ujung rumput menguning. Mereka pun jarang berkata, tapi beryanyi. Melantunkan keriangan, merayakan nikmatnya hidup tanpa beban. Ingin rasanya mengerti kicauan burung-burung itu. Nyanyiannya meliuk-liuk, bersuara untuk memanggil-manggil kawannya. Kalau begitu aku ingin belajar bahasa burung dan bahasa kumbang. Kalau sudah mahir, kuajak mereka bercakap, berbicara apa saja. Kutanyakan pada mereka bagaimana rasanya jadi burung, bagaimana caranya terbang di udara. Setelah itu aku akan melupakan bahasa manusia.
Kata,, ya.. sebuah benda yang rumit. Benda yang tak nyata, tak dapat dilihat. Ia hanya dapat didengar lalu diolah dalam kepala. Kata dapat terbang dalam alam maya, meliuk-liuk dalam sajak sastra. Ia pun begitu tajam dalam ulasan berita. Kata dapat pula menjadi perangkat untuk menjerat, menggoda dan memecah. Kata.. kata dapat menyembunyikan kebenaran, kata dapat menjadi senjata dalam meja perundingan. Siapa yang tak bisa berkata-kata akan tenggelam, lalu mati. Makanya aku takut berkata-kata.
Kalau begitu, aku juga tak ingin punya telinga, karena aku sudah bosan mendengar kata. Aku lebih suka punya mata, kalau perlu aku ganti dua telingaku dengan sebuah mata agar aku hanya dapat melihat dan tak akan pernah mendengar kata lagi. Beberapa potong kata yang tersusun dalam sebuah kalimat. Beberapa kalimat menjadi paragraf, dan kumpulan paragraf menyusun sebuah cerita. Dengan mata aku dapat melihat pesona, menangkap makna tanpa susah-susah mendengar kata. Dengan mata aku dapat lebih memaknai gambar, warna, pola dan bentuk. Tunggu,, dengan mata toh kita tak lepas dari kata, karena kata juga berupa bentuk, lekukan, garis. Coba perhatikan selembar koran, sebuah media tempat berkumpulnya kata. Kata yang tetap terdengar jika kita baca. Terdengar oleh suara hati, aliran darah yang mengalir deras melewati sinafsis yang mengaitkan akson-akson otak. So… sepertinya, walau sudah tanpa telinga kita tetap tak dapat lari dari kata. Jadi mendingan telinga biarkan saja ada di samping kepala. Yang penting ia tahu fungsinya, untuk saat ini jangan dulu mendengar kata.
Ya.. Aku ingin bersembunyi dalam diam, tanpa kata. Orang cerdas adalah orang yang dapat bersembunyi dari apa saja, termasuk dalam kata. Diam.. upaya untuk lari dari kata. Merenung, tafakur dalam ruang tanpa riuh. Aku hanya ingin mendengar suara angin saja, suara cecak, suara benda yang bergesek. Kata.. adalah senjata, perangkat untuk melawan. Dan aku ingin melawan bukan lewat kata, kata yang bersuara lantang dengan menggunakan microphon. Kata yang berupa teriakan-teriakan. Aku ingin melawan dalam diam.
Sembunyi. Seperti orang munafik yang lari dari peperangan. Sembunyi dari bunyi konsonan dan bunyi vokal. Sembunyi dari keteraturan huruf-huruf. Aku tak lari, aku sekadar bersembunyi. Karena aku tetap berkata-kata. Juga berucap lewat jari, jari yang menari-nari di atas tuts computer. Hanya saja, aku hanya tak ingin berbincang, berucap lewat lidah. Aku tetap mendengar, kisah-kisah manusia. Aku tak suka bergumul, bergaul, bercanda-ria dalam ruang yang riuh. Ya… kali ini aku hanya ingin bersembunyi di balik pintu, di antara sudut-sudut tembok lalu berbicara dengan mesin. Komputer maksudnya.
Saat ini aku ingin bercerita. Apa saja. Awalnya aku ingin bercerita tentang hariku, dengan kesepianku, tentang orang-orang yang menjengkelkan. Apakah aku munafik terhadap kata? Entahlah. Yang jelasnya aku telah bersembunyi dalam diam. Yang kulakukan hanya menyusun kata dari kumpulan huruf dengan menggerakkan jemari, memutar otak. Tanpa mengeluarkan kata dari pita suara.
Komunikasi adalah hal tergila yang pernah kudapatkan. Walau aku tahu bahwa komunikasi adalah tujuan, alat. Meski komunkasi adalah senjata ampuh untuk menjalin, mempererat. Meski komunikasi adalah bahasa, kumpulan kata-kata. Sebuah cara untuk mengungkapkan maksud dan hasrat. Tapi entah kenapa aku bosan dengan komunikasi. Bosan akan basa-basi dan derai lantang suara. Komunikasi adalah metode, komunikasi adalah pola. Sebuah bentuk jaringan-jaringan. Menjadi nafas, menjadi alur dalam sebuah cerita kehidupan. Tapi, untuk saat ini komunikasi menjadi batu sandungan, menjadi krikil yang menyumbat aliran darahku. Komunikasi membuatku gerah.
Tulisan lama yang hampir terkubur
0 komentar:
Posting Komentar