1 minggu yang lalu
Saya Cemas, Maka Saya Ada
Tengah hari, gelombang menara mulai berdenyut, berupaya menggoda hati orang-orang beriman. Sementara tubuh masih terpaku di ruang tengah rumah, mencoba memaknai lagi arti manusia, baik sebagai ada ataupun mengada. Bulir-bulir keringat menyembul di kulit perut, menandakan cukup tingginya suhu udara. Padahal, seharian kemarin, hujan mengguyur tak henti, mencoba member nuansa baru pada sepekan yang pengap ini.
Konsep manusia sebagai ada sudah seringkali diperbincangkan, namun seringkali pula dicemaskan. Ia memang ada sebagai mahluk empiris, yang dapat bebas bergerak dan punya kemauan kerja. ia ada karena dapat dilihat oleh mata, dapat diajak berbicara dan mewujud lewat hasil karyanya. Tapi, apakah manusia betul-betul mamahami mengenai keberadaannya? Ataukah sekadar turut manut pada alur waktu, yang menyeretnya pada kesibukan keseharian?
Manusia ada karena ia dapat menduniakan ruang yang ia tempati. Ia menjadi bermakna dengan memberi sesuatu pada tempat bergaulnya, entah bergaul dengan lingkungan, orang lain ataupun bergaul dengan dirinya sendiri. Ia ada dalam keseharian, sehingga ia dapat mengenali keberadaannya. namun, kondisi ini belumlah membuat manusia dapat menjadi lebih otentik, karena ia masih dikuasai oleh unsur-unsur di luar dirinya. Ruang, benda, atau pun alat pada dasarnya juga memberi sesuatu pada dirinya, sehingga membuatnya kian sadar akan peranannya. Ini sangat berbeda dengan pengertian Descartes tentang kesadaran, bahwa akal manusialah yang menentukan kesadaran, sedangkan tubuh dan alat hanya obyek kesadaran semata.
Manusia menjadi lebih otentik hanya pada momen-momen tertentu, ketika ia ditabrak oleh realitas. Ini terjadi ketika seorang professional muda dipecat dari tempat kerjanya, ketika seorang pria ditinggalkan kekasihnya atau ketika seseorang berada dalam keadaan sulit dan membutuhkan ketepatan dalam mengambil keputusan. Pada kondisi ini, manusia dipaksa untuk menghayati keberadaannya, berupaya untuk bercakap dengan dirinya sendiri, hingga ia bebas menentukan pilihan yang tepat untuk masa depannya. Ya, kondisi seperti ini biasa dibahasakan sebagai ‘cemas’ atau khawatir terhadap eksistensi diri sendiri. Tapi, justru kecemasan inilah yang membuat ia menjadi bebas kembali memanusiakan dirinya. Sebab, dalam pengertian ini, manusia itu belum tetap, ia masih mengada atau dalam proses menjadi. Ia terus berkembang menuju titik waktu yang disebut kematian.
Namun, kecemasan ini membuat perasaan seseorang menjadi lain, sakit atau tidak nyaman. Sehingga banyak orang yang menghindari rasa cemas ini dengan cara menenggelamkannya dalam keseharian. Ia menjadi lupa akan dirinya dan kecemasannya terhadap masa depan. Dengan demikian, keotentikan mereka pun menjadi kian tersurut. Ia dengan mudah menjadi ontis atau menjadi umumnya. Orang dalam kamus Indonesia diartikan sebagai yang umum dan tidak unik. Eksistensi tidak akan lahir dalam kondisi yang umum seperti ini.
Saya menghayati maka saya ada, inilah kata kuncinya. Kita menemukan diri kita saat berada dalam kondisi cemas. Cemas akan masa depan, masa kini hingga memikirkan ulang keberadaan kita pada masa lalu. Berbicara mengenai masa depan tentu berkaitan dengan waktu. Tapi, dalam pengertian ini, waktu pun menjadi relatif, lantaran memasukkan diri kita di dalam waktu itu. Kita menjadi mewaktu, lantaran masa depan kita tarik dalam penghayatan kita saat ini. Atau dapat dikatakan bahwa masa depan pun menjadi mungkin. Waktu akhirnya menjadi subyektif dan memungkinkan penghayatan kita benar terjadi pada masa depan.
Sementara pada masa lalu, penghayatan kita berhenti pada pengertian tentang keberadaan awal kita di dunia. Kita ada sejak dilahirkan, itulah yang terjadi, dan kita pun pasrah terhadap kenyataan itu. Dengan kerelaan itu, kita pun menjadi yakin bahwa kita betul-betul ada dalam dunia, dan dapat menduniakan ruang kita. Sedangkan masa depan, yang dipatok oleh kematian, membuat kita menjadi lebih yakin tentang kemampuan kita memanfaatkan ruang dan waktu sebelum tiba di titik final itu. Titik yang masih tak dapat diprediksi kapan dan dimana akan terjadi, tapi sudah merupakan sesuatu yang pasti bahwa semua manusia akan mati. Penghayatan atau kecemasan terhadap peristiwa menegangkan itu pun kian member makna kehadiran kita di dunia yang singkat ini.
Dengan begitu, kecemasan yang seringkali hadir itu justru menjadikan kita sebagai manusia Dasein. Manusia yang mengetahui makna keberadaannya. Rasa cemas yang melibatkan suasana hati dalam kondisi yang reflektif dan kontemplatif itu, member ruang kepada kita untuk berbicara dengan hakikat kita yang ada dalam ruang yang mungkin berisi kekosongan. Kosong bukan berarti nihil atau absurbnya Nietsche, karena dari kekosongan itu lahir keberadaan kita sendiri. Mendalami kekosongan hingga melahirkan pemahaman tentang keberadaan diri maupun lingkungan eksternal kita.
Satu-satunya cara untuk selalu menjadi otentik dalam keterjatuhan dalam dunia serta terlibat dalam keseharian yang jemu, hanya dengan melakukan penghayatan yang mendalam terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi, mencoba memaknai setiap tindak dan prilaku, menyadari setiap gerik dan keputusan yang dipilih. Mengerti kenapa kumbang terbang diantara pepohonan, paham kenapa anak kecil bermain pasir, atau kenapa anjing menggali lubang pasir dengan malu-malu. Pikiran kita pun tidak lagi diombang-ambingkan oleh tafsir-tafsir orang lain, yang kadang kian menjauhkan kita dari realitas yang sebenarnya. Tafsir yang berisi analisis-analisis yang telah terpragmentasi, yang telah terpetak-petakkan, yang membuat kita menjadi terasing dari realitas itu sendiri. Sebab, pada dasarnya realitas pun member pengaruh terhadap kesadaran kita terhadapnya, tidak melulu didominasi kesadaran subyektif kita apa adanya.
Emm.. sekian dulu ya.. silahkan bercemas diri, temukan diri anda di sana..
Tergoda oleh Filsafat Heidegger, Being and Time
Idham Malik, Di rumahku.
Maros, 23 Mei 2010
0 komentar:
Posting Komentar