Kata pertama yang hendak kutorehkan adalah kata maaf, maaf pada semua dan terkhusus lagi pada diriku sendiri.. Tampaknya, saya belum sepenuhnya memaafkan diri sendiri. Beberapa bulan ini, blog yang kubuat dengan spontan semenjak November 2008, sudah jarang kuhinggapi, tak lagi kuisi dengan riak-riak kegelisahan.. Dalam benak dan juga hati, muncul rasa kehilangan aktifitas kerja kognitif, yang berimplikasi pada menumpulnya persona dan kepekaan sosial. Hari-hari ku lebih bertaburan makna alam, terpikat oleh keanehan-keanehan symbol lain. Namun, lupa pada diri sendiri, bahwa ada kesepakatan terdahulu untuk selalu berbagi resah dengan yang lain itu.
Betul bahwa dalam hari-hari ini sering kali hadir rasa cemas. Khawatir terhadap pikiran yang kadang banjir informasi, namun tak menemukan muaranya. Padahal, sedari dulu aku tahu bahwa senjata yang paling ampuh mengeluarkan jabang rohani itu hanyalah dengan menulis.
Kadang, di tengah himpitan derasnya informasi, dan pergulatan menantang waktu yang tak kompromi. Muncul prasangka terhadap diri yang sudah angkuh, yang hanya menggunakan prangkat batinnya untuk mendapat “lembaran-lembaran” berwarna. Yang sekadar menguras otak untuk menyusun teks secara sistematis dan rasional, tanpa dibarengi sepercik cahaya hati. Oh.. begitu dahsyatnya kah materi sehingga betul-betul terasa menumpulkan hati?
Hati yang tak tahu letaknya di mana itu, yang mungkin terintegrasi dengan badan kita yang rapuh, surut oleh gempa materi. Hati yang biasa kutemui saat berkontemplasi atau kesadaran reflektif, kini melempem oleh gelombang-gelombang rasionalitas yang gersang. Ya.. ingin kumunculkan hasrat itu kembali..
Hasrat yang merupakan potensi itu telah terkungkung oleh aturan rasio, berupa kehendak untuk memutuskan kesenangan dan kepedihan. Tak ada lagi jerit di malam kelam, terbenam dalam ratusan huruf, berdomisili dalam ruang-ruang ciber. Tak ada lagi transpormasi energi di pagi hari berupa katarsis ide untuk mengobjekkan subjektivitas. Ah.. mungkin saya salah persepsi atau membuat pernyataan, tapi itu saya rasa tak masalah, lantaran kini rasionalitas ku telah dikuasai oleh kehendak hati.. dan kata adalah media terbatas untuk mengungkapkan gelorah atau hasrat yang membuncah..
Ya.. jalan satu-satunya adalah melakukan. Memakan buahnya untuk merasakan nikmat aroma sarinya. Bukan dengan sekadar mengumpat, menggeliat, dalam ketakterbatasan pikiran..
semangat!!!
1 minggu yang lalu
1 komentar - Skip ke Kotak Komentar
ya, kami maafkan...
semstinya harus selalu diasuh bogta kak...
banyak penggemar yang menunggu...
Posting Komentar