Cinta tak hanya suara hati, tapi ia juga punya logika. Sains terbaru mengungkapkan bahwa cinta tak beda jauh dengan sakit jiwa. Hal ini disebabkan lantaran komposisi kimiawi mereka yang jatuh cinta, yaitu sejenis bahan kimia bernama serotonin mirip dengan kadar serotonin penderita sakit jiwa. Serotonin melonjak saat cinta bersemi, meminta perhatian. Serotonin yang juga merupakan sepupu dari dopamin ini adalah sebuah neurotransmitter yang dilepaskan dari ujung neuron-neuron lain melalui sinyal listrik. Ketika reseptor bahan kimia ini saling bertemu, ia membuat neuron-neuronnya sendiri dengan melepaskan sebuah sinyal listrik. Beginilah cara otak bekerja: sinyal-sinyal listrik yang merangsang sinyal-sinyal kimia, lalu merangsang sinyal-sinyal listrik lagi.
Kadar serotonin inilah yang mengatur kepekaan, agresif atau tidaknya seseorang. Menentukan seorang dapat disebut introver atau ekstrover. Jika kadar serotonin dalam otak seseorang sedikit, maka orang itu akan berlaku impulsif. Tenang, sabar dan kadang ingin jauh dari keramaian. Para pelaku kejahatan sadis atau bunuh diri akibat dorongan-dorongan impulsif sering kali adalah mereka yang kekurangan serotonin. Sementara jika kadar serotonin dalam otak luar biasa tinggi, bisa jadi ia menjadi orang agresif, tak sabaran, cepat merasa bosan dan kompulsif. Orang yang mengalami kondisi patologis yang disebut gangguan obsesif-kompulsif biasanya dapat meringankannya dengan menurunkan kadar serotonin. Tapi jika cinta melanda, gen yang mengaktifkan serotonin akan bekerja ekstra. Membuat kadar serotonin luar biasa tinggi, melewati batas normal. Serotonin mengatur diri sendiri saat mengejar hasrat cinta. Seperti konsep autopoesis dalam teori sistemik Maturana.
Jadi tak salah kalau orang yang dilanda cinta mirip orang gila. Paras pujaannya menjadi titik pelabuhan ingatan. Cinta yang mengeras, seperti batu cadas, membatin. Mereka melakukan hal-hal luar biasa untuk menjaga cintanya. Mengorbankan apa saja demi kesenangan gadisnya. Sampai-sampai ada yang berlaku aneh saat tergila-gila, menjadi lebih agresif dan nampak optimis, beda dengan biasanya. Mungkin cinta seperti morfin yang mengencangkan daya otot, dan memperlancar aliran darah. Menginstruksi syaraf untuk kerja keras.
Ada pula sebaliknya, karena cinta tak terbalas atau telah tercampak, menjadi tak waras lantaran memikirkan cintanya terus-menerus. Memikirkan ia yang lagi bercanda ria dengan orang lain membuat memorinya terperangkap dalam lingkaran episentrum, melingkar tanpa ujung. Pikiran yang bertalu-talu tentang sosok itu disertai kesedihan yang mendalam akan merusak sistem syaraf pusat otaknya. Kemudian larut dalam dunia maya, halusinasi. Membuatnya jauh dari realitas, sampai menderita skizofrenia. Membuatnya lupa akan dirinya, dan tentang lingkungannya. Yang diingatnya hanya dia beserta kesedihannya itu.
Ia menjadi kutub negatif dari sebatang magnet, membuat pria yang bermuatan positif terus tertarik ke pucuk pasangannya. Mereka yang lagi kasmaran sangat sulit dipisahkan, semakin kuat daya kita untuk memisahkan, makin kuat pula daya tariknya.
Aroma badannya, cara jalannya dan aura yang tersembunyi di balik seyumannya membekas dalam ingatan, bagai jejak posil yang tak bisa lenyap dimakan waktu. Mengingatnya tak hanya sekali, malah keseringan, lalu menjadi inspirasi untuk segala cita. Menjadi motivasi untuk segala buat. Maka lahirlah maha karya dari sebongkah cinta.
Seperti gunung Bromo yang dibuat dalam semalam oleh seorang perkasa sebagai prasyarat melamar seorang gadis. Atau seperti tangkuban perahu yang juga dikerjakan dalam semalam oleh Sangkuriang untuk meminang Dayang Sumbi, ibunya sendiri. Meskipun keduanya gagal merebut cinta pujaannya. Taj Mahal adalah salah satu contoh maha karya karena cinta. Begitu banyak lukisan, novel, ukiran, patung, bangunan yang lahir karena terinspirasi oleh cinta. Cinta menjadi daya untuk merebut cita, energi yang terus hidup dan tak pernah habis. Karena ia adalah mata air bagi orang-orang yang dahaga akan ilmu, nafsu, dan rasa bahagia. Cinta adalah bintang yang berkelap-kelip, kompas para pelaut dalam mengarungi samudra luas. “cinta meningkatkan kadar serotonin, lalu meringankan kecemasan dan depresi dan dapat merubah orang biasa-biasa saja menjadi lebih optimis”.
Begitu sering kita memuji-muji cinta, tanpa menyadari kadang cinta itu pun seperti bumerang yang menyerang pelemparnya. Cinta yang berlebih jika terjatuh, lukanya sangat dalam. Butuh waktu lama dan terapi ampuh untuk mengikis penyakit yang disebut sakit hati. Apakah sakit hati itu juga direkonstruksi seperti makna kata dalam media yang dikendalikan oleh seorang jurnalis. Ya sakit hati itu mungkin juga merupakan produk pikiran. Pikiran yang terguncang akibat pengaruh lingkungan. Lingkungan itu dapat bermacam-macam, baik itu teman sepermainan, televisi, keluarga, atau melihat orang-orang umumnya. Peristiwa yang menyakitkan janganlah terlalu dipikirkan, jika akal kita terpengaruh maka ia akan terus berputar-putar dan kelenjar-kelenjar merangsang hormon yang mengatur perasaan. Perasaan yang sebenarnya telah terkooptasi dari perlakuan dari luar. Bisakah kita terlepas dari kooptasi tersebut, mencoba untuk tidak merasakan cinta yang demikian. Sehingga pikiran kita tetap jernih dan sehat dan tak membuat kita jatuh sakit?
Ah.. ini seperti polemik yang tak butuh jawaban, sebab kita sekadar merasakan, pikiran aya anggap sebagai korban perasaan yang disebabkan kehilangan .
Memang seperti itulah kondisinya, cinta pun tak dapat dibuat-buat dan saya sendiri masih bingung darimana datangnya cinta itu? Namun semakin dipikir semakin kusut, tak ada ujung pangkalnya. Apakah dari mata, dari hati, ejekan, kata, rayuan, otak atau penampilan. Kalau tak dipikirkan mungkin ia tak akan hadir, ia sepertinya semacam candu pikir. Ia menyerang otak yang lagi bebas pikir kemudian merasukinya. Dari otak ini virus cinta mengalir ke seluruh jaringan tubuh. Menstimulan pergerakan otot jantung, denyut nadi dan dengusan nafas. Raut-raut wajah menampilkan kondisi otak yang lagi butuh, rindu cinta.
Dan... saat ini saya tak mau memikirkan penyebab cinta itu, ia seperti tamu yang mengetuk pintu di siang bolong. Ketika jiwa mulai sibuk dengan hal-hal usang, ia datang mengantarkan rasa rindu, yang menggelembung dan menggebu. Membuat hidup lebih hidup, membuat waktu tak berdetak atau bergerak sangat lambat, sembari membayangkan senyumannya di kala senja.
Sekali lagi tak mau memikirkan itu,, sebab sekarang aku lagi dimabuk rindu, pada senyumannya yang mengadu.. hanya untukku..
Untuk dia yang kurindu selalu..
0 komentar:
Posting Komentar