Hari ini hari Ahad, kalau masih sekolah dulu sangat menantikan hari ini karena dapat nonton dengan puas serial-srial kartun. Pun terlepas sejenak dari riuh beban belajar di sekolah. Kali ini, Ahad (22/8), saya menepi di rumah lagi, tak ada lagi kartun, hari libur pun menjadi kian kabur. Sebab, tiap detik merupakan waktu untuk belajar, baik ilmu maupun sebentuk pengertian tentang diri dan lingkungan. Yah, ahad ini saya ingin mengkristalkan sedikit pikiran yang saya sibukkan dua pekan yang lalu, yakni tentang Indonesia mengajar, khususnya tentang pendidikan di daerah terpencil.
Biasanya, permasalahan utama daerah terpencil yakni rendahnya sumberdaya manusia, terhambatnya akses informasi atau belum tersentuh oleh modernitas (perubahan sosial). Sehingga masyarakat tak mampu memberdayakan alam secara maksimal. Daerah tersebut sangat terisolasi dari keramaian informasi, terletak di kaki gunung yang sulit ditempuh, sehingga arus migrasi atau perbauran penduduk dari daerah lain jarang terjadi. Daerah yang terisolasi membuat mereka terkurung dalam keterbelakangan bak katak dalam tempurung. Sebenarnya mereka dapat mengoptimalkan hasil padi, perkebunan, perikanan, namun karena kurangnya penyuluhan atau informasi tadi, sehingga teknologi yang digunakan sangat sederhana. Teknologi itu pun tak berganti sejak puluhan tahun silam. Tak ada inovasi, tak ada pupuk, atau teknologi terbaru, sehingga hasil panennya hanya bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari. Kurang untuk bisa diperjualbelikan. Ada pun yang bisa diperjualbelikan terbatas dalam hal pasar. Sehingga, kurang memacu perekonomian daerah tersebut.
Hal yang paling urgen yang mesti dilakukan khususnya oleh pemerintah, yaitu memperbaiki infrastruktur daerah berupa jalan, bangunan-bangunan penting seperti rumah sakit, puskesmas, serta sekolah-sekolah. Namun, biasanya pemenuhan hal tersebut butuh waktu lama, serta masih minimnya perhatian pemerintah untuk segera menyelesaikan persoalan kemiskinan di daerah tersebut. Bisa disebabkan karena kurangnya anggaran belanja daerah, dimana anggaran tersebut lebih difokuskan untuk pengembangan daerah pusat kota saja. Kekurangan itu salah satu penyebabnya karena kurangnya sumberdaya alam.
Sehingga dapat ditarik benang merah bahwa masyarakat tersebut bisa jadi merupakan masyarakat tipikal pekerja keras, namun karena minimnya informasi sehingga alamnya tidak terkelola dengan baik. Jadi hal penting yang harus segera dituntaskan akarnya yakni persoalan ketertinggalan tadi melalui pendidikan. Dengan pendidikan, secara cermat dapat merubah pola pikir masyarakat untuk selalu mencari solusi yang tepat terhadap permasalahan yang dihadapi. Namun, terletak pula masalah di sini, sebab pendidikan pun ternyata kurang dipedulikan oleh pemerintah, sementara makna pendidikan belum terlalu mendekam di benak warga. Padahal, siswa telah sangat antusias untuk mengenyam pendidikan tersebut.
Mengamati permasalahan pendidikan di daerah terpencil, kita terlebih dahulu harus memahami seluk beluk daerah itu, mengenali karakter masyarakatnya, sejarah, adat istidat, hukum sosial serta kepercayaan atau alam magisnya. Dengan pengenalan itu, kita dapat dengan mudah mendekati dan mencari solusi alternatif persoalan ketertinggalan daerah tersebut. Dengan pendekatan yang intens kita dapat mengajak mereka bersama-sama untuk membangun pendidikan di daerah tersebut. Sehingga yang ditimbulkan bukan ketergantungan, tapi kemandirian.
Sembari mempelajari mereka, kita bisa memulai dengan pendekatan dengan tokoh-tokoh masyarakat, membuka jalan berpikirnya. Dari tokoh-tokoh ini kemudian menjalar ke masyarakat daerah tersebut. Kalau sudah menampakkan titik terang kita bisa mengadakan pertemuan dengan pembicara adalah tokoh-tokoh adat tersebut, untuk bersama-sama memajukan sekolah. Setelah kesadarannya telah terbentuk, masyarakat pun dituntut untuk memberikan kontribusi, misalnya dengan melakukan renovasi sekolah, kerja bakti sama-sama membersihkan sekolah, menyumbangkan perlengkapan yang dibutuhkan sekolah, misalnya bambu atau papan, serta dapat membantu dalam memotivasi anaknya agar selalu belajar di rumah. permasalahan utama pendidikan anak-anak di daerah terpencil yaitu, rendahnya peranan orang tua dalam membimbing anak-anak. Anak-anak betul-betul menghabiskan waktu untuk bermain sejadinya. Atau malah ada orang tua yang melarang anaknya untuk bersekolah, sehingga angka putus sekolah juga dapat dibilang tinggi.
Yang harus diperhatikan juga adalah bagaimana meningkatkan pendidikan dengan pendekatan budaya, misalnya dengan memasukkan pelajaran mengenai pesan-pesan orang terdahulu atau biasa disebut dengan Paseng. Bisa pula diadopsi permaianan lokal, lagu-lagu lokal, sehingga tidak memupus warisan budaya tersebut. Dengan bersekolah, mereka dimotivasi untuk mencintai budayanya sendiri yang bisa saja sangat penduli terhadap lingkungan, memiliki muatan nilai saling menghormati antar sesama. Budaya daerah terpencil tersebut pun kita harus sadari merupakan unsur-unsur kekayaan negeri ini, yang tak boleh sirna tergerus oleh budaya global.
Saya berkeyakinan bahwa jika kita mampu menarik tegas makna dari budaya lokal kita, kita dapat dengan tegar berhadapan dengan budaya asing.
Budaya ini pun, meski terkesan kolot lantaran bersentuhan dengan nuansa magis dan tak logis, setidaknya dapat menjadi rem prilaku kita yang selalu saja tergoda untuk bertindak curang. Semangat kompetisi yang kebablasan membuat kita melirik orang lain sebagai musuh yang harus dijatuhkan, kita dihadapkan pada prinsip persaingan, dimana untuk bisa menonjol harus menindih kawan-kawan kita. Itu tak lain merupakan buah pemahaman ala evolusi Darwin yang sangat eksploitatif, menimbulkan perpecahan dan kerusakan di muka bumi. Setelah beberapa kali menyambangi daerah-daerah di Sulawesi Selatan, saya yakin bahwa ilmu lokal kita lebih arif terhadap kemanusiaan, juga terhadap alam. Satu contoh, kita dapat belajar bagaimana perlakuan warga suku kajang terhadap hutannya. Yang sangat harmonis, serta perlakuan antar warga yang saling menghormati dan tolong menolong.
Kita pun tak mesti tergoda dengan para konglomerat yang dengan rakus menggerus hutan, sibuk mencari celah untuk mendapat izin pengelolaan hutan yang pada dasarnya diperuntukkan untuk kelompoknya sendiri, sementara rakyat kebanyakan hanya memperoleh getahnya. Borok itu berupa asap yang berasal dari kebakaran hutan, kesengsaraan para penghuni hutan baik itu suku pedalaman yang kian kebingungan akan nasib masa depannya serta para hewan-hewan yang mati tercekik asap dengan sia-sia. Belum lagi dampak jangka panjang berupa bencana longsor dan banjir yang pada akhirnya menyengsarakan penduduk di daerah kawasan pinggiran hutan.
Yah.. begitulah efek dari watak rakus sebagian manusia, yang jiwanya sudah kering akan keprihatinan terhadap sesama. Mereka tak dapat lagi merasakan pedihnya perasaan orang lain. Justru, mereka lebih tertarik pada benda mati, dibanding benda bernyawa sesama spesiesnya.
Kita masuk dari budaya lokal itu untuk memupuk semangat belajarnya, bahwa untuk menjadi besar kita harus berjuang keras. Menginspirasi mereka dengan kisah kepahlawanan pejuang lokal dalam mendirikan peradaban, atau menggiatkan semangat nasionalismenya dengan sejarah orang-orang terdahulu yang ternyata jauh lebih Berjaya dibanding bangsa-bangsa di barat sana. Sementara untuk menjadi berdaya juga harus ditempuh lewat jalur ilmu pengetahuan, kesadaran akan kemanusiaan pun dapat dilalui lewat ilmu pengetahuan. Akal ini harus jernih membedakan, sehingga menjadi pertimbangan hati untuk memtuskan baik dan buruk itu.
Pemahaman akan keselarasan itu kita pupuk dengan langsung bersentuhan dengan alam, belajar dari lingkungan. Mengamati kemegahan kekuasaan tuhan, menimbulkan pertanyaan-pertanyaan sederhana, kenapa pohon itu begitu tinggi, kenapa langit itu berwarna biru, kenapa tanah ini berwarna merah, kenapa burung dapat terbang????? Dan siapakah Ia yang menciptakan semua ini??? Dari pertanyaan-pertanyaan mengusik itu, anak didik pun tersadar akan keberadaan di tengah-tengah alam, bahwa hidup ini untuk mengetahui, dengan mengetahui mereka kian aktif memelihara diri, masyarakat dan lingkungannya. Ilmu dan pengetahuan itu akan terpental di benak murid jika hanya bersandar di bangku-bangku kelas, tanpa menyibukkannya langsung mengamati alam sekitar.
Tentu, penyampaian pemahaman itu mesti mempertimbangkan psikologi anak didik, menyesuaikan dengan tingkat perkembangan mentalnya, serta menelusuri alam bakatnya. Kita tak boleh memaksakan sebuah pengertian tanpa melibatkan emosinya. Kita harus memberikan penghargaan setinggi-tingginya terhadap kemampuan yang telah mereka miliki. Akan berbeda pengaruhnya antara guru yang memberi nilai angka 10 pada anak didik dengan guru yang memberi angka 2, tentu guru yang memberi angka 10 lebih berkesan di hati anak didik, mereka pun terinspirasi dengan tingkah laku dan kata-kata guru tersebut. Hingga kini, saya masih terkesan dengan guru Biologi SMA saya, katanya kamu tak boleh kembali ke sekolah kalau kamu belum sukses..!! itu yang teringat jika mengenang sekolah..
Atau dengan kata lain, perspektif atau paradigma kurikulum lama yang bernuansa instruktur atau orientasi ke guru diarahkan ke nuansa fasilitatif dengan berorientasi ke siswa.. saya pikir, pemahaman seperti ini sudah menjadi pemikiran bersama, untuk mengembangkan sumberdaya manusia Indonesia kita sejak dini.
Pendekatan lewat cerita saya pikir menarik untuk mengembangkan imajinasi mereka, namun kendala utama pendidikan di daerah-daerah tertinggal adalah minimnya stok buku bacaan di perpustakaan mereka. Sehingga ini pun menjadi tugas pemerintah daerah serta pengusaha dermawan untuk membantu mereka. Keberadaan buku-buku tersebut, akan meningkatkan minat baca mereka, sehingga kemampuannya memahami alam serta jiwa manusia pun meningkat. Serta pada nantinya mereka akan mahir menuangkan gagasannya lewat torehan-torehan kata. Untuk jangka panjang, mereka-mereka lah yang akan mengembangkan desanya sendiri, dengan bekal pengetahuan dan mental yang telah mereka miliki.
Selain itu, guru-guru yang ditempatkan adalah mereka yang betul-betul gigih dalam dunia pendidikan. Bukan guru yang lebih mementingkan kenyamanannya saja, sehingga format yang mesti diterapkan adalah membina pemuda-pemudi daerah setempat untuk menjadi guru lewat program beasiswa daerah, setelah mereka belajar di sekolah tinggi, mereka pun dapat mengabdi untuk pengembangan sumbedaya manusia di desanya.
Lagi-lagi menuju pendidikan yang bermutu, butuh keseriusan pemimpin bangsa kita. Anggaran untuk pendidikan pun mesti ditambah, kesejahteraan guru harus lebih diperhatikan, serta kurikulum harus lebih mendewasakan anak didik, tidak hanya berisi muatan doktrin yang mengokohkan sebuah rezim. Namun, dari hari ke hari, kita menyaksikan penindasan yang berkepanjangan, berbagai belahan negeri ini menjerit, entah akibat kekerasan fisik, kelaparan, kefakiran dan lebih utama ketidakadilan. Yah, negeri ini masih disibukkan untuk menumpas para koruptor, para wabah yang menjadi parasit bangsa, tapi, tak dapat dipungkiri bahwa wabah itu hadir karena memang lingkungannya yang jorok, dapat menyuburkan mereka. Dan Presidenlah titik tumpuan awal, dialah yang paling bertanggungjawab. Tapi, alangkah sedihnya mendengar isu bahwa masa kepresiden akan bertambah satu priode lagi, entah apa dibenak orang itu, membiarkan orang lemah memimpin bangsa yang luarbiasa hebatnya ini..!!!
Terakhir, sukses buat Anies Baswedan, yang telah memberi wadah kepada 49 alumni berbakat seluruh Jawa. Semoga langkah ini dapat bermanfaat bagi mereka di negeri timur jauh itu..
Perjuangan yang Belum Sampai
Perjuangan yang Belum Sampai
Idham Malik
0 komentar:
Posting Komentar