1 minggu yang lalu
Pendekar dalam Sunyi Laboratorium
Aku ingin bercerita, suatu hal. Tentang dewa Wisnu yang menjelma menjadi Krisna, mengenai manifestasi Brahma pada benda-benda bisu dan buta, juga tentang pribumi dravida yang bersemedi dalam yoga menuju Buddha, serta afhorisme dewa dan epos raja-raja. Aku juga ingin berhayal tentang dunia maya, seperti JK. Rowling pengarang Harry Potter, Sharly sang pencipta fiksi sains ternama bernama Frankenstain, manusia buatan yang cerdas, tapi terlunta-lunta. Aku pun ingin mencoba berintusi seperti Einstein yang melamunkan medan elektromagnetik, energi, cahaya hingga sub atom.
Dari cahaya, ruang dan waktu sampai ketika ia membangun konsep, teori fĂsika modern yang meruntuhkan mekanika Newton, teori mutakhir bernama relativitas. Berspekulasi seperti Heizenberg perintis mekanika kuantum, dan tentang kejeniusan Stephen Hawking yang bermain-main dengan nebula dan lubang hitam. Sebuah kalaborasi indah yang terbangun dari Newton, Einstein yang kemudian disempurnakan oleh Hawking. Semacam bunga rampai teka-teki alam. Kata mereka, imajinasi adalah segalanya, luasnya tak terjangkau oleh logika, menembus alam nyata melanglang buana dalam alam mimpi. Dan aku sendiri hanya penikmat teori saja, dan baru kali ini ingin juga bercerita, menghayalkan sesuatu yang indah, berintuisi ria, tapi tidak serumit cerita dewa, atom atau cahaya.
Namaku Baghawad, nama yang berasal kata dari kitab kuno negeri India. Naskah religius yang tenar berisi puisi spritual nan indah. Aku bukan dewa, tapi manusia biasa, tapi terbiasa memaknai cerita hingga terbawa-bawa dalam maya. Aku berangkat dengan ilusi, mimpi-mimpi yang baru kualami lusa malam. Aku berpapasan dewa-dewi yang mengendarai pedati, mereka ditemani seorang gadis berbusana sari. Asosiasi mimpi ini mungkin terlalu berlebihan, karena kulihat mereka berlima bersayap putih, sayap dengan bulu-bulu halus. Pedati itu menggunakan sapi, sapi perah yang puting susunya terjuntai. Anehnya, wajah mereka terasa mirip dengan kerabat dekatku. Yang jangkung dan berdiri paling depan mirip Muhlis, teman SMA, yang cebol dan cerewet itu mirip Maman teman kantor pada media kampus, yang berkulitnya hitam, bongsor dan sedikit bangkok, ia mirip Fadly, ketua Senat Fakultas. Dua lainnya berkulit sawo matang dan hitam manis, parasnya seperti Nita dan fathonah kawan-kawan kuliahku. Yang berbusana sari itu saja yang beda, dan saat itu ia hanya menoleh sekali padaku. Ia tersenyum, giginya putih, dan nampak lesung kembar pada kedua pipinya. Tangannya terjuntai di dinding kereta, terlihat rambut-rambut halus tersebar di pergelangannya. Pedati itu berlalu sekejap dan lenyap berganti dengan cahaya menyilaukan mata.
Aku terkadang bingung, kenapa sering bermimpi yang aneh-aneh. Tadi malam aku bermimpi lagi, bermimpi tentang seekor kucing. Kucing itu mengeong-ngeong, sepertinya ia berusaha mengungkapkan sesuatu. Kucing itu bermata lentik dengan bulu mata panjang-panjang. Wajahnya sedikit berbintik, ekornya berputar-putar mengelus-eluskannya pada kakiku. Awalnya aku muak dan ingin kutendang jauh-jauh, tapi entah kenapa pada saat itu wajahnya mengingatkanku pada seorang. Bukankah kucing yang bermata lentik itu juga mempunyai lesung di pipi.
Kumulai pagi ini dengan berjalan menembus embun. Tapi untungnya ada cahaya, energi yang sedikit menghamburkan massa-massa cair itu. Udara pagi yang basah itu kuhirup dalam-dalam. Wajah tengadah ke langit, nampak burung-burung terbang di langit tanpa awan, beriringan membentuk formasi huruf V. Burung itu terbang berhari-hari, berimigrasi menuju negeri yang jauh, sebuah tempat yang teduh, menemukan lokasi yang cocok untuk kawin mawin, terutama saat bulan penuh bertaburan cahaya. Saat-saat seperti itu menggoda hewan langit itu untuk cepat-cepat orgasme. Memaklumkannya untuk memijah, mencipta generasi-generasi baru penjajah langit biru.
Kulalui hari seperti itu saban paginya. Pukul 06.00, aku sudah siap bermain-main dengan kumbang, menyambut siul burung jalak yang terkurung dalam sangkar di balik pagar rumah tetangga. Aku berlari-lari kecil, sesekali melempar senyum pada beberapa pasangan jompo, pasangan yang menyeka keringatnya dengan handuk, yang berusaha melawan ketuaan. Aku terus berlari, memaksa dengkul tetap bersahabat dengan enselnya. Ada yang tak aku tahu, kenapa aku masih risau, ada keheningan yang dalam, mungkin aku berlari bermotif sama dengan pasangan jompo itu. Ingin melawan sesuatu, menantang kesunyian.
Setelah lari pagi, bibi menyiapkan sarapan pisang goreng dan segelas teh hangat, aku menyantapnya dengan lahap. Setelahnya berendam dalam bak mandi, merasakan kenikmatan air hangat, kalau seperti itu, aku menghayal lagi sebisanya. Mencoba memikirkan rumus-rumus fisika tentang partikel nonlinear, akumulasi fraktal yang membentuk pola, mahkluk-mahkluk mikro di udara serta tugas biologi molekulerku hari ini. Aku pun masih terobsesi dengan kisah-kisah dewa wisnu, teka-teki alam serta terinsipirasi dari seorang Jerman yang sepertinya memang ditakdirkan untuk terus berfikir, sang maestro ilmiah, Albert Einstein. Setidaknya, aku dapat memahami teorinya, sekaligus mengaplikasikan ilmu itu dalam bentuk percobaan-percobaan sederhana. Barangkali aku dapat menjadi penemu juga, setidaknya mencoba membiakkan Daktilogyrus, bakteri perusak jaringan kulit ikan.
Saat ini, di samping dapur dan kamar tidurku, ayah telah memberikan hadiah terbaik pada usiaku yang ke 20, dua pekan lalu. Sebuah laboratorium sederhana, dengan seperangkat alat-alat, seperti beberapa tabung reaksi, erlemeyer, cawan petri, jarum ose, oven, autoclave, inkubator, beberapa jenis timbangan, sebuah mikroskop elektrik, Aerator, serta beberapa wadah akuarium kaca.
Aku ingin berangkat ke kota, membeli beberapa formula dan bibit-bibit baru. Tapi sebelum itu, pintu laboratorium aku kunci setelah memastikan tak ada lagi kesalahan. Aku khawatir rekayasa kultur pakan Artemia ku selama sepekan hancur berantakan. Padahal aku telah mengorbankan kuliah, melupakan hal lain selain laboratorium itu. Hewan mikro jenis crustacea renik itu aku perlihara seperti seorang nenek memperhatikan cucunya, atau seperti gadis pelacur yang memuaskan para tamunya. Selain membiakkan Artemia, dalam sehari itu, aku juga menginokulasi bakteri vibrio sp, memisahkan organisme yang tidak diinginkan dengan organisme yang ingin dikultur. Bakteri itu adalah salah satu penyebab penyakit yang menjangkiti organisme budidaya, khususnya Panaeus monodon, udang windu. Hal ini kulakukan sebagai media menyalurkan ilmu yang kudapatkan saat kuliah selama setahun di jurusan perikanan. Aku melepaskan kuliahku karena kupikir tak ada waktu lagi bermalas-malasan. Kuliah dalam benakku hanya membuat kita terbuai oleh aktivitas dan pelajaran yang membosankan.
Aku melakukan kultur itu setelah berlari pagi, setelah sarapan. Jam demi jam, hari ke hari. Pekerjaan itu bagai lingkaran setan, terus melingkar menuju pusat episentrum, seakan tak mempunyai tujuan. Dalam sehari, aku mulai dengan mengkalkulasi kepadatan telur dengan volume air laut yang sudah steril dalam lima buah gelas kimia. Kalau begitu, aku harus membiakkan dua gram Artemia pergelasnya agar sesuai dengan kepadatan volume air. Merangsangnya, agar cepat-cepat keluar dari cangkang, sebuah ketekunan untuk membangunkan embrio artemia itu dari tidur lelapnya. Untuk mempercepat penetasan, aku melakukan dekapsulasi, metode pengikisan kapsul, agar energi yang digunakan embrio untuk menetas tak terbuang percuma. Kuamati dari detik-ke detik tangga-tangga perkembangan embrio, menghitung dari jam ke jam jumlah telur yang menetas. Sampai 12 jam selanjutnya, ketika seluruh telur telah menetas, upaya terumit agar benur-benur itu tetap hidup sebelum dipindahkan ke wadah pembesaran. Dalam tahap-tahap perkembangan itu, aku pun mesti menjaga kualitas airnya agar tetap stabil. Hal lain lagi yang perlu dilakukan dengan membiakkan pakan Artemia, berupa protozoa jenis Infusoria. Semua ini kulakukan tak lain sebagai upaya untuk melawan kesunyian itu.
Kesunyian yang lahir begitu saja. Suatu kondisi yang mungkin sudah ditakdirkan padaku semenjak bertahun-tahun lalu, ketika pertengkaran sengit antara kedua orang tuaku. Perceraian yang berakhir di meja hijau. Dan berlanjut saat ayah membatasi pergaulanku. Dengan menjejaliku dengan berbagai kursus, buku-buku teori, perpustakaan mini, situs internet dan guru privat. Aku pun memperoleh predikat terbaik di bangku sekolah. Tapi, sayang, akibat dari ketekunanku, aku pun hanya berkelabat dalam kesendirian. Dimana pun, baik itu di perpustakaan, di kantin atau di lobi sekolah, aku hanya sendiri. Yang menemani hanya buku, benda yang terus aku pelototi saat waktu luang, atau tak ada tugas yang mendesak. Teman-teman mengira aku ini penderita autis, lantaran tak pernah aku ajak ngomong atau pun hanya sekadar basa-basi. Namun mereka tetap baik padaku, lantaran mengharap sesuatu, yakni contekan saat ujian. Meski begitu, aku tetap merasa kesepian, karena kebaikan mereka bukan tanpa sebab, hanya ingin menjiplak ilmuku saja.
Sampai pada suatu senja, ketika terkabar berita kematian seorang mahasiswi setelah tertabrak pedati pagi harinya. Aku begitu shok saat mengetahui identitas almarhumah itu. Tak lain seorang gadis yang selalu kupandangi saban hari saat nongkrong di kantin, ketika ia sibuk berkelabat dengan tugas kuliahnya. Ada saja rasa nyaman saat melihat bulir-bulir keringatnya menyembul di keningnya, atau menikmati ketergesaannya saat berjalan mengejar waktu. Wajah yang selalu membuntuti, entah ketika dosen menggores kapur tulis atau ketika lidah menyentuh kopi hangat. Ah, kenapa ia pergi begitu dini? Meninggalkan jejak di lubuk yang tak sempat mengatakan apa-apa. Sejak senja itu, aku kembali lagi berteman dengan kawan sejatiku, bernama kesunyian sampai setahun kemudian, ketika ayahku membuatkan laboratorium itu.
Kedamaian hanya aku peroleh saat bergelut dengan bejibun eksperimen, ketelatenan dan konsentrasi penuh dalam menfiksasi, menginokulasi dan mengamati dengan teliti tangga-tangga pertumbuhan infusoria dalam wadah botol kaca yang ditumbuhkan dalam lemari-lemari inkubasi. Setelah infusoria dewasa, hewan renik itu aku tebarkan pada media pembesaran Artemia, kemudian jika Artemia juga membesar aku juga menebarnya ke kolam berisi larva-larva udang jenis Vanamei, budi daya tambak pamanku.
Hal ini kulakukan sampai bertahun-tahun kemudian. Hingga pada suatu senja, ketika terdengar kabar seorang pria yang masih perjaka berumur setengah abad dengan rambut-rambut lebat menutupi sebagian wajahnya terkulai lemas dalam laboratorium. Ia mengenakan baju laboratorium berbau apak yang tak lagi berwarna putih, namun sudah kecoklatan karena penuh daki. Mungkin karena sudah pikun, pria itu keliru mencampur larutan, sehingga menimbulkan kepulan asap dengan bau aneh.
Saat itu, entah karena apa, ia kemudian berada di atas pedati. Ia terlihat asyik bercakap dengan seorang gadis berbusana sari, gadis berlesung pipi dengan gelang-gelang emas di kedua pergelangannya yang penuh rimbun rambut-rambut tipis. “Namaku Bhagawad, namamu siapa,” tanya pria itu dengan sedikit genit. “Aku…. Gita, gadis dari India,” jawab gadis itu dengan sedikit senyuman. Pedati yang ditarik dua ekor sapi itu kemudian berlalu dengan kecepatan cahaya, menuju kaki langit yang jauh.
Pintu laboratorium akhirnya terbuka, asap berhamburan keluar menyerbu pintu. Bibi, seorang wanita renta mengeluarkan jasad itu dari kepungan asap, sampai akhirnya, ketika senja mulai berlalu, derai tangisnya pecah saat mengetahui jantung pria kumal itu tak berdetak lagi.
Di balik peristiwa itu, bibi pun tak tahu bahwa pria itu telah bebas dari kesunyiannya. Kesepian bertahun-tahun. Ia kini telah bermesraan dengan gadis muda, mirip dengan almarhumah yang di tabrak pedati pagi itu. “Bhagawad Gita” kitab kuno India, sebuah kitab melawan sunyi.
Idham Malik,
Tamlanrea, Tulisan Lama
0 komentar:
Posting Komentar