semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

FIKP Bagi Rezeki di Bahuluang

Saban tahun, FIKP melirik pulau kecil atau pesisir untuk menjadi target Bakti Sosial tahunan. Pulau Bauluang mendapat giliran pada akhir 2007 lalu.

Pukul 07.00 wita, Sabtu pagi (1/12/07), beberapa dosen, pegawai dan mahasiswa berkumpul di parkiran Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP) Unhas. Udara masih menusuk kulit, penulis, beberapa mahasiswa dan pegawai uring-uringan membenahi perlengkapan bakti sosial (Baksos) ke Pulau Bahuluang, Kecamatan Mappasungguh, Kabupaten Takalar. Sekitar 20 dos aqua gelas, kompor, gas, genset (pembangkit listrik), sejumlah pelampung, serta beberapa karung beras diangkut ke atas mobil angkot.

Pukul 09.00 wita, pete-pete tiba di Kayu Bangkoa, tempat berlabuh kapal-kapal pengangkut antar gugus kepulauan Spermonde. Kapal PM Novita Sari yang kami tumpangi merangkak pelan, menjauhi Kayu Bangkoa, mengarungi samudera biru menuju Bahuluang. Perjalanan terkesan lamban, memakan waktu sekitar tiga jam. Lantaran mesin kapal bertarung dengan gelombang serta tumpangan yang beratnya tak tanggung-tanggung. Rasa bosan dan kantuk pun menyertai, tapi sedikit terobati dengan letupan-letupan humor para dosen, yang sering menyerempet para urusan di bawah perut. Itu pula yang membuat waktu terasa singkat.

Pukul 12.00 lebh PM Novita tiba di Bahuluang. Sialnya, pulau yang luasnya sekitar 110,79 ha ini tak punya dermaga, sehingga PM Novita tak dapat merapat ke sisi pulau. Solusinya menggunakan Jolloro, perahu sejenis sampan. Selebihnya dilanjutkan dengan berjalan kaki. Saat itu tampak reboisasi mangrove/bakau di sepanjang pesisir pantai. Luas mangrove pulau itu sekitar 68 persen atau 240,75 Ha yang sepertinya masih perawan. Sampai di darat, kami pun disambut oleh warga Bahuluang yang berbondong-bondong ke pusat kegiatan, SD no. 33 Bahuluang.

Kondisi pendidikan masyarakat di Bahuluang desa Matiro Baji cukup memprihatinkan. Tingkat pendidikan rata-rata penduduk hanya sampai tingkat kelas satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) saja, berpusat di SD No. 33 Bahuluang. Jumlah pengajar SD dan SMP itu sekitar enam orang, namun yang aktif mengajar cuma seorang, yaitu Daeng Lira. Pahlawan tanpa tanda jasa sepertinya pantas disematkan di dada daeng Lira.

Pulau yang berpenduduk sekitar 100 kepala keluarga itu bekerja sebagai nelayan. Ada yang sebagai pedagang pengumpul (baca: juragan) dan ada sebagai nelayan pekerja (sawi). Perbedaan antara dua kelompok nelayan itu tampak dari bangunan rumah. Juragan mempunyai rumah yang lumayan cantik, sementara sawi harus terus bekerja keras untuk terlepas dari lilit utang. Istri-istri sawi ini pun kebanyakan tidak memiliki alternatif pekerjaan yang bisa mendatangkan penghasilan.

Pernah pula warga Bahuluang mencoba untuk bercocok tanam. Namun, terkendala hama tikus yang menyerbu ladang jagung mereka, Padahal lahan untuk berkebun terbilang luas. Tikus-tikus itu juga yang menggerogoti rumah warga. Sejak itu, warga tak berani berkebun lagi dan menggantungkan hidup sepenuhnya dari hasil berlaut.

Nelayan Bahuluang dominan menggunakan pancing dalam menangkap ikan, sebagian lagi memakai jaring. Warga yang memiliki alat tangkap modern, macam purse seine (jaring lingkar) bisa dihitung jari. Sehingga hasil yang diperoleh sekadar untuk menyambung hidup saja. Meski begitu, kawasan laut Bahuluang masih perawan. Indikator pencemaran belum tampak. Aktivitas pengeboman ikan pun terjadi.

Berangkat dari fenomena itu, FIKP melirik Bahuluang sebagai objek Baksos 2007 yang memakan dana sekitar Rp. 15 juta. Rombongan yang dipimpin langsung oleh Prof Dr Ir H Sudirman, M.Pi, dekan FIKP ini menetapkan beberapa agenda. Agenda pertama adalah pemeriksaan mata yang dilakukan oleh Dr. Dr Habibah S, Sp. M dan dr. Ashraf. Lantaran banyak dari penduduk yang sering menyelam dan sakit mati. Namun jarang diobati karena letak Puskesmas yang jauh dan harus menyeberang ke Kecamatan Mappasungguh. Obat mata yang dominan berpenglihatan kabur itu juga dibagi gratis.

Agenda selanjutnya adalah bersih pantai bagi kaum pria dan pelatihan pembuatan bakso dan nugget ikan buat kaum perempuan. Suasana keakraban tercipta saat membenahi pantai. Sambil memungut sampah, mereka berbagi lelucon berbahasa Makassar. Ini membuat penulis tak paham apa yang mereka tertawakan. Para wanita juga tampak serius mengikuti instruksi dosen dalam mencampur adonan daging ikan dengan adonan tepung. Membulatinya membentuk layaknya bola pimpong. Beberapa jam kemudian, kami menyantap penganan mereka.

Pada sela-sela agenda itu, pegawai sementara memanggang ikan Dorodado, seukuran betis orang dewasa. Kami mencubiti daging ikan beramai-ramai yang bertambah nikmat setelah dilumuri cobe-cobe/campuran sambal. Malam harinya adalah puncak acara, yaitu sajian beberapa materi penyuluhan, seperti Daerah Perlindungan Laut Budidaya rumput laut, teknologi penangkapan ikan di halaman SD 33 Bahuluang. Setelah nonton bareng teknologi alat tangkap nelayan Jepang, acara ditutup dengan pembagian 50 paket beras.

Esok paginya kami hendak balik ke daratan Makassar dengan menumpangi kapal yang sama. Pada perjalanan pulang, penulis sempat mencicipi potongan tipis teripang (Holotruidea scabra) milik penumpang asal Kore. Nyamanna...

Idham Malik, Ahir Januari 2009



0 komentar:

FIKP Bagi Rezeki di Bahuluang