1 minggu yang lalu
Bintang Baru Terbit di Timur
Benim Adim Kirmizi, judul bahasa Indonesianya “Nama Saya Merah Kirmizi” ini kembali menobatkan pengarangnya, Orhan Pamuk sebagai peraih Nobel Sastra 2006. Novel tersebut berkisah tentang pembuatan buku Sultan Murat III Kesultanan Turki Ustmania, dengan latar belakang Istambul abad ke-16. Buku tersebut disertai ilustrasi ternyata pada ujungnya menimbulkan perkara serius antar pembuatnya.
Mereka saling bunuh membunuh lantaran perbedaan pandangan mengenai dunia ilustrasi Islam saat itu. Pusara konflik itu melibatkan seorang pemuda bernama Hitam, tokoh yang menjadikan buku ini kian menarik karena kisah cintanya dengan Sekure, seorang janda Turki. Hitam pun ditugaskan oleh sultan untuk mencari asal usul pembunuhan seorang ilustrator itu. Ia pada akhirnya menguak benturan peradaban Timur dan Barat yang berkaitan dengan pertentangan kebudayaan, sejarah, dan identitas agama. Dua cara yang berbeda dalam mengamati sebuah gambar atau ilustrasi abad ke-16.
Benim Adim Kirmizi telah diterjemahkan ke 25 bahasa dan memenangkan sejumlah hadiah sastra internasional, antara lain Prix du Meilleur Livre Etranger 2002 (Prancis), Primio Grinzane Cavour 2002 (Itali), dan International IMPAC Dublin Letrary Award 2003 (Irlandia). Saat menerima hadiah IMPAC seharga 1,2 miliar rupiah, Pamuk sempat bercanda, “Saya telah menghabiskan 30 tahun untuk menulis sastra. 10 tahun pertama saya khawatir soal uang yang saya hasilkan. 10 tahun kedua, saya menghabiskan banyak uang dan tak seorang pun bertanya soal itu. Dan sepuluh tahun terakhir, setiap orang ingin tahu bagaimana saya menghabiskan uang itu..”.
Orhan Pamuk. Ia dilahirkan sebagai Ferit Orhan Pamuk di Istambul pada 7 Juni 1952 dari sebuah keluarga berada. Ayahnya seorang CEO pertama IBM Turki. Pamuk menghabiskan banyak umurnya di Istambul dan sempat menjadi dosen tamu di Universitas Columbia, New York pada tahun 1985-1988. Pamuk menjadi penulis penuh waktu dan berkonsentrasi menulis novel pertamanya karena tak betah ditekan orang tuanya untuk segera menjadi insinyur di Jurusan Arsitektur Universitas Teknik Istambul.
Novel pertamanya, Karanlik Velsik (Gelap dan Terang) memenangi sayembara penulisan novel Milliyet Press 1979. Novel lain yang dibuatnya antara lain, Sessiz Ev (Rumah yang Sunyi, 1984), Beyes Kale (Kastil Putih, 1985), Kara Tirap (Buku Hitam, 1990), Yeni Hayat (Hidup Baru, 1995) dan terakhir Kar (Salju, 2002). Novel yang diterjemahkan berjudul Salju inilah salah satu dari sepuluh buku terbaik 2004. Pamuk sempat menerbitkan karya non-fiksi, antara lain catatan perjalanan, Istambul-Hatiralar ve Sahir (Istambul-kenangan dan Kota, 2003).
Karya Pamuk pada umumnya menggambarkan benturan peradaban timur dan barat. Ia melukiskan tokoh-tokohnya dengan sangat kuat dan memikat, tapi dengan alur yang cukup rumit. Ia akan membuat para pembaca menjadi gelisah, cemas dalam menelaah pilihan yang ditawarkan, yaitu antara timur dan barat. Yang pada dasarnya, Pamuk menginginkan pembaca dapat mengharmoniskan keduanya itu. Bahwa Istambul adalah perpaduan Timur dan Barat.
Di negerinya sendiri, ia dianggap pemberontak karena menentang fatwa hukuman mati kepada Salman Rusdie dan membela hak-hak minoritas kurdi. Ia juga berbicara lantang tentang hak asasi manusia, hak perempuan, demokrasi dan isu-isu lingkungan hidup. Akibat ucapannya saat wawancara dengan majalah terbitan Swiss, Das Magazin pada Februari 2005, “Tiga puluh ribu orang Kurdi dan sejuta orang Armenia dibunuh di negeri ini dan tidak seorang pun berbicara tentang hal ini” membuatnya terancam tiga tahun hukuman penjara. Tapi, ancaman terhadapnya mengundang reaksi internasional untuk menyerukan pembebasan atas Pamuk.
Namun, sesama temannya, Pamuk dianggap terlalu membesar-besarkan Turki. Ia tak pernah sedikitpun menyinggung bangsa-bangsa lain yang berbuat kejahatan yang serupa. Ada yang mensinyalir bahwa konflik ini dibuatnya sebagai siasat Pamuk untuk mempermudah meraih hadiah nobel sastra yang awalnya dialamatkan ke Harold Pinter.
Idham Malik, Maret 2008
0 komentar:
Posting Komentar