6 hari yang lalu
Hidup dalam Hutan
Sebuah Cerpen..
Tepatnya, aku mungkin tak cocok hidup dalam keramaian. Aku pantasnya hidup di hutan saja. Sebuah komunitas alami, hidup bersama spesies-spesies lain. Aku akan membuat rumah baru, berupa kumpulan dedaunan, ranting-ranting. Perabot rumah terdiri dari batok kelapa, kepala rusa, kerang laut, manik-manik dari pecahan tebing dan batang pohon. Rumah itu aku buat di samping pohon kastanye. Pohon yang tak ada di negeriku, tapi berada di belahan bumi yang jauh. Dalam rumahku akan bertaburan buku-buku, kumpulan kisah negeri-negeri asing. Tak lupa sebuah laptop untuk menenangkan kebimbanganku. Media untuk menyalurkan kegelisahan. Mulanya aku bingung karena di hutan tak ada listrik. Tapi kupikir di sana ada air, tepatnya air yang mengalir deras di samping rumah rantingku. Aku akan membangkitkan listrik dengan tenaga mikrohidro, seperti yang dilakukan Puni sang tokoh terpilih 2006 Tempo. Dari tenaga listrik yang kilowattnya tak seberapa itu, akan kucipta cahaya untuk menerangi rumah saat malam dan dapat menghidupkan kawanku, sang laptop.
Meski aku tak ingin bersosialisasi dan lebih sering menyendiri, aku tetap tak mengasingkan hasratku. Sebuah keinginan menggebu-gebu akan ilmu pengetahuan. Motivasi untuk mengetahui hal-hal selain diriku. Makanya, kalau tak lagi sibuk, buku-buku itu kupilah-pilah di bawah pohon kastanye. Sembari menikmati sejuknya udara alam tropis dengan alunan musik berupa kicauan burung serta nyanyian jangkrik. Di sana aku membuat target, dalam tiga hari harus menamatkan sebuah buku. Buku yang rata-rata 500-an halaman itu. Buku yang pertama ingin kukuasai adalah buku tentang bagaimana hidup di alam liar. Buku pegangan yang akan menentukan nasibku di hutan, sendirian. Dari buku itu akan kupelajari bagaimana memilah tanaman yang dapat dimakan dan yang beracun, belajar cara menghindar dari sergapan hewan buas, belajar cara buat api, cara praktis bercocok tanam sederhana.
Kalau sudah bosan membaca aku akan mengambil parang dan berangkat menelusuri hutan. Aku akan memperaktekkan isi buku tentang bagaimana cara hidup di alam liar itu. Akan kuperhatikan dedaunan, jenis-jenis jamur, lumut, serangga, buah dan bunga. Menurut buku untuk mengetahui bahwa tanaman itu tidak beracun kita harus menyentuhnya dulu. Setelah tiga jam tak ada apa-apa, daun, atau bunga itu disentuhkan ke bibir. Setelah tiga menit tak ada apa-apa bahan itu boleh dikunyah, tapi tidak ditelan. Jika selama tiga jam tak ada reaksi, bahan itu boleh ditelan. Kalau selama tiga hari tak terjadi apa-apa berarti bahan itu dapat dimakan.
Setelah menelusuri hutan, membuat jalur-jalur baru dengan memotong dahan-dahan, alang-alang. Aku pulang ke rumah rantingku dengan membawa berbagai jenis buah, jenis dedaunan, jamur dan bunga. Bahan-bahan itu kumasukkan dalam sebuah keranjang. Bahan yang kulihat gambarnya di dalam buku, atau jenis yang baru kukenal yang menurutku dapat dicoba apakah beracun atau tidak. Aku lalu membuat api setelah mempelajarinya berjam-jam. Tanganku sudah lecet tapi api belum juga tersulut. Gesek, putar, panaskan sampai tersulut. Selang beberapa lama, setelah keringat mengucur tanpa aku ketahui, percik api itu kemudian muncul. Sontak menimbulkan sebuah kemenangan dalam batinku. Membuat aku teriak girang sambil memukul-mukul angin.
Kalau senja, aku berlari menuju titik cahaya. Cahaya yang lapang, menembus cela-cela dedaunan. Cahaya yang jauh, sudah merah, terbakar. Kuburu ia hingga ke tepi hutan. Sampai Menyentuh tanah tanpa daun, tanpa ranting. Tanah yang terlapisi oleh butir-butir mengkilat, putih, bersih. Di sana matahari hampir lenyap, separuh tubuhnya tenggelam dalam laut biru. Memandang senja, larut dalam merah, pikiran tambah cerah. Angin darat yang mulai berhembus, membelai rambut di kulit ari, membuat nyiur melambai lalu bergoyang dan bersiul-siul. Aku mulai lagi berpikir tentang hidup, berpikir tentang fenomena yang menyergap sendi-sendi kehidupan. Apa gerangan yang menyertaiku saat ini? Kenapa aku kian risau, gelisah. Kenapa langit selalu berubah dan tak selalu merah? Kenapa pikiran ini kalut, tergulung-gulung seperti benang kusut. Ah.. entahlah, aku terkadang pasrah pada dunia. Pasrah akan kekalahan, gagal dalam suatu hal. Aku akan tetap di sini, berdiri, sampai langit merah jadi hitam, matahari tenggelam dalam kelam, dan bintang-bintang muncul lalu bepijar-pijar.
“Apakah karena ia,, entahlah”
Malam larut, aku akan balik ke peraduan, ke rumah yang berlantai jerami. Suara kesunyian menyergap, embun-embun mulai melengket di permukaan tubuh. Terserap masuk lewat pori-pori, mengelus-elus rambut ari, membuat badan gemetar, sampai kedua tangan ini tergulung di dada kemudian mengusap-usap wajah yang basah. Kaki melangkah, terseret dengan gagap. Meraba-raba, menelusuri celah hutan. Jalan yang tanahnya sudah coklat, berupa jalan setapak. Mungkin karena keseringan terinjak, so kalau begitu ada orang selain aku di hutan ini. Orang yang mungkin sering berkunjung ke pantai ini. Tapi aku tak risau, meski ada orang selain aku, toh aku tak menemukan mereka dan tentunya mereka bukanlah manusia seperti yang aku kenal. Mungkin mereka akan lebih baik dari manusia sebenarnya, manusia yang bermukim di kota. Dan aku kembali mencari ruang yang dikelilingi pepohonan kastanye itu, tepatnya bangunan dari ranting yang di dalamnya sedang menunggu sebuah laptop untuk secepatnya digerayangi.
Bagus kiranya kalau malam hadir aku merubah aktivitas. Remang-remang lampu teplon, kehangatan kayu bakar, membuat hati tambah segar untuk segera berbuat. Tepatnya untuk mencipta karya, sebuah alur, plot cerita yang aku kumpul-kumpul dan aku mulai dalam kedamaian malam. Karena malam adalah sahabat, kawan yang penyabar, tulus menemani kita dalam diam. Suasana malam berserta angin dan suara-suara yang menggetarkan hati, akan merangsang hormon adrenal bekerja, kemudian memerintahkan pituitari untuk mengeluarkan kelenjar untuk memompa aliran darah menuju otak. Logikanya, semakin banyak darah, semakin banyak oksigen. Dalam darah terdapat unsur yang disebut eritrosit, sel darah merah. Dalam eritrosit ini terdapat haemoglobin, sejenis protein yang mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Dann aku ingin haemoglobin ini dominan ke otak, supaya aku dapat mencipta sebuah karya yang cerdas, lebih cerdas dari pembuatnya sendiri.
Mula-mula kisah tentang seorang gadis yang tak pernah dibelai, tak pernah disentuh. Gadis yang sejak kecil selalu tekun belajar. Mematuhi segala peraturan orang tuanya. Gadis yang selalu menjadi bahan pembicaraan, gosip, dan dibanggakan tetangga-tetangga dan kerabat orang tuanya. Gadis yang kemudian jatuh hati pada seorang pemuda miskin yang bekerja sebagai loper Koran. Namun sayang, saat cinta bersemi, merekah bagai bunga tulip yang melebarkan daunnya, mereka tak mendapat dukungan dari orang tua gadis manis itu. Pemuda yang dikagumi sang gadis sebenarnya sangat tampan, wawasan lumayan luas, kalau berbicara ia sangat pasih dan meyakinkan. Mungkin karena sering membaca koran saban pagi. Tapi karena pekerjaannya, pekerjaan murahan, pekerjaan bagi orang yang tak berpendidikan. Ia lalu diusir oleh orang tua sang gadis. Ia diperingati agar segera menjauhi anaknya.
Orang tua yang sombong itu berpikir bahwa anaknya harus dijaga, dikemas menjadi mahluk yang sesuai dengan pikirannya. Si gadis harus menjadi dokter, harus ikut kuliah tambahan, ikut kursus bahasa asing. Waktunya tak boleh terbuang cuma-cuma, apalagi berkawan dengan pemuda miskin itu. Sampai pada suatu saat gejolak gadis yang dipingit itu memuncak, kesabarannya habis. Ia minggat dari rumah megahnya, malam-malamnya ia habiskan di lorong-lorong, menunggu sang pemuda pulang. Pulang dari perantauan yang entah di mana. Gadis yang selalu melamunkan si pemuda berharap berada di sisinya segera.
Sampai pada suatu malam, malam yang tak ada bintang. Di sela-sela emperan toko, di samping gerobak bakso. Kehormatannya lepas saat ditawari semangkuk anggur dari tukang bakso. Ia tak dapat berteriak, ia malah tersenyum, tawanya girang. Ia mencomot busananya, busana yang dihiasi renda dengan manik-manik dari butiran surga. Terakhir ia melepas branya lalu celana dalamnya, sambil tiduran di kursi panjang berwarna coklat. Ia menatap tukang bakso dengan tatapan yang nanar. Tukang bakso menangkapnya, mendekapnya, menghisap bibir gadis itu. Ia berhasil memasukkan lidahnya ke dalam mulut sang gadis, meremas buah dada yang mirip sepasang lemon kembar. Lalu memperlihatkan batang zakarnya. Mata sang gadis tak dapat lari dan terdiam saat melihat barang tukang bakso itu. Lalu ia menikmati sentuhan lembut tukang bakso yang tak lain adalah pemuda pengantar koran itu.
Mereka melalui malam bersama, lepas dari aturan, bermain-main dengan kelamin mereka.
Malam berikutnya, aku menulis lagi. Bukan tentang wanita, tapi tentang seorang kakek. Lalu lusa tentang seorang suami, besoknya tentang seorang kawan. Lalu tentang sebuah nama.
Idham Malik
2007
0 komentar:
Posting Komentar