6 hari yang lalu
Kita dan Dunia, Bersama Rasa Khawatir Itu
Menyangkut semua cerita yang telah tertoreh, tak lepas pula dari tetek bengek kehidupan. Hidup yang mengandung arti ada. Ada yang menuntut kerja dan hasil jerih payah. Manusia pun mesti bertanggung jawab atas keberadaannya. Ia tak patut untuk pasrah menerima keadaan yang menimpanya, atau menjalani kehidupan apa adanya. Paham eksistensi ini menghasut manusia agar terus mengada dan mengabadikan diri. Ada yang mengukir nama di Guinnes Rekor, pada batu cadas situs bersejarah, pada patung juliette tepatnya rumah inspirasi Shakespiere. Nama yang berkaitan dengan tubuh ini melekat pula pada buku-buku, tesis, atau pada lukisan. Setiap orang berlomba-lomba menitipkan namanya. Nama ini terukir dengan kadar berbeda, ada yang melalui perjalanan panjang, penemuan situs purbakala, tercatat sebagai penemu teknologi terbaru, sampai pada membuat ramuan air tahu yang baru. Manusia ingin dikenal bukan hanya hingga akhir hayat tapi untuk selama-lamanya.
Aku termasuk di dalamnya, terlibat dalam perlombaan mencetak nama. Tapi, aku pikir ini belum seberapa, namaku hanya terpampang rendah pada beberapa media fakultas dan sebuah koran kampus dan tentu terpapar dalam media blog ini. Mengenai istimewa atau tidak aku tak seberapa paham, karena hingga kini aku pun masih ragu, apakah dengan nama dan hasil karya saya itu akan memberi mamfaat bagi orang lain atau sekadar angin lalu semata. Saat ini di depan komputer aku mulai menggadang-gadang karya yang nantinya aku harap dapat melengkapkan daftar namaku buat masyarakat dan komunitasku. Entah bagaimana reaksinya, suka atau tak suka aku terima saja hasil akhirnya. Perlu diingat bahwa ini adalah pelajaran dan percobaan, kalau mereka suka ya Alhamdulillah.
Tentang nama tadi, kenapa orang banting tulang agar namanya tercatat dalam sejarah kampus, kota, provinsi atau dunia? Bukankah tiap orang dalam pandangan tuhan tak ada apa-apanya. Ilmunya pun dalam bahasa tuhan cuman secuil. Barangkali jika orang tersebut tidak dilahirkan, dunia ini tetap apa adanya, katanya karena tuhan telah mengaturnya sedemikian rupa.
Dalam teori chaos dijelaskan bahwa sesuatu yang besar tak menjadi yang semestinya jika saja salah satu bagian kecil tak dihadirkan. Bagian dalam fraktal, teori matematis chaos ini memberikan pengaruh dalam perjalanan arus waktu menjadi apa adanya yang sekarang.
Contohnya Indonesia tak mungkin merdeka kalau tak Hirosima dan Nagasaki di bombardir oleh US. Atau pada sekala kecil, teori kuantum mungkin akan bermakna lain jika saja Einstein tak lahir ke dunia ini. Pada bagian lain lagi meski Einstein ada di dunia tapi lahirnya di Indonesia misalnya, paham relativitas yang mengubah arah teori ilmu pengetahuan itu tak seperti ini kejadiannya. Untuk skala besar yang lain. Jika saja Jerman tidak kalah perang, barangkali kaum yahudi di dunia akan musnah. Tapi itu tak terjadi karena adanya oknum-oknum, atau pribadi-pribadi tertentu yang mengambil keputusan dan menghasilkan sejarah. So, jangan sesali keberadaan kita, kita tetap memliki peranan bagi dunia ini. Entah itu mengarah ke kebaikan atau malah ke keburukan.
Kadang pula aku berpikir, bahwa aku tak punya kehendak apa-apa. Karena semua telah ditetapkan oleh yang di Atas. Jalanku telah ditentukan. Daya dan upaya telah dikerahkan untuk mencapai target tertentu, namun selalu saja tersandung.. ada hukum di alam ini yang tak mengantarkan kita ke sana.. ada misteri yang selalu tak terjawabkan.. ada kekuatan yang di luar batas nalar.. Ia pun membuka jalan pada ranah lain, memberi petunjuk untuk segera dilalui.. tapi kuatkah daya melangkah ke sana? Jalan yang penuh rintang, berlumpur, berduri.. tapi, aku sadar bahwa di ujungnya berhambur cahaya, keemasan.. karena pada jalan itu, akan melahirkan seorang yang tak terbagi. Ia menjadi sebuah persona pada bidang tertentu, menjadi pembanding tentang sebuah kasus tertentu.. menjadi tempat orang bertanya dan berkeluh kesah..
aku berjalan, melangkah dengan ragu.. yang khawatirlah yang selalu menghantui. Khawatir terhadap cita-cita, terhadap keinginan yang belum jelas arahnya. Jalan itu seperti mimpi buruk yang mengandung bahaya.. lantas, kenapa hal ini menjadi dilema?
Bukankah aku telah beberapa kali membuat tulisan tentang karakter manusia Bugis? Manusia yang pantang menyerah. Manusia yang hobinya mengembara, mengembalikan siri’ atau harga dirinya yang tercampak pada negeri lain. Orang bugis adalah suku perantau, suku yang suka tantangan, pintar beradaptasi, dan mampu menguasai.. lantaran itu, aku tak mesti menyerah, walah rasa takut selalu menghampiri.. dari beragam pengetahuan sejarah itu, saya juga ingin melibatkan diri. Membenamkan tubuh dalam gelombang yang tak pasti, demi menjaga harga diri. Bahwa saya juga ada di dunia ini. Tentu, untuk merangkul dunia ini kelak..
Menyangkut eksistensi yang kemudian digoyang oleh teori proses. Kita yang sekarang adalah hasil akumulasi kita-kita yang lalu. Kita yang berasal dari keputusan dan pilihan kita di masa lalu. Kita terbentuk karena interaksi ribuan orang, baik itu keluarga, tetangga, kerabat, teman sekelas, sampai presiden hingga orang-orang asing. Mereka semua membentuk kita yang hari ini. Bukan hanya itu, tanaman, air, sungai, awan, matahari, serta televisi juga memberi peranan. Kita tak dapat lari, kita sudah terkurung dalam jaringan ekosistem alam semesta. Kita pun telah memberikan sumbangsih bagi yang lain. Bagi tanaman, angin, air atau kelabang. Mungkin ada yang berbeda jika kita tak ada.
Manusia tak lain adalah utusan tuhan untuk merawat hasil ciptaannya tersebut. Karena manusia dianugerahi akal dan pikiran. Akal inilah yang berperan untuk membaca sabda tuhan yang terbentang luas di dunia ini. Tuhan yang disebutkan sebagai ada yang sebenarnya. Ia adalah penyebab pertama di dunia sebelum ada yang lain lahir. Tuhan tak dapat dilihat secara empiris, tak dapat diukur, dihitung. Akal manusia terbatas untuk mengukurnya. Tuhan tercermin pada seluruh mahluknya. Mahluk yang dapat mati, membuktikan kelemahan dan keterbatasannya. Mahluk yang merupakan bagian, bagian yang mencirikan keseluruhan. Tuhan adalah tunggal sekaligus keseluruhan. membentuk pola yang sama seraya tunduk pada kemahasempurnaan tuhan. Kita ada karena adanya tuhan, tuhan dalam teori chaos membetuk order kehidupan. Alam itu sendiri adalah representasi tuhan, zamrud yang terbentang luas. Tuhan pun entah dari mana dalam akal kita sudah tertanam tentang keberadaan tuhan. Akal kita tak dapat memungkiri tentang ide keberadaan tuhan. Karena akal kita pun sebenarnya tunduk pada yang maha kuasa dan lagi penyayang itu.
Baik buruk dalam pandangan teori sains baru dan mistisme timur adalah hal yang nisbi, karena semuanya memiliki peran dan lakon tertentu dalam membentuk dunia manusia. Seperti putih dan hitam, kecil dan besar, malam dan siang adalah perandaian dwitunggal, sebuah paradoks yang mendekam dalam diri manusia dan alam semesta yang menuntut untuk diseimbangkan.
Entahlah..
Idham Malik, pertengahan Desember 2010
Di Warkop Mammiri, Makassar..
0 komentar:
Posting Komentar