Ada berita miris dari belantara universitas, seorang Doktor universitas kenamaan turun pangkat menjadi setara S1. ceritanya, Universitas Indonesia (UI) almamaternya, bermaksud memverifikasi disertasi sang doktor yang dianggap cukup cemerlang. Namun, kebanggaan universitas sontak sirna setelah mengetahui pada disertasi doktor itu terbukti meniru sebanyak delapan halaman skripsi mahasiswa bimbingannya. Ini menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat ilmiah, karena mantan doktor ini sempat menjadi muara ilmu lantaran orisinalitas ide dan keluasan wawasannya.
Cerita lain dari si Ipong, inisial dosen universitas ternama di tanah Jawa. Dosen ini sempat populer dengan ulasan-ulasan hangatnya di berbagai media pada tahun 70-an. Namun, kehebatan Ipong menelurkan ide-ide cemerlang saban muncul isu terbaru berbanding terbalik dengan prilaku menyimpangnya. Belakangan, disertasi Ipong kedapatan mirip dengan sebuah disertasi dari universitas Leiden Belanda. setelah itu, Ipong seperti ditelan bumi, namanya tak pernah lagi nongol di media mana pun.
Bagaimana dengan Unhas? Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian mahasiswa Unhas berprilaku mirip Ipong. Entah itu di fakultas sosial atau exacta, cela untuk berbuat curang terbuka lebar. Istilah kerennya adalah plagiat. Ada mahasiswa yang sekadar mengganti tahun penelitiannya saja, namun konteks dan isi tetap sama. Ada yang menilap dari skiripsi universitas lain, macam UGM atau UI. Ada pula yang meminta pertolongan bisnis gelap pembuatan skripsi dengan mengihlaskan segepok rupiah. Meski pelaku sangat sulit diketahui, cerita ini muncul dari mulut ke mulut. Dari lelucon segar mahasiswa yang berwatak jalan tol. Tak mau susah-susah.
Pertanyaannya, kenapa sebagian kalangan ilmiah, sampai-sampai si Ipong yang terkenal cemerlang dapat berprilaku menyimpang? Mungkin muaranya tak jauh-jauh dari kontraversi sistem pendidikan Indonesia yang hanya menekankan aspek intelektual tanpa menumbuhkan aspek moral. Meski sedari SD hingga semester pertama kuliah, murid dicekoki dengan moral pancasila, namun sepertinya tak berhasil. Mata pelajaran itu semata-mata untuk memproduksi manusia yang harus beradaptasi dengan lingkungan, tapi tak mampu melahirkan ide, membuat pilihan, dan mengambil keputusan. Jika warga belajar (baca: murid dan mahasiswa) mengambil resiko untuk mengembangkan pikiran akan dicap sebagai murid yang tak dapat diatur.
Kurikulum yang berat menyebabkan para guru atau dosen dikejar tuntutan menyelesaikan materi tanpa sempat memancing kekritisan warga belajar. Kemandirian warga belajar terkebiri lantaran materi hingga soal ujian sekadar menuntut kepatuhan pada teks. Jika berbeda dengan teks lagi-lagi dicap keliru. Kebenaran sudah ada, tinggal dihafal dan tak perlu dipikirkan. Ini membuat ruang transformasi diri tertutup dan sekolah hanya menjadi alat pengalihan pengetahuan. Dari sini watak untuk selalu melakukan potong kompas terbentuk. Kebiasaan mencontek saat ujian adalah contoh paling kecil potong kompas itu, kebohongan ilmiah tampak pula saat pembuatan tugas laporan yang kadang meniru karya temannya. Akumulasinya adalah plagiat skripsi hingga disertasi.
Bisa jadi plagiat terjadi karena ada asumsi bahwa yang dibutuhkan dari universitas hanya gelarnya saja, ilmunya belakangan. Proses belajar sampai pembuatan skripsi sekadar formalitas untuk merebut gelar yang kemudian akan dijual di pasar kerja. Makanya muatan-muatan ilmiah seperti orisinalitas, keakuratan dan kejujuran ilmiah dinomorduakan, hasil lebih utama daripada proses. Toh skripsi yang dapat memakan jutaan rupiah itu hanya menjadi pajangan di perpustakaan.
Kalau begitu, Unhas harus melakukan langka taktis. Selain merubah format belajar dari teaching ke learning, setidaknya perlu dibentuk badan khusus untuk menyeleksi skripsi-skripsi bermutu untuk dipublikasikan secara luas ke masyarakat. Mengamati Universitas Leiden lebih memuaskan lagi karena sebelum sebuah skripsi, tesis atau disertasi diujiankan, terlebih dahulu dijadikan sebuah buku yang diterbitkan oleh universitas. Unhas tak usah seperti Leiden, mengingat minimnya dana. Cukup dalam format jurnal ilmiah saja, dengan begitu mahasiswa akan bangga karena kringatnya tak terbuang sia-sia.
Perlu juga dibentuk tim verifikasi karya ilmiah untuk membuktikan otentisitas dan orisinalitas sebuah karya. Sehingga tak sekadar menjadi formalitas belaka. Ini diperuntukkan untuk meminimalisir plagiat dan mempertahankan wibawa universitas. Tentunya butuh kerja sama dan kejujuran civitas akademika, untuk sama-sama menghakimi massal pelaku plagiat, bukannya menyuburkan lantaran ada kepentingan lain yang lebih mendesak dan itu persoalan perut!!
Tajuk Awal April, Koran Kampus identitas Unhas, 2008
1 minggu yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar