Jumat yang riang, pada siang Jumat ini lagi-lagi rahasia terkuak, lewat pengamatan yang baru saja terjadi, cabikan-cabikan daging pada kepiting menjadi bukti bahwa akan mencuat lagi rahasia berikutnya. titi, teliti, keten, eling dan waspada, lima rukun yang saya terapkan untuk membuka mustika kepiting di gudang ini. Tentang hal itu, masih banyak rahasia dibalik rahasia, so.. nantilah, ndak enak kalau dibongkar sekarang, mending kita mengenang perjalanan pada minggu-minggu lalu, di Sabtu yang ceria, 12 Februari 2011.
Pagi di Sabtu itu, saya sudah janjian dengan Kak Yunus Muhammad untuk berkunjung ke Bogor, Yunus adalah seniorku di koran kampus identitas Unhas, yang kini menjadi staff program acara di Metro TV, Kedoya, Jakarta Barat. Ia juga menetap di Jakarta, sejak awal Februari lalu, sengaja diutus oleh pengurus pusat untuk membantu staff program salah satu acara di media milik Surya Paloh itu. Hari ini kami akhirnya bisa bertemu, tepatnya di halte Harmoni Jakarta Pusat, senang rasanya mendapatkan saudara satu kampus di ibukota ini. Apalagi dengan kak Yunus, yang aslinya bernama Muhammad Yunus, tapi karena kepincut dengan kecerdasan Gunawan Muhammad, nama muhammadnya juga diletakkan di belakang, jadi deh Yunus Muhammad.
Jam 9 saya sudah tiba di Harmoni, namun kak Yunus belum terdengar kabarnya. Saya duduk di bangku platinum sembari mendengarkan perbincangan politik di radio hp via hadset. Temanya tentang kekerasan antar ummat beragama di Pedeglag Banten. Pembicaranya saat itu, seorang anggota DPR, Komandan Polisi, intelektual universitas, staff dinas kenegaraan. Asyik juga perbincangannya, hingga mengarah pada saling tuding. Perwakilan pemerintah pun tampak tersudutkan. Merasa teraniaya oleh opini yang berkembang, bahwa intelejen pemerintah selalu lambat menangani kasus-kasus kekerasan yang menimpa kaum minoritas. Ditinjau dari segi hukum, pencegahan selalu lamban, para cecenguk gila sok ‘pemilik kebenaran’ itu dengan bebasnya menghunus pedang, melempar batu, membakar, dan bahkan membunuh orang yang tidak bersalah. Orang yang tak tahu sebesar apakah dosanya hingga dituntut menemui ajal dengan bengis seperti anjing rakusl!! Pun binatang saja tidak dianiaya seperti itu!!
Kepolisian dan perwakilan pemerintah membela diri, “kami sudah mengganti pejabat kepolisian yang terkait!” serunya.. dalam titik-titik persinggungan itu, perbincangan politik pun punya etika, mereka lalu mencari angin dan air segar untuk mencairkan suasana. Lelucon salah satunya, ketegangan menjadi cair, dan tak ada yang merasa dipersalahkan. Komunikasi publik berhasil, “win win solution”.. berada pada posisi menang dan memenangkan.. tak ada yang dijatuhkan. Walau dalam hati menganggap, lagi-lagi ini adalah intrik! Permainan tingkat tinggi untuk mengacaukan keadaan, melebarkan isu terror yang mengancam dan menimbulkan ketakutan pada massa. Sehingga, perhatian masyarakat teralihkan dan pelan-pelan melupakan persoalan besar.. negeri ini penuh dengan tragedi, yang dialami masyarakat sendiri, yaitu tragedi komunikasi.. masyarakat kita, masyarakat yang pelupa!!
Kak Yunus baru tampak batang hidungnya sejam kemudian, ia menepuk pundakku dari samping. Ia pun tersenyum.. kami pun melenggang ke stasiun kota, untuk mengambil kereta menuju Bogor. Setiba di Stasiun Kota, muncul rasa takjub dari Kak Yunus, “Dam, dulu waktu kecil saya sering melihat stasiun kota, tapi di kotak permainan monopoli”. Hahaa... sekarang tidak lagi kak, tapi kita menjadi bagian dari biji monopoli itu, hendak menuju stasiun bogor yang letaknya pada gambar diluar kotak monopoli. Kami mengambil tiket ekspress, kali ini Kak Yunus yang bayarkan. Selalu saja senior sadar bahwa dirinya senior.. hehe..
Dalam kereta, kursi tampak lowong, kami boleh memilih duduk di mana saja. Tak ada lagi desak-desakan, bergandulan pada plastik pegangan. Kami pun bebas bercakap di atas kereta, tentang kehidupan di Jakarta, kampus Unhas dan teman-teman kerja. Dalam diskusi ini menyerempet kritik kesumat terhadap fakultas perikanan, yang lemes dalam metodologi. Sehingga, mahasiswanya tidak terbiasa dengan masalah. Buntutnya, ketika keluar dan terjun ke masyarakat, mereka pun kebingungan menghadapi masalah. Titik-titik pertemuan masalah, benang merahnya sudah ditarik, lantaran di kampus jarang diperlihatkan simpul-simpulnya. Masalah itu bertebaran di perusahaan perikanan, di pesisir pantai, atau di pasar-pasar ikan. Mahasiswa lebih condong ke buku, itu pun kalau sempat di baca. Saya lebih menyorot bahwa mungkin mahasiswa lebih condong ke slide dosen, untuk dihapalkan, bukan untuk dicerna, dikunyah untuk menjadi energi. Malah menjadi batu ginjal karena tidak bisa disalurkan, atau menjadi panas yang lepas begitu saja. Dan sekarang zaman teknologi, perhatian mahasiswa lari ke mata satu (laptop), mengotak-atik facebook, ketawa sendiri, menjadi autis.. tapi saya tak mempersalahkan hal itu, sebab disamping individu, lingkunganlah yang menjadi penawar. Tapi kalau lingkungan juga menjelma menjadi racun, itu yang jadi soal. Soal yang tidak dipecahkan dengan rumus matematika atau tidak terdapat dalam buku teks, tapi lahir dari kepedulian dosen-dosen, pembimbing mahasiswa, pengurus BEM, himpunan, dan wali-wali, sunan-sunan di ruang kelasnya masing-masing.
Sejam kemudian kami tiba di stasiun Bogor, mencari kamar kecil dulu, lalu menyusuri pedagang kaki lima, lalu mengambil angkot ke lampu merah Laladon, ke rumah kontrakan seniorku, alumni Unhas yang lanjut di IPB. Sebentar saja rasanya kami tiba di Laladon, dimana perut kami sudah keroncongan dan minta jatah makan. Menunya saat itu sate kambing, lumayan enak, lagi-lagi kak Yunus yang traktir. Sesampai di pintu rumah, kami disambut, kak Edy mengenali kak Yunus.. “Hei Yunus, apa kabar,” sapanya. Kami masuk ke kamar kak Bau, disitu lama terjadi perbincangan. Yah.. soal-soal politik kenegaraan yang bagiku masih terdengar berat. Yunus santai saja mendengar, dia wartawan, dan banyak tahu tentang jalur-jalur distribusi pemerintahan di negeri ini. Dimana kesimpulan kami, bahwa timur masih sulit mengalahkan barat, bagaimana pun kerja kerasnya. Persatuan Barat sangat kuat, khususnya dalam lobi-lobi politik. Saya pun tersedot dalam gairah etnisisme tanpa sadar. Keterlibatan dalam risau ketidakadilan. Barat selalu menjadi prioritas, timur menjadi nomor ke sekian.!!
Saya lupa peristiwa pada malam harinya, mungkin saat itu saya langsung istirahat. Esok pagilah puncak keseruannya. Kami sekontrakan berangkat ke Kuningan untuk bermain futsal. Penghuni kontrakan membawa seragam bola, “yang penting kita menang gaya,” kata Kak Cimeng. Soalnya, lawan kita sebentar adalah senior-senior, para staff ahli anggota DPD dan DPR pusat, datang pula seorang anggota DPD Sulawesi Barat, namanya Kak. Asri, mahasiswa Sastra Unhas angkatan 94.
Tiba di lapangan futsal saya langsung menjadi penjaga gawang pemanasan para pemain, tanpa saya ikut pemanasan. Permainan pun dimulai, dan saya menjadi penjaga gawang betulan. Awal-awal permainan, beberapa kali saya menangkis bola, namun beberapa kali pula gagal. Gagal karena kaget menghadapi bola yang terbang lurus seperti angin. Cepatnya minta ampun. Sepertinya lawan tak punya rasa kasihan dalam menendang bola, biar tinggal dua meter dari jarak saya, mereka menendangnya begitu keras. Saya pun beberapa kali menangkis dengan tangan perih, perut mual.!
Permainan berlangsung empat sesi, dengan waktu selama dua tiga jam. Selalu saja ada yang menambah waktu permainan saat bel selesai, berdering. Kami bermain hingga puncak kekuatan, turun landai ke lembah lelah. Sebagai gawang saja saya capainya minta ampun. Keringat banyak bercucuran, minum pun tak mau henti, minum lagi dan minum lagi. Permainan kali itu merupakan olahraga terberat dua bulan terakhir.!!
Sehabis bermain, kami yang berjumlah sekitar 20-an orang itu berangkat ke Rumah Makan Pelangi, RM milik pengusaha Makassar. Menu yang disajikan adalah menu khas Makassar. Pertama, kami memesan minuman, jus sirsak yang saya pesan betul-betul menyegarkan. Setelah minuman keluar, sambel dan cobekan pun keluar, temannya adalah piring nasi.. senior-senior pun banyak yang usil, mencampur-campur makanan seenaknya. Sambil tertawa tengik.. pelayan ada yang dihinanya, dengan kata-kata tak berkenan terhadap pelayan makanan, tapi pelayan itu tersenyum-senyum saja.. saya dukung kamu pelayan, jangan takut sama cecenguk staff ahli DPR ini..!! saat pallu mara’ tiba dihadapan, air ngiur pun hendak tumpah.. menu ini khas makassar.. kami pun menyantapnya dengan lahap. Sebentar-sebentar muncul ikan kakap, cumi dan lainnya. Santap saja, kan anggota DPD yang bayar!! Heheehe...
Sehabis itu, waktunya adalah perpisahan. Senior-senior yang bekerja di senayan ini pada mengenakan mobil, kami yang baru-baru ini numpang pada mereka. Saya dan kak Yunus turun di Halte Cawang Cikoko, dengan tubuh berbau kringat, kami bergelantung di busway, menuju Grogol, lalu Jembatan Tiga hingga Kapuk.. Ahad siang tiba di kontrakan. Mandi lalu tidur..!!
Kelurahan Kayu Besar, 25 Maret 2011
2 minggu yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar