Siang ini muncul ketegangan lagi, kekhawatiran akan melempemnya informasi dan kenangan. Padahal saya sudah berkomitmen untuk menuliskan semuanya, entah berguna atau tidak bagi yang lain. Setidaknya dapat mengatasi kegamanganku kini. Seingatku, pada Jumat, 4 Februari 2011 lalu, pagi yang bising, saya menyelinap keluar sendirian, berangkat ke Matraman, Jakarta Timur, sekadar refereshing meneduhkan pikiran di toko buku Gramedia Matraman. Dalam pikiran hendak mencari novel baru lagi, lantaran dua novel kemarin sudah habis dilahap.
Sudah perjalanan ketiga kalinya ke Gramedia terbesar di Indonesia ini, pertama dengan Dewi Kartika Sari, waktu baru tiga hari di Jakarta, kedua dengan Rony Sinagula, Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi (STT) Frans Driyarkara, dua pekan sebelumnya, dan kini seorang diri. Waktu bersama Rony, kami banyak berbincang tentang novel, sebab roni termasuk penulis mahasiswa produktif, tema-tema tulisannya bernuansa filsafat, keterasingan, absurbditas. Kebetulan waktu itu juga diselenggarakan launching buku ”Ranah Tiga Warna ” karya A Fuadi yang pertama kalinya. Kami nongkrong di belakang panggung sambil merokok santai.
”Saya tak dapat membayangkan bagaimana kalau HB. Jassin masih hidup dan membaca karya novelis-novelis sekarang, yang dianggap menarik bagi masyarakat awam,” ungkapku. “yah, mungkin beliau akan mengkritik habis karya-karya mereka itu, itupun kalau menarik untuk dikritik,” celoteh Roni. Kami bersepakat bahwa karya sastra itu berkaitan dengan unsur problem manusia beserta keindahan prosanya. Baik itu mempertanyakan persoalan-persoalan kemanusiaan seperti kematian, perkawinan, relasi kerja, hubungan antar manusia pada suatu wilayah adat, atau problem masyarakat modern yang sudah kabur batas pergaulannya, mengedepankan kebebasan, hasrat, dan kemberdekaan individu dalam bertindak.! Sementara, novel yang menjadi best seller adalah buku-buku motivasi, yang sedikit dibumbui imajinasi, mengantarkan seseorang pada impian-impian imajinatifnya. Seraya mengungkapkan bahwa impian itu bisa diperoleh jikalau bekerja keras..!!
Sastra adalah persoalan rasa, bercampur ilmu, sejarah, dan perjalanan seseorang atau kaum. Rasa ini diolah dengan memaparkan realitas yang pasti, nisbi, atau mungkin sesuatu yang tak ada.. tinggal bagaimanakah pembaca menarik makna, yang disesuaikan dengan pengalaman batinnya sendiri. Sehingga memuncakkan kekaguman bahwa dunia ini ternyata haru, sepi, atau mungkin kejam.
A Fuadi memaparkan persentasenya, yang kedengarannya sama dengan yang diungkapkan waktu di Makassar beberapa bulan lalu. Dimana saya hadir ke bedah buku itu lebih karena penasaran. Betul juga katanya, bahwa untuk mencapai sukses kita harus bekerja sedikit lebih keras dibanding yang dilakukan manusia pada umumnya. Lagi-lagi berbicara tentang kemenangan.. kemenangan dan kemenangan.. apakah dengan keluar negeri kita sudah dianggap menang? Apakah dengan mendapat beasiswa ke beberapa luar negeri kita sudah dianggap sukses? Lantas, dimanakah letak sastra yang unik itu di karya A Fuadi ini.. ? entahlah.. A Fuadi juga tidak salah, dia seratus persen benar. Persoalan karya adalah persoalan apresiasi, penerimaan yang lain terhadap hasil cipta kita. Buat apa juga menghasilkan sesuatu yang gemilang namun kurang peminat..!!
Gramedia menggenjot promosi “Ranah Tiga Warna” sebagai elan perjuangan penerbit untuk meninggikan eksistensinya. Sebab, buku Negeri Lima Menara kemarin berhasil meraih sukses, dan itu merupakan sukses gramedia pula, sebagai lembaga penerbitannya. Ini merupakan langkah taktis untuk menyaingi popularitas penerbit lainnya, seperti penerbit Bentang yang berhasil mengorbit Andrea Herata, dengan buku fenomenal-nya, “Laskar Pelangi”.. lagi-lagi karya dan kreativitas satu tali tiga uang dengan bisnis. Kapitalisme yang bermuka ganda, mengangkat naik budaya baca dengan karya-karya populer sekaligus mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Yah.. itulah perbincangan kami, yang bisa dibilang cuma penikmat sastra semata. Yang rela mengeluarkan jutaan duit untuk mengumpulkan novel, dan karya leterer lainnya.. kini saya di Matraman lagi, seorang diri. Kali ini saya melirik buku bertema sosial politik, berjudul “Orientalisme” karya Edward Said, pakar benturan budaya asal Palestina-Amerika ini. Buku ini sudah lama saya incar, tapi baru menemukannya di Rak Matraman ini, alhamdulillah. Edward Said adalah orang yang berada ditengah-tengah, antara timur dan barat. Ia melihat persinggungan timur dan barat lebih karena motif dominasi, yang ditohok lewat literasi, budaya dan ilmu pengetahuan. Sehingga menimbulkan peminisme pada warga negeri yang dikaji, bahwa posisinya lebih rendah, lebih kolot. Landasan orientalisme berangkat dari keinginan barat menguasai timur, maka merebaklah waktu itu beragam kajian ketimuran yang diberi label orientaliesme. Sampai kini, proyek pengkajian timur terus berlangsung, dilakukan oleh pakar antropologi, sosiologi, sejarah, dan arkeologi budaya untuk menemukan kait-mengait budaya timur. Menemukan mustikanya untuk diolah di barat, lalu diramu dan dikuasai.. lagi-lagi hendak menguasai.. kuasa selalu saja menjadi nomor satu!!! Bulshit semuanya!!
Sebuah buku lagi aku angkut, yaitu ”Selimut Debu” karya Agustinus Wibowo. Seorang anak muda kelahiran Lumajang, Jawa Timur yang dengan semangat dan beraninya menejelajahi hampir sepenuhnya daerah konflik Afganistan. Afganistan merupakan negeri yang tak ada kata berhenti dari darah, martir, ranjau, opium, dan kekerasan agama, ketidakadilan gender dan selimut debu (khaak) itu sendiri. Debu adalah identitas Afganistan, yang menjadi kehormatan warga untuk tetap bertahan hidup dan mempertahankan wilayahnya. Dalam buku ini digambarkan perjuangan Agustinus yang getir, lelah, dan kemujuran.
Pukul 11.00 teman dari Bogor menelpon, katanya ia ada di Jakarta, tepatnya di Stasiun Sudirman. Senang mendengarnya, “Fir, tunggu yah, habis Jumat saya ke sana,” kataku via telepon. “Oke bro, saya tunggu nah,” jawabnya. Setelah mendapat buku itu, saya pun keluar gedung dan mencari mesjid terdekat. Saya masuk ke lorong-lorong dengan panduan bunyi mesjid. Setelah itu, baru ke Dukuh Atas, halte terdekat dengan stasiun Jendral Sudirman.
Muhammad Safir termasuk teman akrab dan pengertian. Tipikal pengembara dan orang merdeka. Ia bebas saja menjelajah waktu kami sama-sama studi banding di Bandung. ia pun mengajak saya jalan kaki dari Jalan Aceh hingga ke Cibaduyut (bazar sepatu), jaraknya berkilo-kilo meter. Saya pun senang jalan seperti ini, menikmati jalanan Bandung dengan berjalan kaki. Sewaktu kami turun dari bis kota, tas safir yang berisi hasil belanjaan kami ketinggalan di bis. Bis pun sudah melaju jauh, tapi masih tertangkap oleh mata. Ia mengejarnya sekuat tenaga, dengan instingnya, ia menemukan jalan pintas yang memotong jalur mobil. Akhirnya ia berhasil memberhentikan bis itu dan naik mengambil hadiahnya (tasx sendiri). Peluh bercucuran, kaki lemas, otot hendak luruh. Tapi, senyum serentak merekah, bergelegar gembira.
Pengalaman lain dengan Safir waktu sama-sama membuat pakan di Laboratorium pakan kepiting. Tenaganya tidak habis-habis mengepres ikan, menggiling, tangannya pun begitu lincah. Semangatnya menyedotku pula untuk mengiringinya, untuk tak gampang menyerah, hingga pekerjaan betul-betul tuntas. Waktu di tambak, kami sering mencari kepiting pada malam hari di muara Marana Maros. Dengan menggeser lutut pada dasar tepi muara yang lagi surut, sementara jemari tangan terus meraba-raba tanah berlumpur hingga menemukan hewan bercapit yang bergerak. Tangan pun membiasakan diri tidak tercapit oleh kepiting laut, dengan menyentuh cangkangnya dan memegang bagian bokongnya, lalu mengangkat dan memasukkannya dalam keranjang. Itu kami lakukan sampai ke ujung mulut muara, masuk sedikit ke samudera. Waktu itu, kami dipandu oleh Kak Alam sebagai master kepiting, Akbar Marzuki Tahya, peneliti muda kepiting, dan Yasir, sahabat akrabku. Dan sayalah yang paling sedikit hasil tangkapan rajungannya, paling lambat menggeser lutut, bak siput. Dan Safir termasuk paling banyak mendapat kepiting di alam selain kak alam. Dari gerak lincahnya, saya tahu bahwa safir ini adalah anak didikan alam. Sementara kak Alam telah menyatu dengan alam itu sendiri (dia yang paling banyak mendapat rajungan setiap turun ke muara).
Saya turun ke jalan, bertanya ke bapak polisi dimana letaknya patung Jendral Sudirman. Pak Polisi itu mengacungkan tangan ke pojok atas, “tuh di sana”. Hehe.. saya keder juga, langsung saja saya naik ke atas, dan... safir sudah menunggu di halte patas itu. Dengan kemeja birunya, dengan rambutnya yang sudah plontos.. “Halo Bro...,” teriaknya. Kami bersalaman dan berpelukan sahabat.
Senang melihat wajah cerahnya, mengamati geraknya yang lincah, sepintas, tak ada yang berubah. Kami berjalan menuju stasiun, sembari bertukar cerita. Saya menceritakan penyebab kehadiran saya di Jakarta, yang dijuntrungi kebetulan-kebetulan, aktivitas hari-hari ku di gudang yang bebas namun masih beradaptasi. Sementara ia menceritakan studi yang ia ambil, suka duka menjadi mahasiswa S2, dan upayanya kini mengejar beasiswa untuk menutupi semester genap tahun ini. “Fir, saya hendak membuat larutan untuk menguatkan tubuh kepiting, semacam doping lah, gimana menurutmu,” tanya ku. “wah bagus tuh, nanti saya bantu cari referensinya di IPB bro, tenang sajalah.. hehe.. ayo ke Bogor,” ucapnya. Memang saya berniat ke Bogor, bertemu saudara-saudara se kampus di sana. Tentu dengan ke Bogor akan mendapatkan suasana baru, pikiran jadi segar dihempas udara dingin, serta akan menstimulasi ide-ide bugar yang berguna untuk riset kepiting di perusahaan. “oke, kita ke Bogor, saya telpon dulu bos ku’ nah,” lanjutku. Alhamdulillah bos mengizinkan. Kami pun berangkat ke Bogor, dengan teransit terlebih dahulu di Stasiun Manggarai.
Di kereta kami berdesak-desakan, walau kereta yang kami tumpangi sudah kategori AC. Lucunya, bukan AC di langit-langit kereta, tapi berupa kipas angin.. tapi, dinginnya lebih mengalahkan AC. Sambil berdiri bergantung pada pegangan di dekat kepala, kami terus bercerita. Tentang kabar teman-teman di Makassar, bagaimana rumitnya kuliah S2, serta tentang apa saja yang berkaitan dengan diri kami berdua. Sejam lebih baru kami tiba di Stasiun Bogor. Safir memandu untuk menemukan angkot 03 ke Laladog dengan menyusuri gang-gang penuh pedagang kaki lima yang menjajakan beragam pilihan, seperti baju, buku, tas, pulsa, dan penganan khas Bogor. Btw, Laladog merupakan lokasi perumahan IPB 2, tempat kontrakan alumni mahasiswa Unhas.
Petang hari kami tiba di rumah kontrakan, cukup lelah juga. Rumah kontrakan itu terdiri dari beberapa penghuni, mulai dari perintis awal dan memegang peranan terbesar, yaitu Kak Nurhan Tabau, rezeki yang didapatnya dari bekerja sebagai Staff Ahli banyak dibagi untuk keperluan dapur kontrakan. Beliau sehabis pulang dari kantor, selalu bawa penganan yang nikmat, seperti roti, buah-buahan, minuman segar. Kalau dianggap tak membesarkan, kak Bau seperti menjadi orang tua yang menyantuni penghuni di tempat itu. Penghuni yang lain ada Kak Cimeng, seinor komunikasi angkatan 95, kak Commel, Komunikasi angkatan 92 yang bekerja di lingkaran pengeluaran anggaran belanja untuk daerah di DPR pusat, Kak Cupik, yang bekerja di sebuah penerbitan, Kak Cupik 2, yang juga staff ahli DPR Sulteng, kak Edy Hamka, senior PSP Perikanan 01, serta Muhammad Safir sendiri yang merupakan teman angkatan ku, BDP 04.
Berkenalan dengan mereka, seperti berjumpa lagi dengan keluarga lama. Memang teman sekampung selalu punya ikatan lebih kuat di negeri rantau. Magrib itu, Safir menyiapkan makan malam, bersama kak Edi yang spesialis jago masak di asrama itu. Menunya begitu nikmat dan menggiurkan, yakni Pallu mara’, ikan masak yang kuahnya terdapat asam yang menambah aromanya. Saya pun nongkrong di kamar lapang di depan, milik kanda Bau. Malam itu aktivitasku hanya istirahat di kamar Safir, sebelum istirahat, kami banyak berbincang tentang dunia perikanan. Dia memperlihatkan buku kuliahnya, seperti Kualitas air dan pengantar genetika. “Fir, besok saya copy buku mu nah,” pintaku. Oke katanya. Saat itu, kami membicarakan bahan untuk mengurangi amoniak, sekilas Safir memberikan masukan, bagaimana dengan tanaman alami, seperti eceng gondok.. oh.. saya renung-renungkan dulu.. lalu, saya pun tertidur. Sepertinya, Safir sudah menggunakan metodologi dalam berbincang, setiap rangkaian kata-katanya penuh dengan asal-usul, sebab akibat. Saya bangga ia memperlihatkan banyak perubahan. Kalau metodologi sudah dikuasai, saya pikir menguasai ‘dunia’ tinggal sebentar lagi, cukup dengan menambah jaringan dan menambah referensi.. dan yang paling penting selalu membesarkan hati, bahwa kita “bisa”, tidak minder dengan situasi, tidak apatis pada sesuatu yang lamban. Kita harus melawan situasi!! Merdeka dari perangkap kebosanan!!
Perjalanan ke Bogor ini adalah yang ketiga kalinya, pertama tahun 2007 lalu, bersama rombongan ASCM yang hendak mengunjungi laboratorium-laboratorium IPB. Waktu itu pemahaman saya tentang Bogor adalah kota yang kecil, karena jalanannya yang sempit dan jarang tampak gedung-gedung. Stigma itu terhapus waktu perjalanan ke dua tahun 2009 lalu, sehabis balik dari Banjarmasin waktu penelitian akhir bertema kepiting lunak. Waktu itu, saya sempat diajak oleh Kak Marlina Ahmad berkeliling kota Bogor, asyik sekali, ternyata Bogor adalah kota yang indah. Jalannya berbukit-bukit, masih banyak pepohonan. Saat itu pula saya menyaksikan halaman istana negara di Bogor, yang rerumputannya dikunyah oleh rusa-rusa yang bertebaran. Serta dapat menyaksikan pepohonan kebun raya dari luar. Kunjungan kedua ini saya berhasil hingga ke Cisarua, puncak yang meneduhkan mata, menyejukkan kulit, pelataran bumi hijau dirimbuni perkebunan teh dan kian memsona dengan arsitektur sebuah mesjid. Sehari berikutnya waktu itu, kak Nuril, senior yang baik hati teman kak Marlina mengajak ke Botani Squeare, mall hasil kerjasama IPB dan korporat. Hari-hari di kunjungan 2009 itu dipenuhi dengan kebaikan senior-senior, jangan salah, juga oleh kebaikan dosen, kami menginap di rumah seorang dosen Unhas yang kuliah S3 di IPB.
Besoknya (kembali ke tanggal 5 Februari 2011), kami bergerak ke perpustakaan IPB. Tapi sesekali, waktu digerus lantaran mampir di toko buku murah IPB. Lumayan koleksi bukunya tentang budidaya air, hutan, dan pertanian. Beberapa referensi langka saya temukan di toko ini, semacam buku-buku tentang kimia gizi, teknologi pakan, dan metabolisme energi. Setelah memuaskan mata melihat buku, kami pun melenggang ke perpustakaan. Masuk ke dalam perpus, seperti menjadi mahasiswa lagi. Melihat wajah-wajah bening mahasiswa, merasakan aura pikirannya masih ngotot mencari ilmu, serta menikmati ketenangan suasana, sembari melihat bibir komat-kamit milik gadis Sunda.
Mulanya saya mengecek tema buku yang ingin saya cari di komputer pusat pencari, didepanku tampak mahasiswa S1 yang juga mencari buku di pusat data, wajahnya putih, bibirnya tegas. Kemudian saya melenggang ke pusat jurnal, wow.. jurnalnya bejibun, berderet rapi, tersusun atas tema-tema. Saya mengarahkan pandangan saya di tema akuakultur, mendudukkan diri di situ selama setengah jam. Melongok-longok saja, penasaran lantaran pengantar bahasanya banyak menggunakan bahasa Inggris, dan saya sendiri masih asing dengan bahasa asing itu. Disitu, saya sekadar terkesima saja, asupan informasi boleh dibilang nol, kami pun turun ke lantai bawah. Di situ saya ingin mencari buku-buku pakan. Akhirnya ketemu, pas rak ujung, sebuah buku lain menarik perhatianku, yakni “Pola penelitian Induksi”, karya A. Nasution, mantan rektor IPB. Kata Safir, orang Sunda ini mendapat gelar Andi’ (gelar bangsawan Bugis) waktu ia ke Bone dulu, entah bagimana kisahnya dapat gelar itu saya belum tahu. Hal menarik dari buku itu adalah kisah orang buta memegang gajah. Katanya, pengetahuan itu seperti kisah tiga orang buta yang memegang gajah, ketiga-tiganya punya persepsi berbeda tentang gajah. Dan yang paling mendekati jika saja ketiga-tiganya mendialogkan hasil penemuan masing-masing, lalu mensintesis gambaran itu menjadi sebuah kesatuan. Yaitu gajah, yang terdiri atas belalai, badan yang seperti pohon raksasa, dan ekornya yang seperti tali. Pengetahuan pun menurutnya berangkat dari informasi yang terpotong atau ketidaktahuan itu sendiri.
Senang bisa melihat perpustakaan ini, kelak saya akan selalu berkunjung ke sini. Mungkin tahun depan, ketika sudah terdaftar menjadi mahasiswa S2 IPB, amin.. hari sudah siang, kami pun berjalan keluar, melihat alam kampus IPB, yang penuh pepohonan, dan taman bunga. Taman-taman ini kian teduh dengan pesona para mahasiswa yang menebar aroma kecerdasan dan alamiah, meski ada juga yang cuma lipstik, atau topeng. Yang paling asyik saat melewati jalan keluar yang di sisi-sisinya rimbun penjual aneka barang. Kami mengambil hasil copy-an buku kualitas air, fisiologi hewan air, dan buku pakan yang terbilang murah. Buku ini adalah oleh-oleh ku buat perusahaan yang aku besarkan kelak. Mengenai balasan yang saya peroleh, saya tak mau pusing. Yang penting saat ini saya masih bisa berteduh, masih bisa makan..!!! syukur pada tuhan yang awal dan yang akhir, atau tak ada akhir. Salawat pada Muhammad, yang sepercik cahayanya hinggap di bola matamu.
Di pinggir jalan yang sudah dilalui kendaraan, safir mengajak masuk ke gang depan, menuju kosan anak Sulawesi Tenggara. Saya pun berkenalan dengan teman-teman safir itu, yang kontur wajah mereka sudah tak asing lagi bagi mataku, yakni kulit mereka yang cokelat, rambut bergelombang atau ikal, dan aura wajah yang bebas, dan tentu logatnya yang khas.. sehabis itu, safir kembali mengajak masuk ke gang tempat tinggal para mahasiswa S3 asal Makassar. Lorongnya cukup dalam, pas tiba terdapat kolam di samping rumah, ikan meliuk-liuk, tenang perasaan. Masuk, kami disambut hangat, disuguhi air putih. Yang nikmat adalah percakapan kami yang rileks, dan penuh canda. Percakapan orang sulawesi di perantauan, yang terasa selalu terikat batin. Kami membincangkan tentang cara memperoleh beasiswa S2 dengan gampang, kata mereka, kami harus mendapat SK yayasan di sebuah Perguruan swasta atau negeri, dan SK Mengajar, lalu verifikasi di Kopertis Sulsel. Setelah itu dijamin dapat beasiswa. Bagaimana tidak, jatah penerima beasiswa masih banyak yang lowong, diantara 500 kursi tahun kemarin, Cuma 300 yang mendaftar. Sialnya, informasi ini tidak diketahui oleh teman-teman di Makassar dan kawasan timur lainnya.!! Waktu itu, saya bertemu dengan Kanda Syamsul Marlin, seniorku mahasiswa Maros, yang kini diutus oleh Politani Pangkep melanjutkan kuliah S3-nya di IPB. Senang juga rasanya ketemu senior Maros di kota yang sejuk ini.
Perbincangan lain menyangkut proyek-proyek yang mereka kerjakan. Menjadi mahasiswa S2 atau S3 punya nilai plus di sini, kadang banyak proyek penelitian bersiliweran. Jika kita berani menekuninya, dua hal yang dapat diperoleh, pertama ilmu pengetahuan dan pengalamannya, kedua adalah tambahan bayar kosan dan makan hingga dua bulan.. hehee.. tapi, kalau masih semester satu atau dua lebih baik jangan dulu, karena jangan sampai ingin kucing dikejauhan, gajah didepan mata tidak dipeluk. jangan sampai hanya ingin tambahan uang jajan, kuliah yang menjadi tujuan utama malah jadi anjlok.
Kami kembali ke kontrakan di Laladon, malamnya saya dan safir pergi ke Cibanteng, tempat Kak Sahrul tinggal. Kak sahrul adalah dosen PSP Unhas yang ambil S3 THP di IPB, dan saat ini bertanggungjawab sebagai ketua “Wacana Sulsel”, arena paguyuban mahasiswa pasca asal Sulsel di IPB. Kak Sahrul dan Safir tampak serius merancang agenda rapat Musyawarah Besar anggota Wacana Sulsel, menyusun kepanitiaan, dan surat-surat yang berkaitan. Saya mah cuma berbaring saja, sembari memberi sepintas masukan, sesekali mata melirik ke si mata satu (televisi) yang kata Mbah Dedi merupakan dajjal yang sebenarnya.. racun dunia yang menyirep anak-anak hingga kakek nenek.. hehee
Esok pagi, Ahad 6 Feberuari, udara tak lagi berdebu seperti di Jakarta. Angin tak berhembus, tapi lebih memikat dengan rasanya yang dingin, meraba kulit. Pagi itu kami ke IPB lagi, tapi agendanya keliling jalan lingkar, yang pada intinya adalah olahraga yang juga bukan olahraga, cuci mata barangkali tepatnya. Soalnya, pagi itu sudah banyak remaja-remaja yang turut berjalan pagi dilingkar jalan IPB. Dan inilah salah satu kesukaan Safir..!! hahaha...
Sore hari, saya berpamitan dengan saudara-saudara sekontrakan. Berniat untuk ke sini lagi pekan depannya. Khususnya Kak Bau, saya minta izin secara khusus. Pada kakak ini masih tersimpan kekaguman waktu masih awal-awal mahasiswa dulu. Sosok aktivis yang intelektual dan punya pengaruh.. saya diantar Safir sampai loket stasiun, waktu itu saya mengambil kereta ekonomi karena kereta ekonomi AC jam delapan baru tiba. Dalam stasiun ini, keramaian pun kembali menyeruak, terjadi pencampuran identitas, kami-kami pun menjadi anonim, saya tak mengenal seorang pun. Saya hanya tahu sepintas profesi sebagian diantaranya. Tentu yang paling berkesan adalah para pemain musik. Yang dengan peralatan lengkapnya menghibur kami.. dalam perjalanan itu, saya mengambil tempat di dekat pintu, terdapat ruang kecil yang bisa saya tempati jongkok dan menjaga barang.. alhamdulillah selamat hingga Stasiun Kota, menyeberang ke Halte Harmoni, lalu selamat lagi hingga ke Kapuk!!
Pulang kembali dengan kelelahan!! Alhamdulillah..
Kelurahan Kayu Besar, sebulan lebih kemudian, Kamis, 24 Maret 2011
2 minggu yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar