5 hari yang lalu
Guyon
Dalam hidup, banyak hal yang telah muncul, hadir tiba-tiba merongrong kesadaran kita. Entah kita melek atau tidak, kehadiran itu membuat kita melambung tinggi ataukah terperosok ke bawah. Dan kita kadang marah akan ketergesa-gesaan itu, kita kesal akan kemunculan sesuatu yang tidak di harapkan itu. Lalu membuat kita bersungut-sungut, menyumpah-nyumpah, ataukah melampiaskannya ke sesuatu yang tak perlu. Kemudian, sesuatu yang baik datang, tak terbayangkan, membuat kita terpesona sekaligus terlena. Namun, kita pun lupa bahwa itu hanya sementara, kita terbuai oleh lantunan hasrat yang selalu saja tidak sabar.
Pada diri kita, banyak yang suka berencana, menyusun tahap-tahap mencapai keinginannya. Ia mengarahkan langkahnya mengejar sesuatu, entah menggunakan jasa jalan tol, ataukah menempuh jalan berliku, lorong-lorong suram dan berharap menemukan cahaya. Waktu membuatnya terpacu, waktu menjadi indikator, waktu pun pada akhirnya menjadi garis batas apakah ia akan tersenyum ataukah berteriak sunyi. Pada keadaan ini, kita yang sedang menempuh perjalanan itu akan selalu menerka-nerka, menebak setiap kemungkinan. Namun, kita semua tahu, bahwa setiap tebakan tak selamanya benar, kehidupan pun tak selalu sama dengan hitungan matematika.
Pada sebagian yang lain, ada yang membiarkan alam membuainya dalam ketidakjelasan. Memilih untuk menjadi kertas dalam arus sungai, dan berharap tiba di lautan luas lalu menyatu dengan samudera. Walau, dalam posisi itu, kita tak pernah tahu akan dibawa kemana, kita pun berprasangka baik, bahwa alam akan menuntun kita ke tempat yang tepat. Meski, pada akhirnya kita sekadar berlabuh di bantaran, dan justru bergabung dengan sampah-sampah yang lain. Kita selalu yakin, bahwa kehidupan itu seperti jam pasir, dimana kita sekadar menghabiskan waktu di dunia, lalu siap lagi menyusun kehidupan lagi di alam sana. Jika begitu, hidup itu hanya keyakinan, hidup itu hanya peta dengan bertebaran garis komando.
Kita sama-sama tak tahu, tentang peristiwa apa yang akan menyapa kita lagi. Seperti juga kita tak mengerti kenapa orang-orang yang dekat atau ingin dekat, tiba-tiba saja menjauh. Kita tak paham dengan sebuah kepercayaan dan komitmen yang sudah kita wanti-wanti, pada akhirnya buyar dan menyisakan kesal penghianatan. Begitu banyak hal yang tidak kita mengerti, kita hanya penumpang kereta yang baru tahu stasiun itu banyak pencurinya setelah kita kecopetan.
Pada ujungnya, hidup itu hanyalah guyon. Hidup memaksa kita untuk sekadar tertawa menyaksikan nasib. Memang, tak ada yang lebih nikmat selain menertawai kisah hidup kita sendiri. Hidup kita tak beda jauh dengan film drama yang sering kita tonton. Dimana dalam kesedihannya kita selalu menyisahkan hal lucu, dimana logika dibolak-balikkan, sesuatu yang tak ada diperebutkan, sesuatu yang nisbi dijalankan.
Dan, jika tak lucu, buat apa kita hidup? ..
0 komentar:
Posting Komentar