2 minggu yang lalu
Tiga Hari di Mes Inve, Belajar Hachery Kerapu dan Backyard Udang
Kamis, tanggal 3 November kemarin, saya dan Mentor Heri mengunjungi tambak milik Pak Munawir di Pesisir Tuban, menuju ke tempatnya mobil harus melewati jalan-jalan desa yang sempit hingga tiba di jalur tambaknya, dimana terdapat sebuah tambak yang baru usai digali. Pak Munawir mendengar dengan simak anjuran Pak Heri, yang saat itu mendiskusikan tentang masa panen dan perbandingan-perbandingan hasil tambak milik petambak lainnya.
“Bapak harus mendesain posisi kincirnya agar lumpur dan kotoran dapat berkumpul di tengah,” ujar Pak Heri. Saya dapat pengetahuan baru lagi, tentang posisi kincir yang mempengaruhi sirkulasi kotoran yang diupayakan berkumpul di tengah, agar mudah dikeluarkan dengan menggunakan pipa pembuangan. Kami juga melihat udang milik Pak Munawir yang berumur 90 hari, sudah kepala 6 menurut Pak Heri. Warna airnya berwarna cokelat, artinya mengandung skeletonema dan mungkin chaetoceros. Dan di pinggir-pinggir tambak terdapat busa-busa plankton yang sudah mati, plankton yang mati ini akan diurai kembali oleh bakteri-bakteri untuk kembali menjadi nitrogen, sehingga juga dibutuhkan mikroorganisme pengurai yang cukup di dalam ekosistem tambak (probiotik), agar bakteri atau hama penyebab kematian udang bisa dilawan oleh bakteri itu.
Dari situ, kami menuju sentra tambak milik Inve di Labuan Tuban. Di sentra itu terdapat sekitar 12 unit tambak, yang dikelola oleh para tekhnisi professional tentang tambak. Cukup lama kami di sana, mulai dari jam tiga sampai jam 6.30 magrib. Pak Heri lama berbincang dan bernostalgia dengan teman-teman Inve, seperti Pak Agus, Pak Gani, dan Pak Saiful. Saya cuma menjadi pendengar saja, sekaligus menyerap ilmunya secara pelan-pelan.. hehe.. Saat itu, saya lagi-lagi mengamati model tambaknya, letak kincir-kincirnya, dan warna air-airnya.. berupaya untuk menyatu dengan alam untuk menemukan mustikanya.. jujur, jiwa saya masih mengawang-ngawang ketika bersentuhan dengan alam tambak ini.. masih sangat banyak rahasia yang belum terkuak.
Malamnya, kami kembali ke Mes inve, saat itu kami sangat lelah, saya pun langsung berbaring di kamar setelah menunaikan kewajiban shalat.
Jumat pagi, sekitar pukul 10.00, saya jalan-jalan ke hatchery ikan kerapu milik inve. Hatchery ini dikelola oleh Pak Basri dan beberapa staffnya. Dalam hatchery di daerah pereng yang merupakan bekas hatchery udang milik Balai Budidaya Air Payau Tuban ini, terdapat bak persegi panjang berisi kerapu dengan berbagai ukuran, misalnya bak satu ukuran 3 centi, kemudian ada bak ukuran 5 centi dan 10 centi. Jejeran bak pertama berisi kerapu, kemudian jejeran bak sebelah kiri berisi rotifera yang diberi pakan plankton clorella. Pada ruang sebelah dilakukan pengulturan plankton, praktis untuk disalurkan kelak ke bak rotifer. Kemudian di ruang depan terdapat bak-bak bundar berisi benur kerapu yang baru menetas. Benur-benur ini diberi pakan alami berupa rotifera. Bak-bak tersebut ditutup terpal biru, dengan air yang berwarna hijau, karena juga mengandung clorella, untuk menyesuaikannya dengan kondisi air air laut.
Hari itu, saya hanya mengamati desain hatchery dan fungsi masing-masing ruangan. di gedung sebelah terdapat juga kultur plankton, bahkan di di luar gudang terdapat juga bak kultur rotifer. Pada halaman belakang, ternyata terdapat empat bak yang cukup dalam, ternyata bak itu berisi ikan sunu, tapi jumlahnya sedikit. Di sisi kanan gedung hatchery terdapat gedung suram yang di dalamnya merupakan kolam penampungan air (tandon) yang sangat luas dan dalam. Ia tersembunyi di bawah bangunan pendek tersebut. tandon ini tidak mempunyai saringan pasir, cuma diendapkan saja lalu airnya di kirim ke bak penampungan air di sudut atas belakang hatchery.
Setelah dari hatchery, saya tak melakukan aktivitas berat, saya menghabiskan waktu membaca artikel-artikel di laptop hingga magrib menghinggapi. Saya cepat tidur malam itu, entah kenapa badan saya kurang fit dan selalu ingin tidur. Saya tak ingin kepikiran macam-macam, mending saya tidur..hehe..
Sabtu, saya menghabiskan hari kebanyakan di rumah, membaca buku tata lingkungan atau menonton tivi, siangnya saya mengunjungi backyard udang di samping kawasan mes inve. di backyard ini dilakukan penetasan telur udang menjadi nauplius, lalu membesarkannya hingga ukuran post larva 5 – 10. “mengurus benih udang berbeda dengan benih kerapu, kalau benih udang ukuran PL 5 harus keluar (laku), pertama karena harga masing-masing ukuran dihitung sama, sehingga dengan semakin lama perawatan maka biaya juga akan semakin bertambah. Kalau kerapu, semakin lama dan semakin besar, harganya juga semakin lumayan,” kata bapak pemilik backyard yang saya lupa namanya.
Namun, induk dari larva udang yang diternakkan backyard bukan merupakan induk F1, sehingga kualitas bibitnya kelak tidak terjamin, kadang bagus dan kadang jelek, tergantung nasib lah. Tapi, harga perekornya lumayan murah, misalnya berharga 7 – 15 rupiah, sementara harga bibit udang di hatchery bisa sampai 35 rupiah per ekor dengan jaminan bibit bisa tahan penyakit dan pertumbuhan cepat. Tapi, di lapangan juga membuktikan bahwa ada juga bibit hatchery yang terserang penyakit, jadi masih ada factor-faktor lain yang menjadi penyebab kegagalan panen, seperti kualitas air, pakan, ataupun plankton.
Pakan yang diberikan pada benur udang ini jenis skeletonema, karena mudah dikultur, ada juga yang biasa menggunakan pakan clorella, tapi plankton ini sedikit rumit untuk dibiakkan dan kalau kondisi hujan biasa sering gagal. Untuk tahap mysis dan post larva menggunakan pakan artemia.
Ahad, 6 November pagi betul saya bangun, untuk siap-siap ikut sholat ied Adha di mesjid terdekat. Sepulang dari shalat, nongkrong-nongkrong dulu di bunda dan ngobrol dengan pegawai. Setelah itu jalan-jalan ke hatchery lagi untuk belajar siklus krapu. Mulanya saya melihat-lihat kerapu, lalu kultur rotifera, saya hendak masuk ke ruang kultur plankton, tapi tiba-tiba ditegur sama Pak Bashir, katanya setelah menyentuh bak rotifer sebaiknya tidak masuk ke area bak plankton, karena planktonnya bisa terkontaminasi. Pak Bashir pun setiap hendak masuk ke area bak plankton selalu mencuci tangan dan dengan hati-hati berinteraksi dengan wilayah plankton.
Saya melihat-lihat bibit kerapu yang ukurannya masih beberapa millimeter di dalam bak-bak bundar. Makanannya adalah rotifer yang saat saya keluar gudang terdapat ibu yang sementara membersihkan bak dan mengambil rotifer hasil kultur di bak luar. Pemeliharaan di bak itu dilakukan selama 4 hari, lalu kami menuju lab untuk mengamati rotifer dengan mikroskop. Jumlahnya rotifer yang dikultur di luar berhadapan denang sinar matahari langsung lebih banyak dibanding jumlah rotifer yang dikultur di dalam ruangan. senang rasanya dapat melihat langsung rotifer menggunakan mikroskop. Rotifer bergerak-gerak lincah dalam ruang gelas kaca, membayangkannya seperti menemukan mahluk luar angkasa.
“menangani bibit kerapu, kita harus tekun, kerapu adalah hewan kanibal, jadi pada ukuran-ukuran yang masih kecil kerapu sering memakan temannya sendiri yang pada akhirnya membuat kerapu berkurang drastic, sehingga kita harus sering-sering memberinya makan, agar tidak memangsa kawannya sendiri,” kata Pak Bashir. Begitu pula dengan ketersediaan rotifer dan plankton, kalau tiba-tiba plankton tidak jadi, maka bibit pun akan terlambat makan pakan alami dan pada akhirnya dapat menyebabkan kematian massal.
Satu hal penting yang menyebabkan kerapu milik inve ini cukup laku di pasaran, karena bibit yang dihasilkan tidak menggunakan antibiotik sedikit pun, sehingga kesehatannya terjamin. Hatchery ini banyak menggunakan probiotik dan pakan dari inve untuk menjamin ketersediaan bakteri positif bagi lingkungan perairan bak kerapu.
Pereng Tuban, 6 November 2011
0 komentar:
Posting Komentar