5 hari yang lalu
Pengalaman Pertama di Inve Jawa Timur
Saya agak telat tiba di Surabaya, pesawat delay barang 1 jam lebih, kata petugas-petugas ada latihan penerbangan sukoi, jadi pesawat umum pada ngantri untuk masuk di jalur penerbangan Bandara Hasanuddin Makassar. Sebenarnya, jadwal penerbangan pukul 09.20, tapi molor hingga pukul 12.00 hari Selasa, 1 November, lucunya, kami lama menunggu di dalam pesawat, banyak penumpang terlihat bosan dan tertidur.
Perjalanan cukup singkat, cuma 1,5 jam, tiba di bandara Juanda sudah pukul 12.30 WIb. Pak Heri yang rencananya akan menjemput pun sudah ada juga di bandara, katanya dia juga telat lantaran macet panjang di Sidoarjo. Kami akhirnya bertemu, lalu mencari mobilnya yang ia lupa dimana ia parkir. Putar-putar area parkiran, mobilnya pun terlihat jumawa.
Di perjalanan, kami saling membaca diri, saya menerka-nerka, dia pun begitu. Melewati beberapa pos jalan tol, mobil singgah di kantor Inve di Jalan Indragiri 28 Surabaya. Mulanya, ia mengira saya sudah pernah menjual produk, tapi saya jelaskan bahwa saya baru hari pertama gerak dan belum tahu apa-apa. Makanya, setiap pertanyaan yang ia lontarkan mengenai kondisi pertambakan di Sulsel, saya menjawabnya tidak sfesifik, namun sangat normatif. Memang, saya tidak kuasai betul medan yang saya akan hadapi kelak, tapi saya tetap yakin akan menguasainya dalam tempo singkat.
Dari kantor, kami bergerak kea rah barat Surabaya, melewati pantai utara Jawa. Di perjalanan saya mengamati hamparan tambak garam di sepanjang jalan pinggiran Surabaya dan Gresik. Petani masih sibuk menambak garam, padahal musim hujan sebentar lagi memuncak. Sepintas saya melihat gadis-gadis di Gresik banyak yang mengenakan jilbab, begitu juga yang saya temukan nanti di Lamongan. Mungkin ini pengaruh dari sekian banyaknya pesantren yang ada di Jawa Timur, sehingga budaya Islam begitu terlihat. Jam tiga siang, kami singgah di warung makan di pinggiran jalan gresik, kami menyantap sup tulang iga. Saya suka dengan supnya, rasanya agak asam dengan campuran banyak bumbu, pokoknya, sehabis makan rasanya begitu segar.
Kami memasuki wilayah Lamongan, jalanan jalur pantura ini dilewati banyak mobil truk, sehingga Pak Heri beberapa kali menyalib mobil agar dapat jalur kosong dan tidak mengekor sama turk yang lambat. Lamongan juga kota Pantai, beberapa kali kami berhadapan langsung dengan tepi pantai, ada yang dengan perahu-perahu nelayannya. Melewati kota lamongan, pinggir jalan terlihat ramai oleh rumah dan toko-toko klontong. Terdapat juga beberapa pusat perbelanjaan dan hiburan. Di Lamongan dekat perbatasan Tuban, kami mampir di tambak milik Pak Yanto. Kami cukup lama di situ, barang dua jam.
Pak Heri ngobrol dengan Pak Yanto tentang perkembangan tambak udang yang sementara ditekuni. Singkat saja perbincangan dibalai-balai itu, lalu Pak Heri menghapus lelahnya dengan tertidur. Saya ditanya beberapa hal tentang mekanisme tambak di Sulsel, tapi saya jawab seadanya saja, justru saya belajar banyak dari diskusi dengan Pak Yanto mengenai penanganan tambak udang yang sementara ia jalani bersama Inve.
Tambaknya terdapat tiga petak, satu petak sudah terisi benih selama sebulan, dan dua lainnya masih dalam tahap persiapan. Meski masih persiapan, tambak dua petak itu sudah di aerasi dengan kincir. Katanya akan di isi benur pada hari Kamis, Lusa. Saya focus di tambak yang sudah terisi yang luasnya hampir se hektar itu, airnya diperoleh dari sumur bor yang hanya sekali isi. Tinggi air sekitar satu meter di bagian pinggir, dimana terdapat caren di situ, di bagian tengah tinggi air sekitar 70 centimeter. Bibit udang yang ditebar sejumlah 110 per M2 . “Udang umur sebulan suka pada air yang dangkal, nanti kalo sudah lebih dua bulan airnya sedikit ditinggikan,” kata Pak Yanto.
Pintu air Cuma satu, berfungsi untuk pemanenan, tanggul-tanggul pematang dilapisi terpal biru lalu direkat dengan anyamanan bambu, agar tanggul tidak luber. Airnya berwarna coklat dengan dasar tanah agak berbatu, namun itu tidak menjadi kendala karena selama tiga siklus pemanenan, hasilnya selalu baik. Tingkat kematian cukup rendah. “Cuma pada awal memulai udang terserang penyakit, tapi waktu itu semua tambak di area ini pada terkena white spot,” lanjut Yanto. Dalam pemeliharaan sekitar sebulan ini, belum ada tanda-tanda kematian. Udang akan dipanen setelah berumur 120-150 hari.
Ia menerapkan resep tambak udang yang diperolehnya dari Inve melalui Pak Heri. Dengan melakukan penetralisir tanah dan air pada awal memulai serta melanjutkannya dengan pemberian pakan yang ditambahkan multivitamin dan anti pathogen. Pemberian pakan pun dilakukan secara teratur, setiap pagi, siang, sore dan malam hari. Disertai pemberian aerasi secara optimal sepanjang hari agar kandungan oksigen dalam air tidak berkurang. Hasilnya dirasa memuaskan, produk dari inve pun terus digunakan untuk memperbaiki kualitas air dan meningkatkan nutrisi pada tubuh udang.
Dari tambak pak Yanto, kami melanjutkan perjalanan menuju tambak lain, saya tak tahu milik siapa. Saya mengamati tambaknya seluas setengah hektar, tanggul dilapisi terpal hitam dan di dalam tambak beberapa kincir dynamo sementara berfungsi. Sebentar saja kami di sana, perjalanan sudah melewati waktu magrib, kami menepi lagi di tambak milik Pak Haji. Saat itu Pak Heri banyak memberikan arahan pada Pak Haji dan pekerjanya, soalnya beberapa udang sudah terdapat mengapung di permukaan. Pak Haji memang baru kali pertama menerapkan produk inve, namun tampaknya beliau masih kurang disiplin. Dalam hal pemberian makan belum teratur, malam hari kadang tidak diberi pakan, padahal aktivitas udang banyak pada malam hari.
Badan mulai lelah, mobil bergerak menuju Tuban. Kota Tuban pada malam hari terlihat ceria juga, mungkin lazimnya sebuah kota Kabupaten, aktivitas kota di malam hari tidak kesepian. Melewati kota, akhirnya kami berhenti di lokasi pertambakan milik Inve Aquaculture, yang merupakan bekas Balai Budidaya Air Payau Tuban. Di sini kami bertemu dengan Pak Basri, yang merupakan teknisi tambak dan hatchery ikan kerapu tikus. Rasa lapar malam hari dituntaskan di sini, memakan sayur dan ikan kembung, amboi nikmatnya. Setelah itu menikmati kopi sambil menonton overa van java. Tingkah Sule, Ajis, Parto malam itu menghapus lelah seharian. Sehari meninggalkan Makassar, menyeberang pulau, melampaui beberapa kabupaten. Inilah mungkin yang disebut kerja..
Rabu, 2 November 2011
Pagi hari di Mess Inve di Tuban
0 komentar:
Posting Komentar