2 minggu yang lalu
Belajar Tambak Udang Intensif di Tuban dan Lamongan (Hari Kedua)
Rabu, 2 November adalah perjalanan ke dua ku dalam training menjadi calon konsultan dan marketing di Inve, hari itu saya mengawali pagi dengan mengunjungi kawasan tambak milik pak Sutomo di sisi jalan mes inve. Tambak pak Tomo lumayan banyak, terdapat 12 petak yang sementara beroperasi. Tambak-tambaknya terlihat segar, kincir-kincir berputar, air menggenang indah di permukaan, ada yang berwarna hijau muda dan ada yang berwarna cokelat. Pagi itu, ia baru saja terbangun, saya menghampiri dan berkenalan. Tak banyak perbincangan, dia menjelaskan bahwa perlakuan yang diberikan cukup standar, yang jelas air tetap harus diamati perubahannya, juga bagaimana pemberian pakan dengan tepat.
Tambak Pak Tomo kali itu baru beroperasi sekitar 50 hari, belum dilakukan pergantian air besar-besaran, lantaran kotoran masih sedikit. “tambak di sini bagus, karena dasar tanahnya berpasir, dan udang Vannamae suka pada tanah berpasir,” ujar Tomo. Nanti kalau umur sudah tiga bulan akan dilakukan penyiponan untuk mengurangi kotoran sisa pakan yang mengendap. Sementara ini, tambak-tambak Pak Tomo mengandalkan bibit dari Lampung, karena bibit dari sana dianggapnya tahan terhadap penyakit.
Balik ke Mes, Pak Heri sudah beres-beres, kami menuju tambak di lokasi barat Tuban pukul 10.00. tambak pertama yang didatangi milik Mas Erwin, anak muda dan tampak cerdas. Tambak milik Erwin cukup luas dan kami pun disambut oleh anjing yang sementara bergerak kea rah ku, untung segera diamankan oleh Erwin. Rupanya Erwin cakap dalam mengamati perubahan kualitas air dengan parameter dan standar ilmiah, misalnya ia saban tiga hari mengukur kandungan nitrat, amoniaknya, lalu dapat menjelaskan proses penguraian dan pembentukan amoniak itu. Dari penjelasannya, ia cukup puas dengan produk inve, meski ada produk yang belum memperlihatkan hasil. Khusus dalam penurunan amoniak, inve memberi angin segar.
Di tambak Erwin, saya melihat bagaimana rumit dan tekunnya seorang pengusaha tambak harus bekerja. Karena kita berupaya merekayasa alam agar organism budidaya udang yang terkenal rentan terserang virus ini bisa berhasil tumbuh hingga ukuran panen. Mendekati siang, terlihat para pekerja menebar pakan, ada juga pekerja yang berendam untuk membuka lubang kotoran di bagian tengah tambak. Pada bagian tepi tambak, terdapat banyak gelembung-gelembung hijau, itu ternyata adalah phytoplankton yang mati. Sehingga harus segera dibuang untuk mengantisipasi meracuni air tambak. Air pun berwarna kecoklatan, mengindikasikan bahwa telah muncul diatom (skeletonema) menggantikan peranan clorellla yang banyak tumbuh pada bulan-bulan awal penanaman bibit.
Setelah Pak Heri berbincang-bincang dengan Mas Erwin, kami berangkat ke tambak milik Pak WId. Di lokasi tambak itu saya hanya melihat-lihat saja. Tampaknya, tidak ada masalah berarti di tambak ini, pak heri mungkin sekadar menjalin silaturahmi dengan teknisi dan pegawai tambak. Di lokasi itu, saya memotret komposisi pakan untuk pertumbuhan udang, udang diberikan pakan sesuai kebutuhan dan bukaan mulut, ada ukuran crablet dan ada yang sudah berbentuk pellet ukuran mata pensil. Beratnya sekitar 10 persen bobot tubuh.
Lalu menuju tambak arah timur, mobil masuk ke dalam jalan-jalan desa pesisir pantai. Sampai-sampai mobil terhalangi oleh perbaikan jalan dan terpaksa mencari jalan memutar. Tambak yang sambangi milik seorang bapak bertopi, memiliki dua petak dimana satu petak sebentar lagi di panen dan petak lainnya mengalami musibah penyakit Mio. Pak heri lantas memberikan arahan-arahan agar kejadian seperti itu tidak terulangi lagi, karena jika terserang, akibatnya bisa sangat fatal, udang bisa mengambang di permukaan, maka duit dan kerja keras pun hangus sia-sia.
Setelah itu, kami mendatangi tambak di dekat kawasan itu juga, tapi pemiliknya tidak ada di tempat, sehingga kami hanya melihat-lihat sekilas. Saat itu pegawai sementara mengangkat-angkat udang yang mengambang di tepi tambak. Kasian juga melihat udang yang sudah sebesar itu tewas begitu saja.
Kami terus bergerak ke arah timur, mengunjungi tambak yang terletak di pinggir-pinggir bakau yang lebat di Daerah Lamongan. Kali itu saya baru melihat ada bakau yang tinggi betul rimbun di pinggir tambak. Pak Heri sangat akrab dengan mereka dan bercengkrama di sepanjang pematang. Kami mengamati pompa yang lagi berusaha menyedot air yang tersisa di dasar tanah tambak. Kali itu, saya hanya memandang suasana, dimana terdapat pekerja yang menyusun batu untuk membuat pematang, suasana tambak-tambak kering dan ada yang sebentar lagi panen. Pada saat itu dilakukan perhitungan berat dan size udang yang sudah berumur 100 hari. Sizenya 58, saya baru sedikit tahu dengan size saat itu. Lalu mendengar selentingan-selentingan size, misalnya 73 pada umur 60 hari, 64 pada 85 hari. Size diukur dari jumlah udang perkilogram.
Mendekati magrib, kami bertandang kediaman Pak Yasin di Lamongan. Pak Yasin baru pertama kali mengorder produk inve dan dia mulai yakin setelah melihat tanda-tanda perbaikan tambak. Pak Heri dengan sigap menjawab beberapa pertanyaan Pak Yasin berkaitan dengan teknis pengolahan tambak, seperti pertanyaan kapan bagusnya dimasukkan air, apakah pada malam hari atau siang hari? Ternyata jawabannya tergantung situasi, jika ingin meningkatkan plankton bagusnya siang hari karena plankton akan dengan mudah membelah diri, sementara kalau malam hari plankton akan membengkak tapi tidak membelah diri, malah bisa pecah. Penjelasannya seperti itu, tapi untuk lebih ilmiahnya nanti akan dicarikan jawaban yang lebih tepat. Pak Heri juga menjelaskan tentang kemungkinan menurunnya kandungan oksigen setelah mengetahui kondisi DO pada sore hari dan kelimpahan plankton yang ada. Jika DO tinggi pada sore hari, maka biasanya akan turun pada malam hari dan akan makin menipis hingga subuh, dan itu rawan bagi ketahanan dan udang akan stress akibat fluktuasi oksigen. Tapi, kalau DO standar pada sore hari, biasanya pada malam hari akan tetap standar.
Setelah dari Pak Yasin, kami hendak kembali ke mes inve, tapi singgah dulu ke warung makan Pecel, asyik juga. Di warung ini kami bertemu kembali dengan Pak Marto dan juga seorang bapak pengusaha tambak yang bernama Pak Juharyono. Ketiga orang ini berbincang cukup lama, lalu dilanjutkan di rumah pak Juharyono yang terletak di samping warung. Mereka bertiga telah banyak makan asam garam tambak udang, dua orang pengusaha dan seorang konsultan. Sehingga perbincangan mereka bertiga kedengaran menarik. Perbincangan tiba-tiba hendak dilanjutkan di tambak milik Pak Haryono, dan kami pun bergerak ke lokasi tambak tersebut.
Badan sudah lelah, tapi saya memaksakan untuk fit dan tidak ngantuk. Meski begitu, ngantuk terus menyerang, sampai-sampai saya beberapa kali tertidur bersandar tapak tangan. Mereka membincangan tentang pakan, penyakit, hingga obat-obat yang bagus digunakan. Mantap kedengarannya, mereka cukup ahli di bidang udang dan betul-betul paham. Sayang waktu itu saya ngantuk berat, sehingga tidak konsentrasi. Saya mulai mengambil pelajaran justru dari Pak Nasir, kepala teknisi tambak asal Surabaya, yang merupakan alumni Univ. Brawijaya Malang. Bapak ini sangat akrab, kami berbincang hingga pukul 02.00 dini hari.
Menurut Pak Nasir, memilih bibit yang berkualitas merupakan sesuatu yang fundamental saat ingin memulai usaha tambak. Udang vannamae pertama kali dibiakkan di Hawai pada tahun 80- 90-an, hingga peneliti di sana menemukan induk dengan pewaris gen terbaik. Induk hasil rekayasa di Hawai itulah yang diangkut ke Indonesia untuk menghasilkan telur dan benur yang tahan penyakit. Namun, seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan budidaya, induk yang menghasilkan benur itu telah mengalami beberapa kali persilangan dan banyak juga hasil benur yang sudah dewasa yang kembali lagi dijadikan induk. Dengan begitu, tidak menutup kemungkinan bibit yang dihasilkan kualitasnya jauh lebih rendah dibandingkan benur yang diperoleh dari induk pertama. Sehingga timbullah beragam masalah karena benur memang telah mewarisi gen yang membawa penyakit, dimana jika kondisi tambak dan pakan kurang optimal, bisa membangkitkan kembali virus tersebut yang berasal dari genetic bawaannya sendiri.
Hal kedua menurut Pak Nasir adalah bagaimana mempertahankan kualitas air dan kandungan plankton atau nutriennya. Biasanya, pada awal-awal pemeliharaan, plankton yang terbentuk adalah dari jenis chlorella yang berwarna hijau, setelah dua bulan lalu terganti dengan plankton skletonema yang berwarna coklat. Plankton hijau cendrung lama bertahan di air karena memang siklus hidup jenis clorophicea yang memang panjang, sehingga untuk menjaganya, kita harus selalu melakukan pengenceran dengan cara memasukkan air baru dan membuang air yang mengandung lumpur setiap pagi. Dengan pengenceran, plankton yang mati bisa dinetralisir dan tetap mempertahankan plankton baru yang terus melakukan pembelahan diri. Dalam kondisi kepadatan plankton yang normal, fluktuasi oksigen bisa dikendalikan, karena kematian plankton dalam jumlah massal dapat mempengaruhi kandungan oksigen dalam air tambak.
Pak Nasir menjelaskan bahwa plankton berwarna coklat lebih mampu meningkatkan nafsu makan udang dan menjaga kondisi tubuhnya dibanding plankton berwarna hijau, ini menurut penelitian seorang kawannya di brawijaya malang. Namun plankton skeletonema siklus hidupnya singkat, sehingga sering muncul busa hasil kematian plankton dan jika dibiarkan lama dalam air dapat mengurangi oksigen dalam air dan mempercepat munculnya bakteri yang mungkin tidak baik bagi udang. Sehingga, solusinya, warna coklat pada air bisa dipertahankan dengan tetap selalu melakukan pengenceran dan juga tetap menghidupkan kincir dalam kondisi prima.
Malam itu saya tidur di balai tambak, pagi harinya saya menyaksikan bagaimana pengukuran jumlah pakan dan pemberian vitamin pada pakan. Saat itu juga dilakukan pembungan air yang berasal dari lumpur tengah kolam, untuk tetap mempertahankan kondisi air dan menjaganya dari serangan bakteri dan virus mematikan bagi udang. Pak heri sudah bangun dari tidur lelapnya di malam hari, kami siap-siap kembali ke Pereng, mes inve di Tuban. Dan pagi itu senyum pak Nasir begitu menyentuh, seperti embun pagi itu yang melekat di pori-pori. terimakasih Pak..
Pereng, Tuban, 4 November 2011
1 komentar - Skip ke Kotak Komentar
digunakan dalam pertambangan,
kehutanan, pertanian, industri konstruksi sipil,
pabrik, taman, lapangan golf, sebagai aerator dikolam ikan koi dan udang dll.
Spesifikasi:
Diameter Luar 20,6mm
Diameter Dalam 14,5mm
Tebal ada 3 macam : 2,5mm - 3,5mm - 4,2mm
Warna hitam
100meter / roll
material karet flexibel
fungsi untuk tanah dan kelebihannya:
- harga sipori murah dan berkualitas
- hemat air untuk menyiram tanaman langsung ke akar
- menyuplai pupuk cair langsung ke akar tanaman
- flexibel dan mudah diatur
- tahan lama didalam tanah
- berpori mikro dan tidak mudah tersumbat
- untuk semua jenis tanah
- cocok dilahan bidang yang miring atau datar
- cocok dilahan yang gersang dan tandus
- sangat cocok untuk musim kemarau
- praktis tanpa repot-repot menyiram air secara manual
- penyiraman terarah langsung ketanaman yang dituju tanpa harus menyiram ketanah yang lain atau pemborosan.
- bisa diaplikasikan dengan alat penyiraman otomatis.
fungsi untuk suplay aerator dan kelebihannya:
- harga sipori murah dan berkualitas
- suplay angin kecil sekitar 1,5 - 3 bar
- hasil gelembung udara halus dan rata
- tahan lama
- sangat berpengaruh dalam perkembangan untuk ikan dan udang dll.
Minimal order 50m
100m/roll
Melayani jumlah partai besar
Melayani pesanan luar kota
Stock ada!!!
Hubungi tama cipondoh tangerang :081212338044
Posting Komentar