5 hari yang lalu
Malili-Barru-Pinrang
Rabu, 23 November, bulan lalu, saya menguatkan diri untuk ikut seminar bersama marketing utama Inve di Barru. Saat itu saya belum tahu betul tentang prospek kerja di inve, walau sudah ada sebagian samar-samar model kerja setelah 18 hari ikut keliling tambak di tuban dan lamongan. Jadi, pukul Sembilan itu saya sudah tiba di jalan arif rahman hakim, menemui ibu kiki, dan menunggu pak najib dan pak pausan.
Saya berkenalan, kedua bapak ini ternyata orang yang asyik. Tak cukup lama, kami pun bergerak ke Barru. Di kendaraan kami asyik bercerita, pak najib orangnya punya selera humor, begitu juga pak Pausan, keduanya sering memberi komentar tentang apa saja yang dilihatnya di jalan, dan saya sesekali menimpali.
pukul 3.30 tiba di barru, saat itu para pegawai Mutiara Biru Kuppa sementara melakukan packing nener bandeng, Pak Rudi yang merupakan pimpinan dengan sigap dan telaten membagi-bagi nener dalam bungkusan plastik. Bos muda ini berpakaian santai, sebagai bos ia terlibat penuh dalam menjalankan bisnis hathery-nya, sehingga para pelanggan selalu puas dengan kualitas benur yang ia hasilkan. Saat itu, telah menunggu Ibu Haji Ani, penggelondong asal Mlili yang siap membeli benur Pak Rudi. Malamnya kami berbincang tentang strategi yang akan dilakoni besok, dimana besoknya kami bergerak ke Malili untuk melihat kondisi petambak di sana.
Kamis, 24/11 kami bergerak ke Malili, saat itu kami ditemani Pak Udin, yang merupakan supir lokal yang biasa disewa oleh pak rudi. Pak Udin mengemudi dengan tenang, tapi ia sering kali membunyikan klakson, yang kalau diperhatikan kadang lucu juga. Menuju Malili, kami harus melewati beberapa daerah, seperti pare-pare, sidrap, sengkang, siwa, hingga palopo dan masamba, kalau dihitung, perjalanan hari itu sampai 9 jam. Di palopo kami singgah di rumah ibu Lina, ibu ini penggelondong bandeng sekaligus pemberi pinjaman nener bagi para petambak binaannya. Sekilas cukup ramah dan cerdas, ia menyerap informasi yang ditawarkan oleh Pak Najib, bahwa perkembangan aquakultur harus diarahkan ke konsep alami dan organic, tentu dengan pertimbangan pemakaian suplemen yang terukur.
Kesadaran saya terpincut setelah tahu kalau kebiasaan pemakaian pupuk yang dilakukan oleh para petambak terbilang boros. Mereka melakukan pemupukan dasar hingga ratusan kilo perpetak, bahkan ada yang sampai satu ton perpetak yang sepetaknya bisa sampai delapan hektar. Mereka melakukan itu untuk memancing tumbuhnya plankton dan lumut. Tapi, sayangnya pupuk yang digunakan total pupuk kimia, sehingga sangat memungkinkan akan menimbulkan racun pada air dan tanah tambak. Padahal, pemakaian pupuk tidak perlu terlalu berlebihan, kita harus mengukur tingkat pertumbuhan dengan kuantitas pupuk yang telah ditebar, serta kebutuhan bandeng untuk bertahan hidup. Penggunaan pupuk alami juga pantas diterapkan, selain menghemat biaya, juga akan tetap menjaga kualitas tambak sesuai dengan alamnya.
Malamnya kami tiba di Malili, tepatnya di rumah pak Ulla, bapak yang masih muda ini menjelaskan kondisi petambak di sana. “Di sini jarang didatangi penyuluh, jadi petambak belajar sendiri dari petambak lain yang sukses panen,” katanya. Selain itu, ia menjelaskan kebiasaan para petambak, yang rata-rata masih tradisional itu. Tambak diisi oleh bandeng dan udang, dengan komposisi bandeng yang dominan. Pemasukan air pada saat pasang tertinggi, dan pembuangan pada saat air surut. Tambak berukuran luas, minimal 3-4 hektar perpetak. Tidak menggunakan pakan alami, hanya dilakukan pemupukan dasar dan pemupukan ulangan setiap pekan atau dua pekan. Tapi, lagi-lagi, petambak masih asyik menggunakan pupuk kimiawi, mereka pun belum menyadari efek negative dari pupuk kimiawi tersebut, yang akhirnya akan memupus kondisi hara tanah dan bahkan dapat menghasilkan bahan beracun berupa amoniak. Jadi, solusi untuk ini adalah memperkenalkan pada mereka teknis pembuatan pupuk buatan, baik dengan cara kompos, penebaran kotoran ayam basah atau kering ke petakan, atau pembuatan pupuk permentasi dengan bahan standar seperti dedak, ragi, gula merah dan saponin.
petambak masih selalu khawatir saat mereka menanam udang, soalnya udang kini sudah tak tahu apakah ia mau sakit apa tidak? Penyakit white spot selalu datang pada umur 1 – 2 bulan, lewat dari itu, petani sudah merasa aman. Namun, ada satu hal yang mengganjal saat melihat kondisi tambak mereka. Lumpur pada dasar tambaknya sudah sampai betis bahkan sampai lutut, ini mengkhawatirkan. Soalnya lumpur jika tak diangkat akan selalu merepotkan kondisi fisik udang, karena lumpur tersebut mungkin mengandung unsure-unsur berbahaya seperti sulfur (H2S, Fe, amoniak, mangan. Lumpur ini tak lain adalah racun bagi tubuh udang dan bisa menjadi medium penyakit virus dan bakteri.
Paginya, kami ke tempat bu Aji ani, bu aji menyiapkan kepiting dan ikan bandeng,, ma’yoss.. lalu ke tempat pak ulla lagi untuk presentasi. Petani yang hadir cuma lima orang, salah satunya adalah Pak Sukri. Pak Sukri termasuk juru kunci, karena para petambak menjual udangnya ke pak sukri ini, untuk ia bawa ke kawasan di Makassar.
Sore hari kami balik ke barru, dan singgah di palopo untuk nginap/istirahat malam. Paginya kami menemui bu lina lagi, untuk menjelaskan ulang program bertambak dengan baik. Setelah itu, barulah kami kembali ke barru. Di tempat pak rudi,, kami persiapkan lagi persentasi di pinrang, yang sepertinya agak lebih diterima oleh masyarakat. Di pinrang, tepatnya di Suppa, kami nongkrong di bale-bale milik pak Nunding, sejam menunggu, para petambak sudah merubungi bale-bale itu. Dengan tenang pak najib menyuguhkan presentasi yang menarik, ia mengawalinya dengan konsep organic,, bahwa dalam hidup segalanya akan kembali menjadi hidup, lewat proses daur no emisi. Ia pun memperlihatkan keadaan jika banyak menggunakan bahan kimia, yang justru membuat tambak semakin cepat aus.
Petambak terlihat menghayati presentasi, tapi ada juga yang tampak ogah-ogahan, dan sebagian lagi selalu membuat lelucon menggunakan bahasa bugis. Saya pun mulai ragu dengan uji coba ini. Selentingan-selentingan pun terdengar, petani di sini tak mau rugi untuk mengeluarkan uang membeli produk tambahan. Mereka ingin melihat hasilnya dulu, baru tertarik. Dengan begitu, program pertama yang harus dijalankan adalah membuat tambak percobaan dan itu harus berhasil, kalau gagal, siap-siaplah balik ke kandang dan jangan muncul-muncul lagi,, karena yang hadir hanya rasa malu dan menjadi bahan tertawaan.
Saya melihat, kondisi awal di pinrang cukup rumit, karena para petambak rata-rata melakukan proses penanaman udang bukan ditambak miliknya pribadi, tapi ditambak sewahan atau gadai. Sehingga, petani sangat sayang jika kehilangan waktu untuk menebar bibit, makanya upaya perawatan pada tahap persiapan kurang diperhatikan betul. Padahal, persiapan sangat menentukan keberhasilan panen udang, karena dalam persiapan itu sudah diantisipasi kemungkinan munculnya penyakit, dan bahan beracun lainnya. Namun, petambak lebih mementingkan untung yang cepat, karena mereka pada mengejar target panen, untuk menutupi ongkos sewa tambak yang rata-rata 2 juta pertahun.
Untunglah siang itu acara ditutup dengan santapan ma’nyuss.. ikan bandeng dengan aromanya yang segar, serta sayur lodenya yang nikmat, menutup kecemasanku yang tiba-tiba timbul akan prospek di kemudian hari. Habis dari pirang, sorenya kami balik ke Makassar, dengan perasaan suka cita.. ke depannya,, saya harus berjuang sendiri,, membuka jalan untuk kemajuan perusahaan dan juga masa depanku yang saya harap terang benderang..
Mammiri, 14 Desember 2011
0 komentar:
Posting Komentar