5 hari yang lalu
Mengungkit Kenangan di Ambon dan Maluku Tenggara
Di luar jendela masih gelap, mesjid terdengar sayup-sayup, subuh terasa dingin saat itu. Saya memang berencana bangun cepat-cepat, untuk bisa sedikit menikmati udara subuh di kawasan Balai Budidaya Laut Ambon. Pukul delapan saya ikut melihat prosesi apel pegawai BBL, sembari menunggu tukang ojek yang saat itu masih dalam perjalanan. Setelah berdiskusi dengan Kak Umar dan Pak Rusli, saya pun memberanikan diri untuk menjelajah lagi ke kota ambon hari itu, ditemani oleh seorang teman yang siap mengantar ke sana kemari yang bernama Imran.
Jam sepuluh saya tiba di kota, kembali ke Dinas Perindustrian lagi yang kemarin menjanjikan data rumput laut. Sesampai di kantor Dinas, saya mencari Pak Ongki, tapi beliau tidak ada, dan nomor hp-nya tidak aktif. Saat itu rasa jengkel mulai muncul, lalu muncul pikiran untuk ketemu langsung dengan Bapak Kepala Dinas. Kata pegawai di sana, pak dinas ada di kantor Badan Metereologi. Di pintu gerbang, saya mensampiri bapak pegawai, saya bertanya tentang rumput laut, ternyata dia informasi tentang hal itu. Saya kembali lagi masuk ke dalam kantor, untuk melihat hasil dokumentasi bapak itu. Katanya, sentra produksi dan perencanaan pembangunan dinas terletak di desa Letvuan, Kab. Maluku Tenggara.
Saya lalu bertemu dengan Pak Yan, kepala bagian perindustrian, dia menjelaskan permasalahan yang dihadapi oleh dinas perindustrian dalam hal perolehan dan pengolahan data. “Di Maluku ini pendataan mempunyai banyak kendala, pertama Maluku merupakan daerah kepulauan, kedua di sini banyak pegawai yang sudah terlatih mengambil dan mengimput data yang selalu pindah ke provinsi. Sehingga kabupaten-kabupaten selalu kekurangan sumberdaya manusia,” papar Pak Yan. Mendengar itu saya mulai maklum. Tak lama kemudian hadir Pak Effendi, dia alumni pertanian Unhas, dan dari cara bercakapnya tampak akrab. Mereka menjanjikan akan memberikan data via email. Saat itu saya memberi dua email saya ke mereka.
Cukup lama saya dan Imran di Dinas Perindustrian, hingga mendekati waktu lohor. Dari situ kami bergerak ke Bapedalda dan badan Investasi dan Penanaman Modal. Rupanya kantornya terletak di daerah Islam, dimana di daerah itu rawan terjadi bentrok di Kota Ambon. Kantor Bapedalda yang tampak megah itu pun ternyata kosong melompong, yang ada cuma penjaga. Kata Pak penjaga, para pegawai mengungsi ke kantor gubernur divisi humas. Kami pun bergegas ke kantor gubernur untuk mencari posko Bapedalda, setiba di sana, ternyata di divisi humas para pegawai sudah pada bubar. Wadeuh,,, saya pun melupakan kemungkinan untuk bertemu dengan bapedalda, untuk mengecek kondisi amdal daerah yang akan didirikan pabrik pengolahan rumput laut. Lalu bergerak ke lantai 4 kantor gubernur, untuk bertemu dengan bagian Bappeda Maluku. Dari bappeda ini, saya mendapat gambaran besar tentang rencana pengembangan rumput laut di Maluku, 5 tahun ke depan. Dari bappeda, diketahui bahwa Maluku telah dan tetap akan mendapat bantuan pelatihan teknologi rumput laut dari Unido, PBB.
Sore hari kami kembali ke waeheru,, malamnya saya konsultasi kembali dengan Pak Rusli yang merupakan peneliti rumput laut. Setelah menimbang-nimbang, saya memutuskan untuk berangkat ke Maluku utara besok pagi, untuk meliput dan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang rencana pendirian industry rumput laut di sana. Malamnya saya tak bisa tidur nyenyak,, entah karena apa, sering bangun tiba-tiba dan gelisah. Sialnya, saya bangun agak kesiangan, bayangkan, saya bangun jam 7.30 sementara jam penerbangan ke tual jam 8.20.. saya pun mandi seperti ular, lalu berjalan tergesa-gesa menuju kawan ojek. Untung ojeknya suka balap, jadi saya tiba di bandara hanya dengan waktu 20 menit. Tiba di bandara, saya uring-uringan lagi mencari tiket, pertama ke loket wings air,, tapi terlalu mahal. Kemudian melongok ke tagana air, untuk masih ada satu tiket yang tiba-tiba dibatalkan orang,, tawar menawar terjadi, saya minta kalau bisa harga tiketnya 800 ribu saja, dan bapak penjaga loket akhirnya menerima, yang awalnya dia tawarkan satu juta rupiah. Deal, saya pun berlari menuju trigana, ternyata pesawatnya agak kecil dan memiliki baling-baling. Saya duduk bersama bapak yang ingin ke dobu,, perjalanan juga cukup lama 1,5 jam. Asyikk..
Senang rasanya menginjakkan kaki di bandara dumatubun, langgur. Di tual, saya mengontak kawan Gani, seorang senior yang merupakan aktivis mahasiswa LMND waktu masih di Makassar. Beliau teman dari saudara Babra Kamal, seniorku di perikanan Unhas. Saya naik ojek menuju pasar tual untuk bertemu dngn kak gani, lalu menuju kediaman rumahnya dekat pasar. Saya tak bisa melupakan rumah itu, yang penuh dengan kehangatan keluarga, kenyang dengan cerita-cerita, dan juga kesan bahagia dari seorang bapak muslim (ayah gani) yang merupakan veteran militer yang setiap duduk bersama selalu menceritakan masalalunya yang penuh warna. Untung ada kak gani dan rumah itu, saya tak bisa membayangkan kalau saya sendirian bergerak di kota tual, dimana harus nginap di hotel lagi, makan diwarung, dalam waktu sekitar 5 hari, saya tak bisa mengira berapa ongkos yang saya keluarkan untuk tinggal sejenak di sana. Sementara keluarga kak gani dengan segala kebaikannya memberikan semua yang mereka miliki untuk kelancaran kerjaku.. saya tak bisa melupakan mereka..
Hari jumat saya tiba di tual, menyewa ojek ke dinas kelautan perikanan. Waktu itu sudah jam 2 siang, orang dinas sudah pada mau pulang, tapi saya sempat bertemu dengan ibu kepala dinas. Tapi, saat itu ibu kepala dinas cukup resisten dan membangun tembok mental, ia mengamati surat pengantar saya yang lebih diarahkan ke dinas perindustrian. Meski begitu, dia tetap menjalin komunikasi, dan saya mendatanginya lagi esok hari. Dari dkp, tukang ojek mencari alamat dinas perindustrian, pas ketemu, kantor dinas sudah tutup. Jadi, besoklah waktu untuk meyisir semuanya.
Sabtu itu, pagi-pagi benar saya ke dinas perindustrian, bertemu dengan sekertaris dinas dan ibu bagian perindustrian, juga bapak bagian koperasi, mereka menyarankan agar saya ke letvuan untuk menemui pak hironimus, pegawai yang merintis budidaya rumput laut di Maluku, dan saat ini lagi membangun industry rumput laut skala chip dan bubuk. Dari sini, kembali lagi ke DKP, dengan susah payah saya meyakinkan ibu kepala dinas untuk memberi data-data rumput lautnya. Saya bilang, saya diutus kesini untuk mengamati lahan dan persiapan pendirian rumput laut yang dilakukan pihak daerah, karena data-data yang masuk di pusat Cuma dokumentasi, pihak atas menginginkan adanya pemantau untuk mengambil data secara independen. Setelah dijelaskan, beliau sedikit percaya dan akhirnya memberikan data-datanya dan mulai asyik diajak ngobrol.
Siangnya, saya dan kawan supir ojek menguatkan diri ke Sathean, melihat secara langsung budidaya rumput laut di sana. Ke sathean membutuhkan waktu 45 menit. Desa ini 90 persen penduduknya adalah petani rumput laut, dimana saat itu banyak rumput laut sementara dikeringkan di para-para depan rumah penduduk. Di sana, tiga nelayan sempat saya wawancarai dan ambil data tentang produksi, cara budidaya dan masalah-masalah yang terdapat di lapangan.
Dari sathean kami ke letvuan, untuk menemui bapak hironimus. Wow.. di letvuan kami akhirnya menemukan pabrik pengolahan rl tersebut, disana beliau sementara mengoprasikan alat pencuci dan penghancur chip untuk menjadi bubuk. Mulanya kami tidak diizinkan berbuat macam-macam, tapi setelah diskusi sebentar, akhirnya hatinya luluh. Saya katakan, bahwa saya juniornya kak umar dari waeheru yang berasal dari Makassar, dimana kak umar merupakan teman baik pak hiro. “saya berutang banyak sama orang Makassar, orang Makassar sering membantu saya,” ucap Pak Hiro. Maka, saya pun mendokumentasikan proses kerja mereka, dan kami diizinkan wawancara keesokan harinya di rumah pak hironimus. Malam hari baru saya balik ke rumah kak gani,, pak muslim sudah bertanya-tanya, kenapa tak ada kabar dari saya, jangan sampai terjadi apa-apa. Jam Sembilan tiba di rumah, mereka menyambut hangat, sehangat suguhan teh malam itu.
Saat itu, di dekat pabrik terdapat lahan yang disediakan oleh pemda masyarakat Ohio Letvuan secara hibah sebanyak 5 hektar di daerah Letvuan, Maltra. 3 hektar untuk industri RL (Dinas Perindustrian dan Baristand, dan 2 hektar untuk Depo gudang penyimpanan RL (DKP).
Minggu, saya Cuma ke tempat pak hiro untuk wawancara, tepatnya di kantor koperasi elomel. Pak hiro memberikan banyak data-data penting, seperti sejarah perkembangan rumput laut di maltra, bentuk-bentuk bantuan yang telah diberikan, kondisi dan keadaan real untuk pengembangan industry rl di maltra. Saya sangat bersyukur bisa ketemu dengan beliau, dan data-data saya sudah cukup lengkap.
Siangnya, kami ke tempat pak Arifuddin, pengumpul besar di kota tual. Ia mengirim barang ke Makassar dan Surabaya sebulan sekali atau dua kali, dengan kapasitas 10 – 12 ton persekali kirim/kontainer.. Kapasitas gudang 200 ton. Rata-rata masuk barang 300 kg perhari. Menggunakan kontainer dari perusahaan Speell, waktu tempuh sampai di tujuan selama sebulan. Harga satu kali pengiriman Rp. 4 juta, ditambah uang buruh 2.700.000. biasanya 8 juta tiba di tujuan. Biasanya dikirim ke Perusahaan Rapid Niaga Internasional Milik Noor Rahmah Amir. Dengan ongkos pengiriman perkilogram sekitar Rp. 1000.
Dari situ, kami singgah di secretariat LSM Elmasrum, tempat kak Gani mengasah kemampuan organisatoris dan advokasi publiknya. Di tempat itu, saya berkenalan dengan kawan-kawan yang bersahabat, mereka sementara ini melakukan penyuluhan-penyuluhan ke desa-desa pengembang rumput laut dalam hal perkembangan teknologi, juga dalam hal advokasi bantuan dari pemerintah, serta pengorganisasian kelompok tani. Bentuk-bentuk kegiatannya antara lain; monitoring ke nelayan, pemantauan kualitas bibit, pemebentukan kelompok tani, pembinaan istri-istri nelayan, dan melakukan analisis ekonomi titik impas.
Lalu, saya kembali ke pasar tual bersama kak gani untuk memesan tiket ke ambon besok harinya, ternyata penerbangan baru ada lusa. Alhamdulillah dapat tiket sedikit murah, yaitu 500 ribu rupiah. Dari situ kami mencari alamat pak pastur, pengumpul besar rumput laut untuk kawasan sathean,, tapi alamat beliau tidak diketahui dan sudah pindah tempat. Besoknya, saya menghabiskan waktu ngobrol di rumah, dan sore hari bergerak ke pesisir tual untuk wawancara dengan petani rumput laut di sana.
Selasa siang, waktu yang mengharukan, saya harus berpisah dengan keluarga kak gani yang sangat baik. Saya berfoto bersama dengan pak muslim yang saya cintai, juga dengan kak gani. Saat itu, saya tak dapat memberikan apa-apa, tapi dalam hati saya berniat akan menyumbangkan sesuatu yang berguna kelak, di kemudian hari.
Di bandara, cukup lama saya menunggu, pesawat rencana terbang jam 3 sore dan saya sudah ada ditempat itu sekitar jam 12. Jam 5 saya sudah di ambon lagi, dan beristirahat total malamnya untuk petualangan esok hari.
Rabu, saya tak memanggil ojek, saya telah berani ke kota ambon menggunakan mobil angkot. Perjalanan pertama saya menyambangi BPS untuk mencari data-data tentang rumput laut. Namun, data di BPS sangat minim, yang saya peroleh Cuma data pelabuhan, transportasi, data ekspor dan ipm. Dari bps saya menuju batu merah untuk bertemu dengan kak Rus’an, mahasiswa kehutanan angkatan 2002. Kak rus’an sudah diterima di dinas kehutanan ambon, ia mengenakan stelan pegawai, dan mengajak saya keliling kota ambon mengendarai becak. Di atas becak kami membicarakan tentang perkembangan situasi kota ambon yang masih rawan konflik. Ia membawa saya ke warung makan. Di warung ini, kami juga menunggu kawan ajis, yang sekarang sudah menjadi pegawai bank panin. Ketika datang ia terlihat parlente. Hehehe.. senang rasanya bisa bertemu kembali dengan saudara ajis,, setelah sekian lama. Kami dulu sama-sama berjuang melewati masa pemagangan di Koran kampus identitas unhas. Namun, saat itu ajis tak bisa mengikuti program pelatihan dan memilih keluar. Tapi kami selalu berkomunikasi, utamanya ketika bertemu di forum-forum diskusi kemahasiswaan dan demonstrasi,, saya saat itu wartawan kampus dan dia adalah aktivis HMI komisariat Hukum Unhas.
Setelah bertemu dengan saudara-saudara ku ini, saya ke kantor perindustrian provinsi lagi. Saat itu saya melihat pak kepala dinas ada di tempat. Dua kali saya ke sekertarisnya tapi tak diizinkan masuk. Saya memberontak, dan tiba-tiba pak kepala dinas muncul keluar. Saya berdebat dengan sekertaris dinas, dan saya menang debat. Dia tak bisa berkata-kata. Saya bilang, “saya sudah dua kali ke sini, tapi bapak ini tak memberikan data, dia bahkan menjanji saya tapi sampai sekarang dia tak memenuhi janji,” ucap saya dengan notasi cukup kasar. Pak dinas mendengarkan, dan mengajak saya bicara baik-baik. Alhamdulillah, sambutannya cukup baik, dan akhirnya beliau memfasilitasi saya untuk bertemu kembali dengan pak effendi untuk mengorganisir data dan melacak data-data yang ada di daerah, khususnya untuk daerah Maluku Tenggara Barat dan Seram Bagian Barat.
Besoknya, saya seharian di BBL, nongkrong di perpustakaan, keliling-keliling balai untuk belajar teknis pembenihan kerapu. Jumat baru saya menyiapkan diri balik ke Makassar, sehabis salat jumat saya pun berangkat ke bandara. Dan pukul 2 lewat. Saya terbang ke Makassar, dengan sepotong gelisah dan kenangan..
Kamis, di Warkop Sabana, Alauddin Makassar, 15 Desember 2011
0 komentar:
Posting Komentar