5 hari yang lalu
Hutan
Hutan selalu menjadi dilema, walau sebenarnya sesuatu yang konkrit. Melihat hutan yang dicampuri oleh kebudayaan, kita ditohok antara dua pilihan, manusia ataukah lingkungan? Satu sisi kita dibuat was-was oleh prediksi chaotik masa depan, yang diliputi simulacrum tak pasti, bak teori termodinamika, hutan menjadi lokus perubahan menuju katastrophi. Kita selalu dihantui tapal batas yang sebentar lagi, yang tak jauh lagi. Ketika bumi memanas, ketika laut semakin ganas. Sementara sisi lain Hutan menjadi tubuh yang digerayangi, dinikmati dengan nafsu tak bertepi. Hutan menjadi obyek kerakusan, dengan legitimasi logika kemajuan, pertumbuhan, ekonomi, demi kesejahteraan manusia. Hutan menjadi tulang punggung pergerakan sebuah peradaban dan sebuah bangsa.
Kita tahu bahwa pada titik waktu tertentu, dimasa lalu, hutan menjadi target, hutan menjadi sumbu perputaran ekonomi Negara kita. perambahan hutan besar-besaran terjadi sejak Presiden Soeharto resmi berkuasa pada 1967. Bahkan salah satu peraturan yang pertama dibuat Orde Baru adalah Undang-Undang Dasar Kehutanan. Isinya menyatakan kekuasaan Negara atas seluruh jengkal hutan. Itu sama dengan mengangkangi hak wilayah adat terhadap hutan yang sudah mereka pelihara selama beberapa generasi. Hutan menjadi pemasok devisa terbesar setelah minyak bumi dan gas. Menurut sebuah penelitian, setidaknya 40 juta hektar hutan hilang selama pemerintahan Orba.
PBB memperingatkan bahwa bisnis perkebunan kelapa sawit merupakan pangkal kerusakan hutan. Sejak 1990 lebih 28 juta hektar hutan rusak akibat perluasan kelapa sawit. Itu sepertiganya dari banyaknya hutan yang dibiarkan terlantar begitu saja. Kedua adalah bisnis industri pulp dan kertas. Industry kertas berkembang pesat sejak 1980, hingga mencapai kapasitas 6 juta ton pertahun. Untuk mencapai kapasitas seperti itu, industry membutuhkan 30 juta meter kubik kayu. Dari mana mereka memperoleh itu semua?
Badan Pangan Dunia (FAO) sudah mencatat bahwa Indonesia menghancurkan kira-kira 51 kilometer persegi hutan setiap hari, setara dengan hancurnya 300 lapangan bola setiap jam. Angka deforestasi Indonesia tahun 2000 – 2005 mencapai 1,8 juta hektar pertahun. Secara kasar Indonesia menyatakan luas hutan Indonesia sebesar 133,57 juta hektar, namun menurut greenpeace, dalam separuh abad terakhir Indonesia telah kehilangan separuh hutannya. Hutan telah disulap menjadi perkembunan sawit, atau dianggurkan begitu saja. Bahkan, saya pernah melihat di pinggiran Banjarmasin, lahan lapang sudah menjadi alang-alang, yang katanya dulu adalah hutan belantara.
Di atas adalah sepintas sejarah suram, dan akan terus berlanjut entah sampai kapan. Kini, dunia mulai meributkan, tentang siapakah yang bertanggungjawab terhadap kesuraman itu. hancurnya hutan Indonesia tak bukan adalah kaitan carut-marut globalisasi dan ekonomi pasar, dimana negara-negara lain turut menyumbangkan kerusakan. Ada negara yang meminta dan menikmati, ada yang memproduksi, namun, kini kita tahu bahwa semua warga dunia akan menjadi korban perusakan lingkungan, contoh kecilnya adalah banjir, rob dan longsor pada musim hujan, bencana kekeringan, krisis air dan pangan pada musim panas, dan kegalauan kita terhadap hantu global warming.
Dalam kekhawatiran itu, hutan pun menjadi pertaruhan. Hutan dianggap sebagai penyelamat, menyanggah kenaikan suhu lewat reduksi emisi karbon yang diproduksi negara maju. Hutan menyerap, ia menampung carbon, sementara negara industri terus membangun, membuang sampah karbon. Protocol Kyoto disepakati untuk menurunkan emisi karbon setiap Negara industri hingga 26 – 40 persen pada 2020. Namun, kisruh kembali terjadi di Bali pada 2007 lalu, Negara maju seperti Amerika, Jepang, Kanada, dan Australia ogah menurunkan emisi karbonnya. Diplomasi buntu, tak ditemukan jalan keluar. Namun, protocol tetap berjalan, REDD pun ditargetkan bergerak total pada 2012 ini. Dimana setiap Negara yang mempunyai hutan tropis berhak meminta jatah dari Negara maju lantaran peranannya menurunkan emisi karbon. Namun, ini masih menjadi dilema, tentang tujuan dan mekanismenya? Banyak LSM yang belum paham mengenai hitung-hitungan carbon itu, dan kenapa Negara berkembang tak boleh membangun, sementara maju tetap melaju kencang..?
Tentang itu saya belum tahu. Kita hanya sama-sama tahu kalau di dunia ini ada negara yang serakah, dan mungkin negara kita termasuk jua. Meski begitu, tetap ada cara, walau masih sebatas wilayah komunitas, karena persoalan hutan bukan sekadar persoalan lingkungan dan emisi karbon, tapi juga persoalan perut manusia yang tinggal di sekitar hutan. Mereka butuh makan dan selalu bergantung sumberdaya hutan. Pertanyaannya, bagaimana mendamaikan antara perut manusia dengan keberlangsungan hutan? Bisakah manusia tetap bergantung tanpa merusak ekologi hutan?
Saya hanya paham masyarakat bukanlah mesin, bukan industri yang memangkas, mereka bukan manusia yang rakus, mereka hanya kumpulan manusia yang telah menyatu dengan alam dan telah mengikatkan dirinya dengan hutan. Tak mungkin mereka menghabisi sumberdaya leluhurnya. Yang diperlukan mungkin hanyalah informasi, penyadaran, dengan pendekatan pemberdayaan. Masyarakat diajak memberdayakan hutan tanpa mengurangi kemampuannya mereduksi karbon serta tetap terjaga keberlangsungannya sepanjang zaman. Yang saya tahu tentang ini adalah dengan hadirnya konsep “hutan lestari”.
Nah, dari belitan masalah ini, hutan lestari semoga bisa menjadi jalan tengah. Menjadi benang merah antara masyarakat hutan dan ekologi hutan. Semoga..
Sabtu, 21 Januari 2012
0 komentar:
Posting Komentar