5 hari yang lalu
Lintas Memori Setahun
Sudah lama aku tak menulis, menulis yang sebenarnya. Sehari-hari ini aku hanya menuliskan diriku dalam gerakan dan tindakan. Menulis adalah tindak hati, dimana hatiku beku dilontar pekerjaan dan nafsu otak. Sebuah kesibukan baru memaksa ku untuk menyimpan rahasia besarku, sebuah gejolak untuk menuliskan banyak hal tentang peristiwa yang diutak-atik dalam renungan. Aku tak paham dengan bergesernya waktu, dimana maksud hati turut hanyut dalam gelombang gerak itu.
Aku masuk ke sebuah dunia yang cukup asyik dan menantang, sesuai dengan minat dan bakatku. Tapi dalam dunia baru ini, saya harus mengejar dan berlari kencang, untuk bisa paham pada hal-hal asing itu. Saya tak takut, justru semakin bangga karena punya kesempatan untuk merambah lebih luas jejaring wawasan dan ilmu pengetahuan. Saya pun yakin, tak ada yang sulit dalam dunia ini, yang membuat sulit adalah diri kita sendiri, yang kadang gampang berkeluh kesah dan cepat menyerah. Padahal mimpi-mimpi itu harus diraih, dicapai, meski dengan mendaki tangga satu persatu. Dan saya tak tahu, dengan kehadiran saya di LSM lingkungan ini sudah mencapai tangga ke berapa?
Saya kembali teringat dengan perjuanganku setahun ini, bermula dari awal Januari 2011 lalu. September 2010 saya sarjana, kemudian 3 bulan berleha-leha di kampus untuk memperbanyak bacaan, juga beberapa kali keliling sulsel dan sekali ke jakarta dan bandung. 12 Januari saya mencoba petualangan yang saat itu kedengaran akan sangat panjang. Tiket ke Jakarta sudah digenggam, saya harus menunaikan janji saya untuk membantu pak Ginto menyelesaikan program kepiting indoornya. Dengan basmalah, dan pamitan dengan teman-teman identitas unhas dan beberapa sobat, saya melenggang ke ibu kota, dengan segepok buku bacaan yang akan memberi warna di kota bising itu. Semalam sebelum berangkat, ada kejadian lucu. Semalaman saya minum kopi bersama kawan sasli di sebuah warkop, kami pun berpisah jam 1 malam dengan rasa yang begitu berat.
Malam itu hujan deras menderai, saya menembusnya perlahan. Tanpa sengaja rasa sedih itu mengguyurkan pula butir-butir dari mata ini.. tiba di rumah, saya masuk kamar kecil, bapak saya mengambil laptop dan memasukkannya di kamar. Saya betul-betul kaget saat melihat laptop sudah tidak ada di dalam tas, saya bolak-balik mikir, dimana titik simpul kehilangan laptop, beragam spekulasi muncul. Saya yakin waktu masuk wc warkop ada yang dengan cepat mengambil laptop di dalam wc. Segera saya hubungi sasli, dia masih di jalan. Katanya mending kita kembali ke warkop untuk konfirmasi. Sebelum kembali ke warkop, kami berbicara jarak jauh antara saya, sasli dan kak hambali yang masih ada di warkop.. kata kak bali, sudah dicari kemana-mana laptopnya tidak ketinggalan di warkop. Dia pun mengira kalau saya dihipnotis di jalan. Tapi tak mungkin, sepanjang ingatan, saya tak pernah berinteraksi dengan orang sepanjang jalan. Dengan kebingungan menggebu, saya membawa motor keluar, untuk berangkat ke warkop jam 2.30 malam. Pas di luar, eh orang tua melarang. Saya kemudian jelaskan bahwa laptop saya hilang. bapak mengatakan bahwa laptop ia ambil dan masukkan ke kamar.. wadeuh, lenyap sudah gelisah saya, yang tersimpan malah rasa lucu dan aneh. Saya mengkonfirmasi ke sasli dan kak hambali.. mereka hanya menjawab dengan tertawa.. saya pun ikut tertawa.. hahahaha..
Paginya, hujan turun deras, saya harus ke bandara. Terpaksa meminjam mobil tetangga. Tiba di Jakarta disambut oleh Pak Ginto. Lanjut cerita, perjuangan di Jakarta selama enam bulan meninggalkan begitu banyak kesan, tepatnya kesan bertarung dengan kehidupan terasing dan memang hidup ini hanya untuk mengisi kekosongan biologis. Di jakarta saya lebih bertarung dengan diri sendiri, apakah bisa bertahan dengan kondisi seperti ini? Dan ujub-ujub saya tahu bahwa ada kekuatan besar yang disimpan oleh setiap manusia, dalam kondisi kritis apa pun kita akan mampu melawan dan bertahan.
Di Jakarta, teman-teman kantor menampakkan wajah tak bersahabat, hidup tampaknya tak lebih dari sekadar mengejar kepentingan dan posisi. Padahal, tak ada niat untuk merebut, saya hidup hanya ingin memberikan kemampuan semampu-mampunya, tentu dengan niat baik. Pun kalau mendapat imbalan, saya tak akan meyebut-nyebut dan mencari-cari jalan yang tak pantas. Kalau memang sudah tidak diperlukan, tidak apalah digeser, saya masih bisa mencari jalan lain yang mungkin akan lebih cocok dengan jiwa dan keinginan saya. Saya pun tak ingin menghabiskan waktu untuk sesuatu yang tak pas. Meski begitu, banyak hal lain yang justru sangat menarik, seperti tingkah perjalanan ke lorong-lorong, ke gedung-gedung, ke sudut-sudut, dan ke tempat-tempat baru yang kian membuka ruang hidup dan wawasan saya. Inilah kebahagiaan yang saya temukan di jakarta, ketika saya ke luar dan menempuh perjalanan. Di sana, ada warna baru, ada musik jazz, ada sobat-sobat baru dari berbagai wilayah yang pikiran-pikirannya cukup cemerlang, ada glamour kota, ada jejak yang saya simpan di lokus-lokus itu, untuk saya pijak kembali, kelak.
Balik ke Makassar Juli lalu, beberapa hari sebelum lebaran. Saya pun tak menyangka bahwa tak akan kembali ke Jakarta lagi dalam jangka waktu dekat. Saya diberi izin satu bulan di Makassar, tapi ternyata sejarah menjawab lain. Saya bertahan di makassar hingga berbulan-bulan dan tak kembali lagi bekerja di Jakarta, nasib membawaku berkeliling untuk mencoba hal-hal baru dalam bulan-bulan itu.
Dua bulan di Makassar saya habiskan di warung kopi dan sebagian di rumah seorang bapak, yang saya kenal di Jakarta pada hari-hari terakhir. Selama sebulan saya sering bertandang ke rumahnya, berbincang dan merencanakan sesuatu yang besar. Sesuatu yang diluar duniaku, yaitu dunia usaha. Tapi, waktu itu saya mungkin betul-betul polos dan tak mengerti bahwa dunia usaha itu betul-betul getas. Tapi, begitulah perjuangan dan pergerakan, tak ada yang pasti akan dibawa kemana, apakah jalan ini tepat ataukah mesti menempuh kebuntuan berkali-kali baru mendapatkan jalan lapang.. saya belajar banyak dari sang bapak, dari yang baik-baik hingga yang jelek-jelek. Dunia memperkenalkan dirinya dalam sosok manusia-manusia yang berpapasan, seiring bergesernya waktu.
Perkenalan dengan bapak ini, bukannya membuat sesuatu yang lempang, malah kian menyempit kalau diukur dalam takaran material. Tapi jika diukur dalam takaran khasanah pengalaman, justru duniaku makin lebar. Karena dengan mengetahui sosok ini, saya tahu bahwa hidup ini harus punya strategi, hidup bukan sekadar air yang jatuh dari gelas kemudian meluber ke comberan. Tapi, yang paling penting adalah pengalaman.. yang saya peroleh langsung dan yang saya amati dari sosok orang-orang. begitu banyak sosok yang sudah berbagi pengalaman pedihnya dalam setahun ini. Dan rata-rata adalah orang tua. Orang yang banyak ilmu. Orang yang pernah kaya lalu terjerumus kesempitan.
Dua bulan adalah waktu bermain-main, membangun relasi, dan menghibur diri di warung kopi. Tiap hari saya di warkop, membuka internet, membuat tulisan apa saja dan membaca apa saja. Warung kopi mammiri menyimpan memori serasa kopi, aromanya tertinggal di langit-langit. Di sana, saya menghabiskan waktu untuk ngobrol dengan siapa saja, dengan senior-senior yang baik hati.. hehe.. belum lagi saya banyak menghabiskan waktu dengan sahabat-sahabat yang masih berstatus mahasiswa. Membincangkan teori-teori yang sulit dijangkau realitas, membincangkan realitas-realitas membingungkan di sekitar kita, membincangkan masa lalu dan selalu masa lalu yang selalu tak ingin kita tinggalkan. Di sini saya akrab dengan beberapa nama.
Lantaran sering di warkop, saya ditunjuk untuk ikut proyek kajian industri rumput laut di Maluku. Waktu itu, tak ada yang mau ke Maluku, karena sedang digoncang suasana konflik. Mendengar itu, tak muncul rasa gentar, justru yang hadir adalah kebahagiaan, karena dapat menginjak pulau Maluku, pulau yang begitu asing sebelumnya. Disana pasti ada jalan, pasti ada yang akan membantu, saya meyakini kalau kita sering membantu orang, akan banyak juga tangan akan menarik kita saat hendak jatuh ke jurang.
Di Ambon Maluku, saya temukan lagi masa lalu, ketemu dengan junior yang pernah menyimpan kenangan. Mungkin tuhan menunjukkan bahwa dunia yang begitu lebar, kalau kita akan ketemu tak akan kemana.. tapi pertemuan ini sekadar pertemuan, dan mungkin menuntaskan sebuah niat dan membebaskan batin. Di Ambon saya mengambil banyak data tentang rumput laut, sekaligus mengamati suasana kota yang pernah diliputi kesedihan. Masih terlihat jejak-jejak amarah, emosi, dan kepedihan lewat serpih reruntuhan, lewat tentara yang begitu meluber menguasai kota, lewat bisikan-bisikan dan sentilan dendam dari orang-orang yang terluka. Saya merekam, menyimpan, prasangka-prasangka mereka. Yang masih disibukkan dengan urusan sakit hati. Bukan karena agamanya, bukan karena ideologinya. Tapi karena rasa pedih dengan masa lalu, terhadap kenangan dengan orang-orang yang tiba-tiba pergi bersama api kerusuhan.
Saya terbang ke Maluku Tenggara, kota Tual, disana saya mendapatkan sebuah keluarga yang begitu baik hati. Disana saya tak mengenal siapa-siapa, syukur pada tuhan saya diperkenalkan dengan kakak Gani, yang mengajak saya tinggal di rumahnya dengan keluarganya yang begitu bersahaja. Saya tak akan lupa dengan kebaikan-kebaikan mereka, dan berniat akan membalasnya kelak. Tertuju pada Bapak Muslim, veteran tentara berumur yang kaya pengalaman. Setiap waktu senggang ia menceritakan pengalaman-pengalaman lalunya, waktu muda, pada zaman belanda. Hingga pengalamannya waktu berada di Makassar. Ibu kak Gani yang begitu tulus menyiapkan teh hangat beserta sarapan pagi sebelum saya mencari data, serta kerabat yang lain yang tak sungkan mengajak saya bercerita dan memberikan banyak informasi yang sangat saya butuhkan.
Kembali ke Ambon, dua hari di sini melengkapi data dan bertemu dengan sobat-sobat lama, seperti Ajis Tolauhu dan Kak Ruz’an. Mengejar info di Dinas Perindustrian yang mulanya ogah dan tak acuh. Hingga ikut pertemuan di Hotel Ambon Manise dan diperkenalkan oleh Kepala Dinas Perindustrian pada para peserta yang merupakan stakeholder se Maluku. Waktu itu saya mengorek data sebanyak-banyaknya, mengambil dokumen sebanyak-banyaknya. Jumat, saya kembali ke Makassar dengan segepok dokumen Rumput Laut.
Di makassar, tim rumput laut sering kumpul bareng, merampungkan data yang sudah di peroleh, untuk dipresentasikan dihadapan pimpinan proyek. Waktu itu, alhamdulillah data yang saya peroleh mendapat sanjungan, lantaran dianggap cukup lengkap dan valid. Kemudian, persahabatan antar tim terus terjalin, dimana mereka-mereka adalah orang yang lengkap dan tak neko-neko, saya lebih cocok dengan orang-orang seperti itu. Tapi dunia akan merubah segalanya kelak, entah kapan? Bahwa materi akan merubah kita, tinggal sejauh mana saya bertahan dari idealisme ini.
Sehabis rumput laut, saya berleha-leha kembali di warkop, sambil menunggu peluang-peluang baru, saya menghabiskan waktu membaca dan online. Tiba-tiba ada tawaran dari senior untuk mencoba bergabung di inve. Waktu itu saya tak begitu mengenal inve, tapi, lagi-lagi, tak apalah dicoba, karena katanya gajinya cukup besar. Saya pun memasukkan CV dan mencoba peruntungan, byarr, saya diterima dan diminta untuk ikut pelatihan dulu selama 18 hari di Surabaya.
18 hari di Jawa Timur bersama Pak Heri Wicaksono, keliling ke tambak-tambak milik petani udang di Tuban, lamongan, dan Gresik. Di jawa timur ini saya menimba ilmu begitu melimpah tentang tambak intensif, mengenai penanganannya, mengenai gejala-gejala penyakitnya. Saya mencoba masuk ke dunia marketing, menjajakan obatan bagi tambak, seperti cairan penurun amoniak, penambah probiotik dalam tambak dan usus udang, multivitamin, imunostimulan, dan pupuk organik. Ternyata, begitu banyak persoalan yang ditemui di tambak, seperti udang mengambang, udang kropos, udang mati muda, serta problem-problem kualitas air. Saya berhutang ilmu dengan pak Heri, yang kerjanya minta ampun, dari jam 9 pagi hingga jam 11 malam. Selama berhari-hari itu saya menemaninya, berkendara. Hidup serasa di perjalanan.
Balik dari Jatim, menuju barru, lokasi kerjaku. Mulanya saya banyak menyentuh pinrang unutk sosialisasi produk, tapi tampaknya kurang populer untuk tambak tradisional. Saya menyisir Barru untuk menawarkan pada para pemilik tambak intensif. Sebulan lebih saya bolak-balik mengendarai motor, kadang balik ke makassar satu dua kali seminggu. Kadang diguyur hujan, kadang diterpa panas. Badan letih minta ampun. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk berhenti. Gejolak jiwa sebenarnya juga bertarung, apakah saya mampu hidup dengan menjajakan obat? Apakah saya mampu mengatasi setiap problem yang dihadapi petani.. saya mengukur-ukur, untuk saat ini belum sanggup. saya mengangkat bendera putih.
Sekitar sepuluh hari saya mendekam di makassar, waktu itu musim hujan, hampir setiap hari hujan. Kaki betul-betul malas untuk melangkah, tak mungkin saya menyusuri hujan ke tambak-tambak, tak mungkin ada petani yang mau membeli dalam kondisi seperti ini.. terserah apa yang kalian anggap, apakah saya orang gampang menyerah atau bagaimana, persoalannya bukan disitu, persoalannya ada pada batin. Apakah kita cocok dengan ini dan itu, apakah hidup kita nyaman dengan seperti itu. Karena masih ada tawaran dan pilihan lain. Yang mengajak kita pada kebaikan dan sesuai dengan hati nurani kita. Saya tak mau menggadaikan sepanjang hidup saya hanya untuk menjual obat dengan sedikit kebohongan.. saya ingin mengabdikan hidup saya untuk pencerahan, untuk ilmu pengetahuan, untuk mencatat momen-momen sejarah dunia dan diriku. Aku ingin menghasilkan sebanyak-banyak karya, terutamanya di bidang lingkungan, sosial dan sastra. Itulah ambisiku saat ini.
Tak lama menderita dilema antara berhenti dan lanjut, ada tawaran tiba-tiba dari seorang senior, menganjurkan saya untuk wawancara di sebuah Yayasan Nirlaba bernama “Sulawesi Community Fondation”. Saya belum pernah mendengar nama ini, tapi setelah bertandang ke sana, hati saya langsung terpincut. Saya suka dengan tempat dengan orang-orangnya. Di tempat ini bertaburan informasi dan kepedulian. Juga aktifitasku tak lepas dari dunia kesenanganku, yaitu dunia penulisan dan penelitian. Pekerjaan inilah yang saya dambakan selalu, saya tak akan melepas nikmat dan karunia ini. Karunia kebebasan, keseriusan dan juga workhaholic.. saya ingin menghabiskan waktu di tempat ini. Untuk berkarya dan berkarya..
Jumat, 2 Maret 2012
0 komentar:
Posting Komentar