“Pertama-tama sebagai tragedi, kemudian sebagai bayolan” Karl Marx..
Malam ini masih menyisahkan gelisah, yang ujub-ujub membuat kita linglung. Satu hal Tentang sebuah rencana kebijakan, sisi lainnya adalah aksi mahasiswa yang mengiringinya. Sebenarnya saya tak begitu paham seluk-beluk perminyakan di Indonesia, seperti berapa besar kapasitasnya, apakah dapat mencukupi kebutuhan minyak warga, berapa besar subsidi yang harus dikeluarkan, apa untungnya kalau subsidi dicabut? Tapi, yang paling tak saya mengerti, kenapa negara dengan gampangnya memotong-motong hak rakyat (subsidi)? untuk hal-hal lain yang belum jelas peruntukannya.
Negara sepertinya lebih condong pada hal-hal yang tampak sepele. Seperti penganggaran ruang banggar dengan harga yang jetset, renovasi toilet DPR, pendirian gedung-gedung pemerintahan, perjalanan dinas, hingga pada hal-hal yang bersifat politis, seperti lobi-lobi dan menggalang dukungan, strategi pemenangan pemilu, atau bagaimana dapat menipu rakyat agar dapat terpilih kembali. Namun, ada apa dengan minyak? Apakah minyak adalah jalan pintas untuk mendapatkan sedikit margin, yang sisanya (BLT) dapat dibagi-bagi sebagai hadiah dari sang pemimpin?
Siang hingga sore tadi aksi mahasiswa betul-betul tedeng aling-aling. Satu van mobil coca cola dibakar, SPBU direbut, mereka pun tak takut memegang molotov, dan tak jera dengan gas air mata. Lucunya lagi, sebuah pertokoan mereka jarah, lalu mengambil gas elpiji kemudian mereka bagikan pada warga disekitar situ. Memang ada heroik disitu, bercita rasa robin hood. Tapi, entah apa sasaran dan maksud tindakan tersebut. Apakah ingin memperlihatkan wajah garang masyarakat yang lagi menderita? Apakah sebagai bentuk simpati pada orang kecil? Apakah untuk menakut-nakuti presiden? Ataukah sekadar aksi unjuk diri, bahwa mahasiswa masih ada? Lalu, motifnya apakah ada embel-embel lain, seperti menyisipkan isu anti kapitalis, anti liberalis, dan pro rakyat, pro anarkis, tak usah ada struktur.. atau kah hal lain?
Jalan seperti inikah cara yang harus ditempuh? Apakah dengan membakar mobil, menjarah gas elpiji bisa menyadarkan para pengambil kebijakan? Terus, bagaimana dengan warga sipil, apakah mereka sadar bahwa warga sipil justru kesal dengan tindak mereka. Yang tiap hari menghadapi macet yang panjangnya mengular dicampur hujan, lantaran mahasiswa menutup jalan. Apakah ia tak tahu bahwa pemilik mobil dan pertokoan juga merupakan warga sipil dan mahasiswa dengan bangga mengambil dan menginjak-injak hak sipilnya tersebut..
Barangkali mereka sangat sadar, dan saya pun yakin akan hal itu. Mahasiswa adalah generasi pelanjut bangsa, yang selalu mengandalkan otak dalam beraksi, dan tidak gegabah menetapkan langkah. Tapi, saya masih belum mengerti, kenapa saat itu warga yang dikorbankan? Kenapa mereka cepat sekali tersulut oleh provokasi-provokasi? Kenapa mereka terlalu gegabah mengikuti arus massa?
Saya curiga, anak-anak ini adalah warga yang lepas dari habitatnya. Yang resah dengan lingkungan negaranya yang bisa jadi terefleksi dari kampusnya sendiri. Ada ketakutan bahwa ini merupakan bentuk dari kebuntuan berfikir. Mahasiswa kehabisan ruang untuk berdialog, membicarakan persoalan-persoalan pelik tentang negeri ini. Nah, untuk memecah kebuntuan dan kegelisahan ini, jalan satu-satunya untuk melepas penat adalah lewat amarah, lewat aksi bakar-bakar..
Bukankah kampus adalah ruang berekspresi, ajang berdebat dan dialektika, lantas kenapa kebuntuan itu bisa muncul? Ini adalah pertanyaan saya sejak dari dahulu.. apakah ada pengaruh dari kebijakan-kebijakan birokrat kampus juga yang berpengaruh jauh pada mental mahasiswa? Padahal, kalau dibanding-banding, kampus sudah berkontribusi lebih, dengan pemberian beasiswa, dengan workshop-workshop, dengan dana-dana usaha, tentu dengan gedung dan lantai mengkilap. Hal itu dianggap sudah membuat mahasiswa sibuk dan tak perlu memikirkan hal ‘lain’.
Apakah perlu mahasiswa sedikit kritis membaca konsep pemikiran yang melandasi berjalannya sebuah universitas. Apakah kampus cukup dibangun dengan mempercantik dan menambah infrastruktur, atau kah lebih berorientasi mental akademik? Dimana mental akademik yang dimaksud adalah bagaimana kita mendesain sebuah masyarakat ilmiah yang betul-betul kompeten dan analitik, mampu bersaing dan memecah masalah individu, profesi dan sosial kemasyarakatan.
Kalau saya timbang-timbang, opsi terakhir ini masih terbilang sulit. Bagaimana tidak, saya dengar beberapa dosen anyir tercium indikasi plagiat, dan pimpinan mungkin sibuk dengan urusan rumah sakit.
5 hari yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar