Sabtu, 25 Februari 2012, Kami
bergerak menelusuri desa-desa di pelosok Bulukumba. Ada yang bergerak ke arah
timur, dan ada pula yang ke arah barat. Tujuannya yaitu untuk menemukan
informasi tentang kayu rakyat yang langsung dari petaninya. Ada beberapa desa
yang dikunjungi, antara lain Desa Karassing Kecamatan Herlang, Desa Bukit
harapan Kec. Gantarang, dan Desa Kindang Kecamatan Kindang.
Karassing
Saya
memulainya dengan Karassing. Desa ini memiliki hutan rakyat yang cukup luas,
tersebar di petak-petak kebun warga. Konon, Karassing dahulu adalah daerah
gersang. Kemudian berangsur-angsur rindang sejak digalakkan program penghijauan
pada 1990-an. Program ini didukung pula dengan kebijakan desa dalam bentuk
Peraturan Desa (Perdes), “Setiap orang yang melahirkan minimal menanam satu
buah pohon, setiap anak yang baru masuk sekolah minimal 5 pohon, dan jika ingin
menebang satu pohon, harus menggantinya dengan menanam sepuluh pohon,” ungkap
A. Darma DN, Kepala Desa Karassing.
Di
Karassing terdapat delapan kelompok tani, namun hanya dua yang terlihat aktif
melakukan penanaman pohon, yaitu Kelompok Sukamakmur dan Assamaturu’. Anggota
masing-masing kelompok ini dikukuhkan oleh kepala desa. “Di Karassing juga
sudah ada koperasi, tapi masih butuh bantuan modal. Sementara penyuluh hanya
berjumlah satu orang yang sesuai tupoksi-nya,” tambah A. Darma.
Tugas kelompok
ini yaitu menggalang dukungan dari berbagai pihak dalam pengadaan bibit pohon,
pembinaan teknis pada anggota kelompok tani serta pemberian pemahaman mengenai
pasar dan perkembangan informasi mengenai kayu rakyat. Rata-rata anggota
kelompok memiliki luas lahan sekitar 1,5 hektar dan rata-rata mereka melakukan
penanaman sendiri.
Zainuddin,
petani sekaligus pedagang kayu, adalah salah satu anggota kelompok tani
Sukamakmur. Di kebunnya, pada 2004 ia menanam sengon, mahoni, jati lokal dan
jati super. Pernah ia menanam suren, tapi dihantam babi hutan. Dalam melakukan
penanaman, kadang ia melibatkan anggota lain hingga berjumlah 25 orang. “Kalau
penanaman dilakukan secara berkelompok, hasilnya dijual keluar desa, dan bagi
hasilnya tergantung siapa yang paling besar menanam modal,” ujar Zainuddin.
Selain jenis kayu, terdapat pula tanaman sela yang dihidupkan oleh petani,
seperti tanaman pisang, cokelat, dan kelapa. Namun, tanaman sela ini kesulitan
tumbuh, lantarantanaman kayu seperti Gmelina sangat banyak menyerap air.
Pemeliharaan
dilakukan hingga umur 2-3 tahun, biasanya dilakukan penggemburan dengan
menggunakan pupuk kompos. Untuk menghilangkan hama rumput cukup menggunakan
racun. Pupuk dan racun ini biayanya ditanggung sendiri. Dalam pemeliharaan ini,
terdapat aturan kelompok, dimana anggota tidak diperkenankan berternak di dalam
kebun, jika kepergok memelihara ternak akan diberi sangsi Rp. 25.000/ekor dan
jika lahan dirusak, maka ganti rugi seharga tanaman yang dirusak.
Mengenai tata
niaganya, masih terkesan rumit. Perizinan diserahkan sepenuhnya pada para
pedagang dan petani sepertinya tak tahu menahu mengenai hal ini. Sebelum
menebang, petani yang diwakili pedangang mengurus izin berupa surat pengantar
dari desa. “Administrasinya adalah uang sekitar Rp. 25.000, kadang juga rokok.
Izin tebang berlaku satu kali dengan volume 150 kubik, sedangkan untuk kelompok
300 kubik,” Ujar Zainuddin. Blangko SKAU (Surat Keterangan Asal Usul) dan Izin
penebangan Kayu Rakyat (IPKR) pun tidak ada di desa, tapi harus diambil di
kabupaten.
Bukit Harapan
Hari
kedua saya bergerak Desa Bukit Harapan, Kecamatan Gantarang, dengan ditemani
seorang polisi hutan. Perjalanan kami sekitar 45 menit dari kota Bulukumba.
Bukit Harapan terletak di kaki gunung dan merupakan daerah dataran tinggi. Tak
lama setelah tiba di rumah Thamrin HT, Ketua Kelompok Tani Ujung Lali, anggota
kelompok berdatangan satu-satu, sehingga ruang tamu dipenuhi petani yang siap
diwawancarai.
Anggota
kelompok tani ini berjumlah 119 orang, dengan lahan terdapat di dalam kawasan
Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan juga di luar kawasan atau lahan milik sendiri.
HKm sendiri mulai diterapkan pada 2010 dan tahun 2011 telah memperoleh
sertifikat. Namun, dalam penerapannya, keberhasilan HKm boleh dibilang rendah.
“Kegagalan justru disengaja warga, masyarakat membunuh sendiri bibit yang sudah
ditanam. Faktornya, masyarakat belum paham mengenai tujuan penanaman pohon.
Masyarakat menganggap, kayu-kayuan ini merusak kebunnya. Mereka menganggap kayu
yang diberikan tidak menghasilkan dan tidak bisa dijual,” ujar Ramli, Kepala
Desa Bukit Harapan.
Menurut
Ramli, banyak warga menginginkan bibit yang diberikan adalah bibit yang
kegunaannya multifungsi, seperti Gaharu, Kemiri, Cokelat, dan Karet. “Sudah
ratusan petani yang menanam karet dengan swadaya. Ada juga yang mencampurnya
dengan tanaman cengkeh, dengan perbandingan pohon bantuan dengan bibit cengkeh antara
30 : 70,” tambah Ramli.
Meski
begitu kelompok tani tetap berusaha optimal dalam mengusahakan hutan rakyat.
Menurut Thamrin, ketua kelompok, rata-rata anggota memiliki lahan di dalam
kawasan seluas 75 are, dan di luar kawasan 50 are. Lahan HKm ditanami
kebanyakan ditanami mahoni, jati lokal, kemiri, lica-lica, durian, suren dan
aren. Sedangkan pada lahan non HKm biasanya jati putih, rica-rica, mangga,
kemiri dan jati lokal. “Pohon Aren tumbuh sendiri, sementara jati lokal sudah
ada sejak Zaman Belanda,” ujar Thamrin. Bibit kawasan HKm berupa Mahoni dan
Suren, sementara untuk hutan milik, kebanyakan masih swadaya masyarakat.
Biasanya memanfaatkan bibit yang jatuh dari pohon.
Izin penebangan
untuk hutan milik melalui surat keterangan desa, tapi untuk wilayah kawasan
mesti mengurus permohonan dulu di dinas kehutanan. Petani yang menebang pohon
tanpa izin dishut sudah ada beberapa yang diproses hukum. Jika ditemukan
menebang tanpa permohonan, awalnya diperingati dulu dengan pemberian sangsi
berupa menanam beberapa pohon di sekitar lokasi tebang. “Jika ingin menebang,
anggota kelompok melapor ke kelompok, kemudian ke kepala desa, lalu kelompok
yang fasilitasi ke Dishut,” ungkap Thamrin.
Desa Kindang
Esoknya
kami ke Desa Kindang, yang merupakan atap Kabupaten Bulukumba. di desa ini
terdapat area hutan lindung, yaitu wilayah yang dirimbuni pepohonan di
tebing-tebing pegunungan wilayah Taburakang. Sehingga warga disana
diwanti-wanti untuk tidak menebang di kawasan tersebut. Tapi, di luar area
hutan lindung, terdapat juga areal lahan milik, yang rata-rata perpetani seluas
1 – 2 hektar.
Di
desa Kindang, saya berkenalan dengan Bapak Harun, ketua Kelompok Tani
‘Bawakaraeng’. Lahannya cukup luas, sekitar lima hektar yang terseber di
beberapa desa. ia menanami kebunnya dengan tanaman Jati putih, sengon, suren,
dan mahoni. Bibit ini banyak ia peroleh dari bantuan program kayu rakyat pada
1999 – 2000.
Tahun 2005,
Harun bersama kawan-kawan petani turut serta dalam program reboisasi hutan
lindung dalam bentuk Gerakan Nasional (Gernas) yang berlangsung hingga 2009.
Berlanjut hingga 2010 sebanyak 50 hektar dan 2011 sebanyak 35 hektar. Saat itu,
penanaman juga dilakukan di pinggir sungai dan lereng-lereng. “Dalam reboisasi,
hasil kayu tidak bisa ditebang, yang bisa ditebang adalah tanaman sela atau
KPTS (kopi). Tapi, kalau sudah ada izin dari dishut dengan
pertimbangan-pertimbangan tertentu, boleh menebang dengan jumlah yang sedikit,”
Ujar Harun.
Harun kembali
menjelaskan bahwa lahan kawasan sudah dikapling-kapling oleh anggota kelompok,
mereka menanam sendiri di lahan kaplingnya. Sebenarnya lahan yang dikapling itu
sudah banyak yang ditebang pohonnya, kemudian ditanami kembali. Dulu, kalau
masyarakat hendak membuat rumah mengambil kayu dari hutan lindung. “Sekarang
sudah tidak bisa lagi, tidak ada izin dalam kawasan hutan lindung. Cuma untuk
satu dua pohon biasanya ada kebijakan khusus, dengan metode tebang pilih” tutur
Harun. Bentuk izin tebang berupa surat keterangan dari pak desa.
Jika ada ijin
dari dinas, kayu yang bisa ditebang harus yang umurnya sudah 15 tahun ke atas,
dimana dalam sepuluh pohon hanya satu pohon yang bisa ditebang. Selain itu,
jika menebang satu pohon harus menanam lima pohon pengganti. Dalam Perdes juga
disebutkan denda Rp. 1,5 juta jika menebang di dalam kawasan, namun hingga kini
belum diaplikasikan. “Untuk di luar kawasan dikenakan pajak Rp. 10 ribu
perpohon yang ditebang. Dilarang menebang di pinggir sungai, di kemiringan 70
persen ke atas, sementara pembuatan pengantar sebanyak Rp. 10.000 perpohon,”
jelas Harun.
KTH
Bawakaraeng sendiri sudah beranggota 242 orang yang sudah memiliki lahan
sendiri. Namun, anggota masih banyak yang menebang di sekitar lereng. Sangsi
yang diberikan yaitu chainsaw-nya
ditangkap kemudian pemberian arahan. Pelaku lalu membuat surat pernyataan bahwa
tidak akan lagi menebang di kawasan. Setelah itu baru dilepaskan. “Mereka pun
harus menanam kembali di lokasi tebang. Jika mereka ditemukan menebang untuk
kedua kalinya, mereka baru ditangkap,” tegas bapak berumur 58 tahun ini.
Tulisan ini diperuntukkan untuk "Sulawesi Community Foundation"
3 komentar:
mohon izin copas ke http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/, trims.....
sy sudah muat ulang tulisanta ini di blog Kabupaten Bulukumba.... http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/2012/08/kayu-rakyat-mekar-di-kebun-petani.html
oke Pak..
terimakasih untuk mencopy-nya.
:D
Posting Komentar