Sulawesi
Community Foundation (SCF) sepertinya beruntung pada tiga hari itu, 17 – 19 Mei
2012. Bagaimana tidak, kegiatan share
learning bagi pendamping dan pelaku SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu)
digelar di Puntondo, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) yang rimbun dan
jauh dari kebisingan kota. Para peserta seperti menemukan hutan belantara di
antara gersang pesisir, dan menjadi tempat yang nyaman untuk refleksi dan melukiskan
pengalaman sebagai pendamping svlk selama setahun ini.
PPLH Puntondo
terletak di ujung aspal Teluk Laikang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan,
dari kota Makassar berjarak 60 kilometer dan membutuhkan waktu tempuh sekitar
dua jam setengah. Selepas melintasi pintu gerbang ala Jawa ‘Joglo’, mata kita
disegarkan dengan pesona hijau pepohonan yang tertata rapi. Jenisnya cukup
beragam, seperti Kayu jawa, pohon asam, Kelapa, akasia, pohon jarak, dan hampir
semua jenis bakau yang dikenali. Juga dikembangkan kebun sayur organik dan pembibitan
pohon dan buah-buahan. Memang, PPLH Puntondo lahir dengan misi penyelamatan
lingkungan pada 2001 lalu, dengan inisiatif sebuah LSM Asal Jerman, Hans Seidel
Foundation. Konsep pembelajaran di Puntondo meniru PPLH di Seloliman, Trawas –
Mojokerto, Jawa Timur.
Peserta tiba
pada kamis siang, 17 Mei, setelah istirahat sejenak, peserta diantar ke
bungalo-nya masing-masing. Di Puntondo terdapat enam buah bungalo serupa rumah
panggung untuk para pengunjung, dalam satu bungalo bisa dihuni 5 – 6 pengunjung.
Pembukaan berlangsung sore hari di aula utama, ruang lapang yang ditengahnya
berundak-undak ke bawah berpola teater. Peserta yang berjumlah 13 orang itu pun
melingkar dan tersebar duduk dan bersandar di lantai berundak-undak itu.
Peserta merupakan mitra SCF dari berbagai daerah, yang antara lain pendamping
Asosiasi Pengelola Kayu Rakyat (APKAR), pengelola Koperasi Hutan Jati Muna
(KHJM), Pendamping SVLK Industri Kecil Menengah (IKM) di Bulukumba, pemantau
independen industri kayu di Luwu dan Makassar, serta perwakilan Dinas
Kehutanan Bulukumba dan BPPHP Sulsel.
“Pada
tiga hari ini kita lebih fokus untuk merefleksikan kembali pengalaman kita
sebagai pendamping atau pemantau svlk. Sebenarnya saya sudah merekam cukup
banyak pengalaman teman-teman, tapi saya ingin mendengar kembali dan melihatnya
dalam bentuk sistematis berupa tulisan. Sebagus apa pun yang kita lakukan, akan
tidak akan begitu berarti jika hanya sebagian kecil yang mengetahuinya, akan
lebih baik jika pengalaman ini bisa diketahui banyak pihak lewat tulisan yang
enak di baca,” ujar Rustanto Suprapto, Direktur Eksekutif SCF, dalam kata
sambutannya.
Pelatihan menulis
genre feature ini dipandu Nurhady Sirimonok, alumnus International Institute of
Social Studies (ISS), Den haag, Belanda. Nurhady yang biasa disapa Dandy ini dikenal
sebagai salah satu peneliti dari INSIST (Indonesian Society for Social
Transformation) Yogyakarta, dan beberapa kali menerjemahkan buku asing, khususnya
buku bernuansa kebudayaan.
Tugas dandy
cukup berat, lantaran para peserta adalah mereka yang jarang atau belum
mengenal jenis tulisan feature yang lebih menekankan pada aspek deskripsi,
penggambaran suasana, karakter, dan banyak menggunakan bahasa sastra. Para
peserta terbiasa dengan jenis tulisan bernuansa ilmiah, seperti laporan, Term
of Reference (TOR) Program, dan juga artikel. Meski begitu, rona alam Puntondo
setidaknya membantu melempangkan alam imajinasi peserta.
Menulis dari Bawah
Nurhady
mengawali pelatihan dengan menawarkan sebuah model penulisan, yaitu menulis
dari bawah. Hady melihat bahwa selama ini pemberitaan di media massa sangat
bernuansa elit, dan jarang melibatkan masyarakat kecil. Sehingga, berita
menjadi ajang propaganda, hanya seputar kepentingan elit, dan mengurangi dialog
dengan rakyat.
“jika kita
menggunakan persfektif seperti ini, maka ketika meliput orang kecil, yang muncul adalah orang desa itu bodoh, tertinggal
dan tidak berdaya. Atau orang desa itu eksotik dan kekeluargaan kuat,” ucap
Nurhady. Padahal orang desa belum tentu seperti itu, orang desa hanya terbatas
informasi lantaran pemerintah tak membuka keran akses bagi mereka. Sehingga,
yang dibutuhkan adalah pendalaman kajian historis, berupa dinamika
institusional dan alamiah penyebab perbedaan akses, dan mencari relasi
kekuasaan di dalam dan di luar desa yang menyebabkan perbedaan akses terhadap
modal.
Model ‘penulisan
dari bawah’ ini dengan memunculkan tokoh dari kalangan warga biasa, dengan isu
rakyat kecil, dengan latar wilayah masyarakat seperti pesisir, sekitar hutan,
pulau, dan dengan narasi atau gaya bertutur ala rakyat. Ini memungkinkan
terjadinya dialog dengan para elit, melalui tulisan sanggahan, koreksi,
klarifikasi, apresiasi, terhadap kebijakan yang sementara berlangsung,
pernyataan publik, rencana program dan implementasinya.
Diskusi
berlangsung hingga dini hari, dan saat itu disepakati masing-masing peserta
menuliskan pengalaman pendampingan dan pemantauannya dalam bentuk tulisan
feature. Tulisan peserta pun akan dikoreksi esok harinya.
Policy Brief
Pada lokatulis
ini, beberapa peserta dituntun untuk menulis policy brief atau kebijakan
singkat, tapi hanya ditujukan bagi para pemangku kebijakan, dalam hal ini
perwakilan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bulukumba dan BPPHP Sulsel.
Policy brief bertujuan untuk memberikan gambaran ringkas evaluasi pilihan
kebijakan mengenai isu tertentu untuk pengambil kebijakan tertentu. Memuat
rangkuman ringkas tentang sebuah isu, biasanya berbentuk laporan sistematis dan
bernuansa ilmiah.
“Pengambil
kebijakan butuh mengambil keputusan praktis di bawah tekanan waktu, policy
brief untuk meyakinkan sasaran (pengambil kebijakan) mengenai pentingnya soal
yang ditulis dan perlunya menerapkan alternatif tindakan yang ditawarkan,” ujar
Dandy. Karena itu, policy brief perlu memaparkan bukti-bukti dan argumentasi
yang kuat dan berasal dari sebuah penelitian. Rekomendasi yang disodorkan pun
sedapat mungkin dapat dilaksanakan dengan tepat.
Mengoreksi Tulisan Teman
Setelah
merampungkan tulisannya, siang hari kedua itu peserta kembali berkumpul di
aula. Kali itu beberapa peserta menampilkan tulisannya untuk dikoreksi oleh
Nurhady. Pertama tulisan Mutiah, ia menuliskan pengalamannya sebagai pemantau
di salah satu industri kayu di Makassar. Menurut Nurhady, tulisan Mutiah masih
berbentuk laporan, belum menggambarkan suasana dengan jelas, dan kadang
melakukan penilaian langsung pada objek tulisan, tanpa memaparkan suasana dan situasi,
serta masih melakukan pemborosan kata atau tidak menggunakan kalimat efektif.
Tulisan
lain yang sempat dikoreksi yaitu milik Emil Sinohaji dan Iswar, tulisan Emil menceritakan
proses pendampingan SVLK untuk industri kecil di Bulukumba. Tampak pembukaannya
kurang menarik, karena diawali dengan defenisi, sehingga seperti menulis laporan.
Struktur penulisan lebih cocok ke penulisan artikel. Sedangkan tulisan Iswar
sudah berupaya untuk menggambarkan suasana dan proses perjalanan pendampingan
di bulukumba. tapi penggunaan kalimat belum efektif.
Agenda
malam, tulisan para peserta kembali dikoreksi, tapi kali itu yang mengoreksi
adalah teman sesama peserta. Metode ini cukup efektif untuk membangkitkan
semangat peserta, karena telah diberikan kesempatan untuk mengevaluasi tulisan
milik temannya. Tampaknya, secara tidak langsung peserta sudah mulai paham
dengan jenis tulisan feature, yang tulisannya lebih pada penggambaran aktivitas
dengan cerita yang mengalir.
Esok
harinya, Sabtu siang, lokatulis akhirnya ditutup setelah masing-masing peserta
mengungkapkan pesan dan kesannya. Beberapa peserta merasa senang dengan
pelatihan ini. “Kami yang berada di lingkungan birokrat, terbiasa dengan
pembelajaran yang bersifat formal dan kaku. Dengan metode pembelajaran seperti
ini ternyata bisa lebih mudah dipahami. Terimakasih pada SCF telah melibatkan
kami, soalnya di kantor Kami biasanya kerja laporan saja,” ujar Sulkifli,
seorang peserta yang berasal dari Dishut Kehutanan Bulukumba.
Sebelum
balik ke Makassar, Puntondo memberi kesan terakhir, berupa hidangan santap
siang dengan menu Kepiting Laut. Aroma kepiting seperti masih tertinggal di
ujung lidah saat perjalanan pulang ke Makassar.
0 komentar:
Posting Komentar