Pulau Sulawesi
memiliki luas 187.882 kilometer persegi dengan garis pantai sepanjang kurang
lebih 6000 km. Secara geologi, pulau ini unik
karena dalam kurung waktu satu juta tahun tidak pernah menjadi bagian dari
daratan besar manapun, seperti Pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan yang pernah
bersatu dengan Benua Asia, serta Pulau Papua yang juga pernah bersatu dengan
Benua Australia pada jaman es, sekitar 10.000 tahun yang lalu. Lantaran
terisolasi dalam jangka waktu lama sehingga memungkinkan terdapatnya berbagai
spesies unik, sehingga tidak mengherankan jika bioregion ini memiliki tingkat
endemisme organisme yang sangat tinggi.
Secara
administratif, Sulawesi memiliki enam provinsi yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sulawesi
Tengah, Gorontalo dan Sulawesi Barat. Sulawesi Tengah memiliki wilayah paling
luas sebesar 63.678 km², serta sulawesi barat dengan luas wilayah terkecil
sebesar 16.791 km². Untuk ekosistem hutan, luas hutan di Sulawesi berada pada
urutan ke empat di Indonesia, setelah Papua, Kalimantan dan Sumatera. Dari
perbandingan data tahun 1993 dengan tahun 2001 tampak bahwa hutan konservasi,
hutan lindung dan hutan produksi tetap (HP) mengalami pertambahan luas. Hutan konservasi
luasnya 863.145 ha, hutan lindung 362.041 ha, serta hutan produksi 3417 ha. Sementara
penyusutan terjadi pada hutan produksi terbatas (HPT) dan hutan produksi yang
dapat dikonversi (HPK), berturut-turut menjadi 1.400.140 ha dan 893.151 ha.
Dalam kurun waktu 1993 – 2001 terjadi penyusutan hutan Sulawesi sekitar 1 juta
hektar.
Dari luas hutan itu sebagian besar hutan di Sulawesi
merupakan hutan dataran rendah, yaitu seluas 8.721.244,62 ha yang tersebar di
Sulawesi Tengah (3.172.740,41 ha), Sulawesi Tenggara (2.298.944,68 ha),
Sulawesi Selatan (1.900.308,42 ha) serta Sulawesi Utara dan Gorontalo
(1.349.251,11 ha). Sementara untuk hutan dataran tinggi yang terluas ditemukan
di Sulawesi Selatan (1.038.046,97 ha) dan Sulawesi Tengah (1.035.988,43 ha).
Hutan Sulawesi memiliki tingkat keanekaragaman hayati flora
yang tinggi. Taman nasional Lore Lindu memiliki spesies pohon yang berasal dari
daerah beriklim sedang, seperti pohon ek, jambu mente dan salam. Dataran rendah
di kawasan ini meliputi 10% dari luas kawasannya, yaitu berupa hutan hujan
dataran rendah. Sementara itu pada ketinggian lebih dari 2000 m vegetasi yang
ada adalah dari jenis subalpin.
Kawasan TN Dumoga Bone didominasi oleh spesies flora Meranti
(Shorea spp), Benuang (Octomeles sumatrana), Weru (Albizia procera), kayu hitam (Diospyros celebica), Matoa (Pometia), Aga (Ficus variegata), Aras (Duabanga
moluccana), berbagai jenis anggrek dan flora lainnya. Sembilan puluh persen
taman nasional ini masih tertutup hutan hujan dataran rendah dan hutan
pegunungan. Di samping itu, habitat lainnya adalah tanah rawa sekitar
Kosinggolan, baik untuk tempat mengamati burung, dan hutan hujan sekunder di
perbatasan taman nasional ini.
Habitat yang ada di CA Tangkoko Batuangus dan Dua Sodara
bervariasi. Lokasi cagar alam ini berupa hutan yang relatif muda dan terdiri
dari berbagai tipe komunitas tumbuhan khas Sulawesi Utara, mulai dari dataran
rendah ke pegunungan dan hutan lumut. Sementara CA Manembo-nembo terbagi
menjadi dua. Pada ketinggian yang lebih landai (50 – 300 m) terdapat tanaman
palem dan pohon berkanopi lebar, serta berbagai spesies pohon di DAS. Pada
ketinggian lebih tinggi (>300 m), tumbuh vegetasi rotan. Menembo-nembo
memiliki banyak hutan perawan yang lebih dewasa dibandingkan dengan yang
terdapat di CA Tatongko – Batuangus.
Selain flora, hutan Sulawesi memiliki spesies satwa endemik,
seperti Anoa dataran rendah (Bubalus
depressicornis), Babirusa tualangio (Babyrousa
babyrussa), dan Musang sulawesi (Macrogalidia
musschenbroekii), Maleo senkawor (Macrocephalon maleo) di TN Rawa Aopa
Watumohae dan TWA Pulau Dolongan. Di TN Lore Lindu terdapat 40 spesies mamalia
Sulawesi, 27 spesies di antaranya adalah endemik (67,5 %), dan sebagian adalah
satwa yang dilindungi dan langka. Dari jumlah itu, spesies yang terbesar adalah
dari famili Muridae (tikus-tikusan) sekitar 22 spesies, disusul Sciuridae
(Bajing) sekitar 8 spesies. Mamalia yang terbesar adalah anoa. Hampir semua
satwa langka Sulawesi dan 83% burung-burung langka terdapat di taman nasional
ini.
Sementara itu, anoa dataran rendah (Bubulus depressicornis) dan Anoa Gunung (Bubulus quarlesi), Kera Sulawesi (Macaca nigrescens), Bubutu mehmu (Phalanger ursinus), Krabuku tangkasi (Tarsius spectrum), banyak terdapat di TN Bogani Nani Wartabone,
yang merupakan taman nasional yang kaya di Sulawesi. Hampir semua spesies flora
dan fauna langka Sulawesi jjuga dapat ditemukan di dalam taman nasional ini.
Populasi burung Nuri talaud, Cekakak talaud, betet-betet filipina, Pergam
kelabu, kupu-kupu ekor panjang dan kupu-kupu raja yang endemik, dan buaya muara
terdapat di Taman Buru Karakelang. Taman berburu ini ditetapkan pula untuk
melindungi populasi hewan introduksi yaitu Banteng dan Babi hutan. Sementara
itu, Monyet yaki (Macaca nigra) masih
dapat ditemukan di Pulau Manado Tua TN Bunaken yang ditumbuhi hutan hujan
tropis.
Deforestrasi
Luas hutan Sulawesi pada tahun 1997 sebesar 7.950.900 ha,
padahal pada tahun 1985 masih sebesar 11.192.950 ha, atau menurun sebesar 29 %.
FWI & GFW tahun 2001 memperkirakan bahwa Sulawesi mengalami kehilangan
luasan hutan sebesar 3.242.050 ha atau rata-rata 270.171 ha/tahun. Faktor utama
yang memicu terjadinya deforestrasi di Sulawesi sebagian besar berasal dari
sebaran penguasaan hutan melalui HPH, HPHTI, IPK dan pembalakan kawasan hutan
oleh oknum-oknum tertentu. Pada tahun 2002 pemegang konsensi HPH yang aktif di
wilayah Sulawesi sebanyak 31 unit dengan total wilayah konsesi seluas 2.236.
431 ha atau mencapai sekitar 24 % dari total luas hutan sulawesi.
Kecenderungan akan meningkatnya kerusakan hutan pada masa
yang akan datang sangat dimungkinkan karena belum terbentuknya berbagai
perangkat dan aturan turunan dari kebijakan desentralisasi. Pasca reformasi
laju kerusakan hutan kian besar dan mencapai besaran yang demikian kritis
(Untung Iskandar dan Agung Nugraha, 2004). karena faktanya adalah di hampir
semua daerah (tidak terlepas di sulawesi) desentralisasi di pandang sebagai
peluang untuk melakukan eksploitasi sumberdaya hutan/alam guna mengejar
peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ironisnya pada saat yang sama
kesepamahaman dan kapasitas para pihak serta perangkat kelembagaan di daerah
belum siap untuk mengelola sumberdaya hutan secara adil dan lestari dengan
melibatkan stakeholder yang lebih luas khususnya masyarakat lokal.
Sumber: Indonesian Biodiversity Startegy
and Action Plan 2003 – 2030
Draf Laporan Akhir
Multistakeholder forestry programme (MFP) 2006 - 2008
0 komentar:
Posting Komentar