Hutan di
Sulawesi masih terus menghadapi tekanan kebakaran hutan, baik yang disengaja
atau alami, akibat utama dari pemberian konsesi pertambangan jangka panjang
kepada perusahaan multinasional di dalam kawasan konservasi di Sulawesi Utara
serta di perbatasan Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. Perubahan
tata guna lahan ini mempercepat laju kehilangan kawasan hutan lindung sulawesi.
Pada akhirnya akan mengancam kelestarian ekosistem dan keanekaragaman hayati. Bahkan
menurut perkiraan Bank Dunia (Holmes 2002), kawasan hutan daratan rendah
Sulawesi sebenarnya telah habis tahun 2000 lalu.
Begitu juga pada ekosistem pesisir dan laut. Konversi
lahan mangrove yang tidak terkendali, kegiatan reklamasi pantai di kota-kota
besar, polusi limbah dan minyak, eksploitasi yang berlebihan dan perdagangan ekspor
organisme yang berkaitan dengan ekosistem terumbu karang dan lamun, telah
meningkatkan kerusakan fungsi ekologi laut dan pesisir sulawesi. Masalah yang
terkait antara lain erosi, abrasi pantai, sedimentasi, serta ancaman kepunahan
beberapa spesies komersial dan yang dilindungi.
Misalnya, di pantai Tokke Kecamatan Pitumpanua, sekitar
50 km ke arah utara ibukota Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, telah mengalami
erosi pantai dengan tingkat abrasi 30 – 50 m per tahun selama 12 tahun
terakhir. Abrasi ini sekarang telah mencapai antara 400 – 1000 m ke arah
daratan. Ini terjadi akibat pembabatan hutan mangrove oleh penduduk sebagai
tanggapan atas program pengembangan budidaya tambak pada tahun 1982/1983.
Dampak konversi adalah kerugian ekologis dan ekonomis
karena fungsi kawasan mangrove sebagai pelindung pantai, intrusi air laut,
pemijahan dan perkembangbiakan biota pesisir, termasuk berbagai jenis burung
(Carter 1998) tidak dapat berlangsung lagi. Selanjutnya, walaupun belum ada
data, kegiatan pembongkaran karang untuk mendapatkan abalon, rotan laut, bambu
laut dan pengangkatan karang hidup merupakan ancaman serius bagi kelestarian
terumbu karang. Hasil penelitian Mathews dkk. (2002b) memperkirakan adanya
hubungan antara pengembangan budidaya secara besar-besaran dan kerusakan
mangrove di pesisir dengan penurunan hasil tangkapan udang alami (Panaeus marguiensis) di Sulawesi
Selatan.
Pada kurun waktu 1985 – 1987 hasil tangkapan alami
mencapai 8000 ton, tetapi pada tahun 1993 menurun tajam hingga kurang dari 3900
ton, walaupun upaya penangkapan sudah ditingkatkan. Pada saat yang sama
konversi mangrove menjadi lahan tambak meningkat drastis seiring dengan
peningkatan produksi hasil budidaya dari 39.000 ton tahun 1985 menjadi 47.000
ton tahun 1987 dan terus meningkat hingga tahun 1993.
Untuk ekosistem lahan basah, penyebab kerusakan ekosistem
danau mencakup pendangkalan dan penyempitan alur air oleh sedimentasi,
pertumbuhan tanaman air yang tidak terkontrol, serta polusi dan pencemaran
limbah pertanian dan domestik. Akibatnya, selain sungai dan danau menjadi mati,
yang masih ada pun dalam hal ini produktivitas dan populasi flora dan fauna,
termasuk jenis endemik, mengalami penurunan. Sebagai contoh, sedimentasi yang
menyebabkan kedangkalan Danau Tempe berasal dari aktivitas di hulu
sungai-sungai serta aktivitas masyarakat sekitar danau. Menurut berbagai hasil
penelitian, muatan sedimen yang begitu tinggi di perairan mengancam keberadaan
dan kelangsungan hidup flora dan fauna. Pendangkalan dilaporkan sekitar 15 – 30
cm pertahun dengan muatan sedimen 518.000 juta m3/tahun.
Danau Tondano saat ini memiliki kedalaman rata-rata 12 m
dengan luas sekitar 4628 ha, sangat berbeda dibandingkan kondisi tahun 1934
yang luasnya 5622 ha dan kedalaman rata-rata 27 meter. Danau ini mempunyai 25
saluran masuk dan hanya satu saluran keluar, yaitu Sungai Tondano. Rata-rata
laju erosi danau ini 62,33 ton/ha/tahun, dan laju sedimentasi sekitar 135.746
ton/tahun di kawasan pengolahan lahan yang tidak intensif, sedangkan di kawasan
perkebunan cengkeh laju erosi rata-rata 126,72 ton/ha/tahun dengan laju
sedimentasi sekitar 176.857 ton/tahun.
Danau Poso yang terletak di Sulawesi Tengah memiliki luas
32.324 ha. Danau ini mengalami erosi karena kegiatan perambahan hutan oleh
masyarakat untuk perluasan areal pertanian/perkebunan dan pemukiman. Kegiatan
pertanian/perkebunan di kawasan hutan, khususnya daerah berlereng curam,
mempercepat proses erosi.
Masalah yang dihadapi ekosistem pertanian adalah
pengembangan pertanian dan perkebunan, khususnya introduksi berbagai bahan
kimia anorganik yang dapat menimbulkan berbagai dampak negatif seperti
degradasi kualitas lahan. Penggunaan pestisida dan pupuk sering berdampak
negatif pada keanekaragaman hayati karena adanya kecendrungan peningkatan
resistensi organisme jasad pengganggu tanaman, predator yang bermanfaat menjadi
punah dan kesuburan tanah menurun. Hasil pemantauan yang dilakukan di Kabupaten
Toraja, Sulawesi Selatan pada tahun 2001, menunjukkan bahwa limbah pestisida
dan pupuk anorganik dari kegiatan pertanian dan perkebunan masuk ke aliran sungai,
permukaan tanah dan pemukiman berturut-turut mencapai 16,77 m3 dan
7,63 ton setiap harinya (BAPEDALDA Kabupaten Tator 2002).
Konversi lahan pertanian menjadi lahan pemukiman dan
industri akhir-akhir ini terus meningkat seiring dengan peningkatan kebutuhan
lahan oleh masyarakat dan industri. Kegiatan konversi ini juga banyak
dipengaruhi oleh program peningkatan produksi pertanian yang masih belum
efektif dalam meningkatkan kesejahteraan petani. Pengembangan perkebunan pola
inti-plasma lebih mendahulukan kepentingan inti yang notabene adalah usaha
besar, sementara nasib petani plasma kebanyakan hanya sebagai sapi perahan.
Ancaman langsung terhadap integritas ekosistem karst
Maros – Pangkep semakin tinggi, baik dalam hal intensitas, luas dan tingkat
tekanan. Ancaman langsung ini terutama berasal dari berbagai aktivitas manusia
yang terus berkembang di dalam kawasan ini. Sumber ancaman langsung yang
pertama berasal dari kegiatan pertambangan. Ada dua industri besar yang
berlokasi di dalam dan di sekitar kawasan karst Maros – Pangkep, yaitu industri
Semen PT Semen Tonasa dan PT Semen Bosowa. Di samping itu, berdasarkan data PSL
– Unhas (1997) sampai sekarang telah diterbitkan 10 SIPD (Surat Izin
Penambangan Daerah). Sumber ancaman potensial dari kedua kegiatan tersebut
adalah eksploitasi batu gamping yang mengubah bentang alam, merusak sistem
hidrologi karst, meningkatkan pencemaran suara, getaran, dan limbah
(cair/padat) di sekitar kawasan. Selain itu vandalisme dan pengrusakan juga
merupakan dinding gua oleh para pengunjung juga merupakan masalah yang harus
dihadapi.
(Sumber: Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan 2003 – 2020)
1 komentar - Skip ke Kotak Komentar
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut
Posting Komentar