Sebuah kota
yang riang sekaligus miris, tempat berpapasan antara kemewahan dan kejorokan.
Rio de Janeiro, Brasil, kota orang miskin tinggal di Favela di lereng gunung,
yang memandang ke kaum kaya di kantong-kantong tepi pantai Copacabana dan
Ipanemba. Di lereng bukit itu bergumul hunian yang terbuat dari batako, kayu,
kaleng dan kardus, jika memandang dari lereng menuju dataran rendah ke arah
pantai, tampak taburan cahaya di malam hari dengan bangunan-bangunan kokoh
mencakar langit. Entah apa nama yang pas untuk kondisi semacam ini? Mungkinkah Paulo
Preire benar dengan menyebutnya dengan istilah dehumanisasi?
Perjalanan
pemikiran tetap berlangsung hingga detik ini, kalau menurut Gramci pertarungan
abad ini adalah pertarungan ideologi (Hegemoni), dimana masing-masing paradigma
berkelabat untuk merebut pengaruh. Yang menang adalah paradigma yang berhasil
menggalang dukungan paling banyak, tapi belum tentu paradigma itu paling benar.
Memandang Rio de Jeneiro kita kembali memandang peradaban yang diwarnai oleh
ideologi, yang tentu selalu menggunakan pendekatan-pendekatan/metodelogi.
Jika
membahas lebih lanjut, akan menyerempet ke pembahasan teori pembangunan versus
teori kritis. Namun yang menang saat ini adalah paradigma pembangunan, dimana
manusia dijadikan objek penelitian, begitu pula dengan mahluk yang disebut ‘kemiskinan’.
Sehingga, memandang lereng-lereng, anak-anak jalanan yang kucel, rumah-rumah
kumuh, sekadar memandang dan mungkin akan dianalisis, tapi langkah lebih lanjut
untuk melibatkan mereka dalam perubahan sosial tidak ditempuh. Kita sibuk
membuat rancangan, metode atau cara, namun selesai dengan kesimpulan tanpa
menarik akar masalah yang selalu bersinggungan dengan fenomena politik dan
kebudayaan (struktur/sistem). Persoalan tidak serta-merta menyalahkan objek
karena mereka malas atau tak punya keterampilan, tapi lebih jauh mempertanyakan
kenapa sistem begitu buruk sehingga tidak memberi pada mereka kesempatan atau
akses untuk pemenuhan sumberdaya. Atau kesempatan untuk memandang mereka
sebagai manusia yang mestinya merdeka dari hak—hak dasar, seperti hak
memperoleh pendidikan dan kesehatan yang layak.
Abad
ini, Rio de Jeneiro punya sisi lain, yaitu sisi perubahan iklim, yang katanya
menggadang-gadang isu pembangunan berkelanjutan. Tahun 1992 tema pembangunan
berkelanjutan di deklarasikan di Rio de Jeneiro, dimana perwakilan aktivis,
NGO, dan pemerintah di dunia berkumpul untuk merumuskan langkah-langkah menuju
dunia yang lebih sejuk. Namun, apa yang terjadi sejak saat itu? 20 persen dari
warga bumi atau 1,4 milyar orang tetap hidup dengan penghasilan kurang dari
1,25 dollar AS sehari dan satu miliar warga kelaparan setiap harinya. Belum lagi
berkenaan dengan lingkungan, emisi gas rumah kaca terus meningkat hingga 36
persen diatas angka tahun 1992, dimana 80 persen dihasilkan oleh 19 negara.
Data
lain menyebutkan (data opini KOMPAS 21 Juni/Khalisah Khalid), konsentrasi
karbon dioksida di atmosfir meningkat 9 persen, bersamaan dengan kenaikan suhu
global 0,4 derajat celsius. Kawasan hutan berkurang 300 juta hektar atau
sebesar negara Argentina, termasuk hilangnya 3 persen kawasan mangrove dunia.
Dari
data-data di atas, boleh disimpulkan bahwa apa yang berlangsung dari hubungan
diplomatik antar negara dalam menyepakati hidup lebih baik itu ternyata gagal. Tahun
2012 akan diselenggarakan lagi Konfrensi Rio+20 di Rio de Jeneiro, dengan
tantangan yang jauh lebih kompleks. Data tahun 2010 penduduk dunia sudah berjumlah 7 miliar dan
tahun 2050 akan mencapai 9 miliar. Lebih dari setengah penduduk dunia tinggal
perkotaan yang krisis air, dimana stok air dalam tanah berkurang dua kali lipat
sejak tahun 1960. Sehingga, 80 persen penduduk dunia hidup di wilayah rawan
air. (data opini kompas, 21 Juni 2012).
Jika
dideret lagi, masih begitu banyak data lain yang menunjukkan bahwa
pertemuan-pertemuan ini tidak begitu berpengaruh merubah dunia artian bagaiman
hidup berdampingan lebih bijak dengan alam. Indonesia salah satunya, yang dari
segi kebiasaan saja sudah demikian tidak menghargai alam, orang Indonesia gemar
membuang sampah sembarangan, menebang hutan (korporasi), penggunaan za-zat
berbahaya seperti pupuk kimia dan pestisida.
Mungkin saya
sedikit culas, tapi inilah kenyataan. Yang menjadi korban justru orang-orang
yang terlibat penuh dalam jalannya pembangunan, seperti kelompok petani. Mereka
selalu kalah baik oleh alam, manusia kota, maupun oleh ilmu pengetahuan. Mereka
dieksploitasi, diarahkan, dirundingkan, dianalsis agar bagaimana ekonomi dunia
terputar, dengan keuntungan mengalir ke negara-negara maju, sementara hasil
jerih payah mereka tidak begitu dihargai.
Akhirnya,
bagaimana membuat dunia lebih baik? Apakah melalui pendekatan pembangunan,
pemerataan, kemandirian, ataukah pendekatan budaya kemudian membiarkan
masyarakat itu maju sendiri entah sampai kapan.
Dapatkah Indonesia
mencontoh Bolivia dalam hal konsep “mother earth”, sebuah konsep pembangunan
yang menyelaraskan hubungan manusia dengan alam? Mungkinkah negeri kita belajar
dari Finlandia yang dalam penelitian Lembaga Riset Nirlaba (The Fund for Peace/FFP)
merupakan negara paling berhasil karena kehidupan politik, ekonomi, supremasi
hukum, perlindungan hak asasi, dan pelayanan publik sudah betul-betul terjamin.
Atau mungkinkah
kita bisa optimis terhadap pertemuan Rio+20 2012 itu? Kita sama-sama tahu, atau
mungkin sama-sama tidak tahu..
Kamis, 21 Juni 2012
0 komentar:
Posting Komentar