Saya
mengenalnya beberapa tahun silam, sekitar tahun 2006, tak lama setelah
bergabung di koran kampus identitas unhas. Alwy senang berkumpul, begitu juga
kami, wartawan kampus. Setiap ia melintas di depan rumah kecil, kami pasti
memanggilnya untuk ngobrol dengan ditemani kopi dan beberapa bungkus rokok. ia
betah berlama-lama untuk meladeni kami yang selalu kebingungan dengan
kata-katanya. Bahkan, dalam sekali duduk itu, ia bisa dua tiga kali beli
sebungkus rokok.
Kesan
mendalam setiap bertemu dengan Alwy yaitu kata-katanya yang bagai mantra. Bagi saya
yang masih miskin teori, ungkapan-ungkapannya begitu memikat dan penuh misteri.
Saya selalu kesulitan untuk mengaitkan satu kata dengan kata lainnya. Seperti ‘kata-kata
juga konstitusi’, ‘narsis sebagai bentuk pengakuan sekaligus jebakan’, ‘transformasi
pemikiran marx’, ‘analogi dan logis dalam tulisan’, ‘jejak-jejak diri dalam
tulisan’, ‘rasa marah pada masa lalu, pengambilalihan kesadaran oleh bahasa
ayah’, ‘bahasa lantai dan bahasa langit’, ‘politik sehari-hari dan politik
musiman’, ‘prasangka-prasangka komunikasi’, hingga yang belakangan-belakangan
ini seperti ‘komunikasi itu melingkar’, ‘gender itu sepadan bukan kesetaraan’
dan ‘bahasa sebagai bentuk penyembunyian fakta-fakta’.
Kalau
dihitung-hitung, sudah begitu banyak pengetahuan baru yang kami peroleh dari
Pak Alwy, yang secara tak langsung mempengaruhi cara dan logika berfikir kami. Saya
senang dengan tambahan-tambahan pengetahuan, yang mungkin sudah sulit diperoleh
jika hanya menelusuri buku dan berbincang dengan orang sepadan. Yang paling
menarik adalah rangkaian atau susunan pengetahuan yang ia titipkan pada kami,
seperti : struktur kesadaran, taksonomi bertanya, taksonomi bloom, kertas
posisi, etnopedagogis, dan juga etnosains. Namun, ilmu-ilmu ini masih perlu
dieksplorasi lagi dan harus dicarikan bentuk nyatanya.
Kamis
malam, 21 Juni 2012, kami berkumpul lagi, bersama Kak Ari, Sasli, Rahmat, dan
Yuyun. Beberapa hal menarik berhasil saya simpan, diantaranya tentang ilmu
komunikasi. Katanya, ilmu komunikasi dasarnya adalah bahasa dan pengetahuan,
yang jika diterapkan akan membentuk pola lingkaran. Sehingga dalam komunikasi
kita kesulitan untuk menatanya secara gradual, tapi akan selalu dibarengi
dengan umpan balik, yang memuat unsur masa lalu, masa kini, konsep, dan mungkin
masa depan.
Menurutnya,
kata-kata itu selalu berwajah ganda. Ketika kita menunjuk bahwa benda itu
merah, dalam kepala kita sudah pasti ada warna-warna lain, sehingga kata-kata
yang muncul tak lain adalah bentuk perbandingan dengan bangunan atau harta
pengetahuan yang ada dalam memori kita. Sehingga, untuk mengetahui bangunan
memori seseorang, kita dituntut untuk bersabar mendengarkan, apa maksud dibalik
kata-katanya. Sama halnya dengan tulisan. Setiap tulisan yang terbit, saya
pikir belum mewakili pengetahuan yang penulis miliki. Atau penulis punya cara
untuk menyelipkan makna tertentu dari setiap kata-katanya. Ilmu itu bisa
ditelusuri dengan pendekatan semiotika.
Berikutnya
adalah tentang gender, Pak Alwy memandang konsep gender dengan pola dua skala. Dimana
terdapat 4 ruang yang dibentuk oleh garis skala vertikal ‘sangat laki-laki’
menuju ‘kurang laki-laki’ yang dipotong garis melintang horisontal ‘sangat perempuan’
dan kurang perempuan’. Ruang pertama yaitu perpaduan sangat laki-laki dan
sangat perempuan, yang menghasilkan sifat atau karakter androgin. Perpaduan sangat
laki-laki dan kurang perempuan disebut macho, perpaduan sangat perempuan dan
kurang laki-laki disebut lady, dan perpaduan kurang perempuan dan kurang
laki-laki disebut amorf atau tanpa bentuk.
Yang
bisa menjadi pemimpin adalah tipikal pertama, yaitu androgin, baik itu
laki-laki maupun perempuan. Kalau dia laki-laki, dipastikan akan mampu
mendengarkan dan menghargai perempuan dan kalau dia perempuan akan mampu
berdebat selayaknya laki-laki. Perempuan tipikal androgin juga berpikiran
rasional dan teguh, pendirian, dan bisa mempengaruhi kawan-kawannya. Sehingga,
konsep gender yang tepat adalah bagaimana menghasilkan sebanyak-banyaknya perempuan
dan laki-laki tipikal androgin di masyarakat. Semakin banyak androgin, semakin
banyak calon pemimpin.
Sayangnya, kenyataan memperlihatkan bahwa banyak perempuan androgin ketika telah menikah tiba-tiba menjadi lady, dimana ia tersembunyi di dalam rumah dan menjadi anonim. Kebudayaan juga menghendaki perempuan menjadi ‘lady’, yaitu perempuan yang lembut, taat pada suami, dan lebih baik mengurusi keluarga saja.
Sayangnya, kenyataan memperlihatkan bahwa banyak perempuan androgin ketika telah menikah tiba-tiba menjadi lady, dimana ia tersembunyi di dalam rumah dan menjadi anonim. Kebudayaan juga menghendaki perempuan menjadi ‘lady’, yaitu perempuan yang lembut, taat pada suami, dan lebih baik mengurusi keluarga saja.
Macho
dalam hal ini ternyata banyak disalahpahami orang. mungkin dalam hayalan orang
kebanyakan, macho adalah pria yang berani, tampan dan terlihat seksi. Tapi,
dalam konteks dua skala diatas, macho tak lain adalah pria yang egois, hanya
mementingkan diri sendiri, serta tak sudi mengangkat harkat dan martabat
perempuan.
Hikmah lain yang diperoleh malam itu yaitu tentang konsep etnopedagogis. Saya membayangkan bagaimana jika etnopedagogis itu betul-betul disusun dan bisa diterapkan untuk pemberdayaan masyarakat lokal. Bagaimana rumus etnopedagogis, apakah berbeda dengan rumus struktur pengetahuan/taksonomi bloom yang selama ini diterapkan di kampus? Komposisi taksonomi bloom berbentuk piramida, dengan tingkatan-tingkatan, yang dimulai dari rasa tahu, mengerti, aplikasi, konsepsi, analitis dan evaluasi. Konsep ini sepenuhnya mendorong peningkatan kompetensi seseorang dan kalau mau dikata masih miskin nilai. Sementara, bagaimana bentuk pengetahuan lokal yang tanpa fakultas dan tanpa kurikulum, apakah bentuknya seperti piramida juga atau melingkat atau seperti apa? Kenapa anak-anak Kajang yang tidak pernah menempuh sekolah formal sangat mahir bertani, punya nilai dan sangat berkarakter? Bagaimana cara mengevaluasi pengetahuan mereka?
Apakah pendekatan taksonomi bertanya bisa menyelesaikan problem etnopedagogis ini? Misalnya dengan mempertanyakan konteks (when, where, who), pengetahuan (what, how), dan Nilai/sikap (why). Menempatkan modus pengetahuannya diwilayah problem dan di wilayah solusi. Apakah itu cukup?
Mungkin salah satu penyebab kegagalan program pemberdayaan yang dilakukan pemerintah ataupun LSM karena mereka tidak memahami latarbelakang pandangan dunia etnik yang dibina. Mereka memaksakan konsep formal di kota untuk diterapkan di pedesaan. Mungkin dengan adanya etnopedagogis atau ditemukannya kelak, langkah-langkah yang ditempuh bisa lebih bijak dan sesuai dengan pola pendidikan masyarakat setempat.
Hikmah lain yang diperoleh malam itu yaitu tentang konsep etnopedagogis. Saya membayangkan bagaimana jika etnopedagogis itu betul-betul disusun dan bisa diterapkan untuk pemberdayaan masyarakat lokal. Bagaimana rumus etnopedagogis, apakah berbeda dengan rumus struktur pengetahuan/taksonomi bloom yang selama ini diterapkan di kampus? Komposisi taksonomi bloom berbentuk piramida, dengan tingkatan-tingkatan, yang dimulai dari rasa tahu, mengerti, aplikasi, konsepsi, analitis dan evaluasi. Konsep ini sepenuhnya mendorong peningkatan kompetensi seseorang dan kalau mau dikata masih miskin nilai. Sementara, bagaimana bentuk pengetahuan lokal yang tanpa fakultas dan tanpa kurikulum, apakah bentuknya seperti piramida juga atau melingkat atau seperti apa? Kenapa anak-anak Kajang yang tidak pernah menempuh sekolah formal sangat mahir bertani, punya nilai dan sangat berkarakter? Bagaimana cara mengevaluasi pengetahuan mereka?
Apakah pendekatan taksonomi bertanya bisa menyelesaikan problem etnopedagogis ini? Misalnya dengan mempertanyakan konteks (when, where, who), pengetahuan (what, how), dan Nilai/sikap (why). Menempatkan modus pengetahuannya diwilayah problem dan di wilayah solusi. Apakah itu cukup?
Mungkin salah satu penyebab kegagalan program pemberdayaan yang dilakukan pemerintah ataupun LSM karena mereka tidak memahami latarbelakang pandangan dunia etnik yang dibina. Mereka memaksakan konsep formal di kota untuk diterapkan di pedesaan. Mungkin dengan adanya etnopedagogis atau ditemukannya kelak, langkah-langkah yang ditempuh bisa lebih bijak dan sesuai dengan pola pendidikan masyarakat setempat.
Malam
itu ditutup dengan perbincangan sederhana, tentang pemimpin universitas yang
juga telah menjadi pemimpin perusahaan. Kita pun dibuat bingung dengan masa
depan kampus, apakah kampus ini hanya sekadar lumbung untuk menimbun atau
sebagai media berfikir? berfikir tentang masa depan, kondisi-kondisi, masa lalu
dan mungkin sebagai refleksi atas pristiwa-peristiwa saat ini.
Jumat, 22 Juni 2012
0 komentar:
Posting Komentar