Ahad, 8 Juli 2012, Kak Taqwim,
kalau boleh saya sebut aktivis bersedia berbagi dengan komunitas Mammiritable.
Kala itu ia dengan legowo mengutarakan prinsip-prinsip yang menurutnya penting
untuk menjamin kelangsungan hidup bersama. Dalam hidup memang sesuatu yang
tidak diinginkan kadang terjadi, misalnya muncul konflik kepentingan antar
berbagai pihak, atau ada pihak tertentu yang mendominasi, mengaku paling benar
dan menginjak-injak hak orang lain.
Malam itu, kami seperti mendapat
wejangan welas asih dari seseorang yang matang pengalaman. Memang, kami juga
kehausan teori, tapi tidak sekadar itu, kami lebih-lebih haus akan pengalaman.
Sebab pengalaman kata orang-orang adalah guru terbaik, kak takwim dengan
kemampuan refleksinya, berhasil menarik beberapa benang merah dari hasil
akumulasi pengalaman yang ia peroleh, baik pengalaman itu berhasil atau pun
tidak.
Bapak yang telah berumur diatas
40 tahun ini dengan percaya diri mengembangkan konsep sosialis humanis, metode
hubungan sosial yang ia petik bukan dari bejibun teori, tapi murni dari tindak
tanduk ia sendiri. Menurutnya, kita harus jujur dan terbuka untuk diam dan
memperhatikan. Kebutuhan orang lain adalah keinginan kita, sehingga tercipta
hubungan timbal balik yang harmonis. Belum tentu kita lebih lebih baik dari
tukang becak hanya lantaran kita dengan jumawa memakai mobil. Tapi, realitas
yang terbangun bahwa terdapat perbedaan kelas di masyarakat. Dan barangkali
diantara kita juga ingin menapak kelas di atas, padahal realitas kelas belum
tentu ada, ia hanya direprodusir oleh kita sendiri, oleh zaman dan orang-orang
yang berkepentingan. “Ada ego yang terbangun diantara kelas masyarakat. Kita
perlu membedakan apa yang disebut kebutuhan dan keinginan itu”.
Sesorang dari kami bertanya,
bagaimana mengetahui kebutuhan masyarakat itu? Ditengah penyeragaman keinginan
dan mungkin kebutuhan oleh para ilmuan atau lembaga riset, juga oleh pelaku
media. Takwim menjawabnya lugas, “Saya sederhana, saya ingin mayat saya setelah
dikafani berangkat dari tangan ke tangan ke liang lahat”. Ada siklus individual
yang harus dilewati untuk masuk ke masyarakat. Nah, capaian siklus itu akan
menghasilkan ide atau gagasan untuk melakukan perubahan atau menstimulan
masyarakat untuk berubah. misalnya, ketika kita membayar pajak, jangan hanya
melihatnya memakai kaca mata agama, tapi juga konteks masyarakat. Dengan
membayar pajak, kita turut menyumbangkan hidup kita.
“Imam gazali, kau tidak berjumpa
dengan ku kecuali ada ikatan dengan saya”. Kita perlu menjalin hubungan emosional
dengan siapa saja. Teman adalah
kebutuhan dan kepentingan kita. Tapi, proses menjalin hubungan yang harus
ditumbuhkan adalah sikap postif. Kalau pun terjadi yang tidak-tidak atau perselingkuhan
dari teman, ini merupakan hal wajar dalam permainan kepentingan. Meski begitu,
kita harus selalu menjaga keterjalinan hubungan itu. Sebab, dengan banyaknya
relasi, kita dapat dengan mudah melakukan spekulasi sosial untuk mendahului
rekayasa sosial, karena sebuah rekayasa memerlukan tumbukan yang besar, tentu
efeknya besar juga.
Menurutnya, sepekulasi bisa
dilakukan dalam lingkup kecil dulu, seperti dalam lingkup keluarga. pernah ia
berkumpul dengan keluarganya dalam rangka acara aqiqah, tiba-tiba pengemis
lewat dan saat itu Taqwim memang berniat untuk mengajak pengemis juga untuk
makan di rumah. Maka masuklah pengemis di kediaman itu. “saya hanya mau
menunjukkan ke keluarga, bahwa kita dan pengemis sama-sama manusia”.
Bapak yang juga sahabat budayawan
Ishak Ngeljaratan ini bercerita pristiwa subtil yang pernah ia alami. Suatu
ketika ia melakukan perjalanan dari Namlea (Pulau Buru) ke Ambon menumpangi
kapal veri. Di tengah perjalanan, ombak menggulung-gulung, dan tiba-tiba mesin
kapal berhenti. Para penumpang sontak ketakutan. Tapi, takwim tenang-tenang
saja. Ia hanya melipat tangan sembari mengisap rokok. penumpang lain bertanya
padanya.
“Bapak tidak takut seperti orang
kebanyakan?”
“Saya belum melihat malaikat
pencabut nyawa di sekitar sini,” celotehnya. Lalu Taqwim melihat seorang ibu
menggendong anaknya. “saya menganggap anak itulah malaikat, tapi bukan malaikat
pencabut nyawa, tapi penolong”. Akhirnya mereka tiba dengan selamat di
Pelabuhan Ambon. Biasanya, Namlea – Ambon menempuh 4 jam perjalanan, saat itu
ditempuh selama 12 jam.
“Yang kita butuhkan adalah
menyederhanakan pikiran,” katanya lagi. Dalam masyarakat terdapat kebutuhan
kita. Bagaimana kita membangun sosial kultur masyarakat itu dengan mereduksinya
ke dalam diri kita. Tentu nantinya akan kembali ke masyarakat juga. Ia paling
tahu, bahwa tuhan itu tidak buta.
Seperti yang ia buktikan waktu
sebagai tim perdamaian di wilayah Mambi, Sulawesi Barat. Menurutnya, penyebab
konfik atar beberapa wilayah itu disebabkan bukan faktor agama atau suku, tapi
faktor kekuasaan. Belum lagi, pemenuhan hak-hak dasar di desa-desa tidak
terlihat. Di desa belum terlihat sekolah dan rumah sakit, sementara pemerintah
hanya ongkang-ongkang kaki. Ketika masyarakat menebang hujan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, saya pikir sah-saha saja.
Pernah juga Taqwim memobilisasi
para eks narapidana, yang tergabung dalam SEINI (Serikat Eks Narapidana
Indonesia). Waktu itu eks narapidana ramai – ramai mendiskusikan mereka akan bekerja
sebagai apa? Banyak opsi yang keluar saat itu, seperti jadi satpam, tukang
parkir, kolektur, dan ada yang nyeletuk menjadi tukang mandikan mayat. Taqwim
sepakat dengan ide itu, ia pun menginisiasi para anggota SEINI untuk mengikuti
pelatihan memandikan mayat. Targetnya eks narapidana ini punya keterampilan
khusus yang nanti akan berguna bagi masyarakat. Yang membedakan hewan dan
manusia, yaitu manusia selalu memiliki inisiatif.
Konsep sosial pada intinya yaitu
bagaimana membuat individu-individu tidak terjebak pada pencapaian kepentingan
sendiri, tapi juga memikirkan yang lain. Tentang konsep-konsep dunia, seperti
kapitalisme, menurutnya belum tentu jahat, sebab banyak pengusaha yang juga
murah hati. Mereka rela mengeluarkan rezekinya untuk kebaikan. “bisa jadi kapitalis
lebih humanis,” ujarnya. Dalam menjalin hubungan itu, yang penting tidak saling
merecoki dan mengintervensi.
Pengelolaan manusia dalam konteks
sosial itu bersifat melingkar, bukan vertikal. Jika vertikal akan banyak hal
yang akan dipotong, vertikal dalam hal ini mungkin semacam revolusi. Kita
kiranya mampu menghubungkan yang minus ke yang plus, sebab ketika plus ketemu
plus, akan saling meniadakan. “sama halnya kalau kita berdebat dengan orang
yang berwawasan sempit, temanya akan berputar di situ-situ saja”.
Mungkin, malam itu kita lebih
berbicara tentang ide-ide. Ide atau energi yang kita berikan untuk komunitas
dan komunitas menyumbangkan energi ke individu. Nah, bagaimana mengukur sikap
humanisme itu? satu-satunya jalan yaitu melalui praktek. “siapa yang paling
bagus idenya, dia lah yang kita ikuti. Setiap komunitas pun pasti selalu
mempunyai seorang pemimpin”.
Pun. Kondisi sosial saat ini merupakan hasil rampokan, maka kita harus merampok
juga.
0 komentar:
Posting Komentar