Sabtu, 14 Juli 2012,
semilir-semilir angin berhembus di warkop mammiri. Pengunjung duduk-duduk di
hadapan laptop dengan alam pikiran melayang-layang. Kopi mammiri siap
menghantarkan imajinasinya, menuju tujuan pencariannya. Nah, pada malam minggu
itu, komunitas mammiritable juga lagi berpesta ilmu, dengan mengundang Kanda
Asratilla yang saat itu membawakan “filsafat modern”. Pria yang pernah kuliah
di Geologi Unhas ini menghantarkan kami dalam lamunan filsafat yang rigit. Ia
menjelaskan aliran filsafat dan tokoh-tokohnya, rasionalisme menuju empirisme,
lalu ke idealisme, melompat ke postmodernisme. Dua jam kami berkerut kening,
tapi dari dua jam ini seperti ada cahaya menghampiri kami.
Asra memulai dengan mengungkapkan
aksioma bahwa pengetahuan tidak lahir dari kondisi vakum, pasti ada latar
belakang yang mempengaruhinya. “corak pemikiran itu terjadi atas dasar
instalasi sosial ekonomi masyarakat zaman itu, tapi itu bukan determinasi
murni, manusia selalu menemukan cara untuk keluar yang disebut kreativitas”.
Menurutnya, ada empat (4) ciri filsafat modern, terdiri atas dua ciri utama dan
dua ciri ikutan. Dari ciri itu ada yang bersifat positif dan negatif.
Fase positif yaitu menguatnya
otoritas sains, sebab sains saat itu lebih menarik dikaji dibanding otoritas
gereja. Masyarakat Eropa sudah jenuh dengan kuasa gereja. Sains disukai
lantaran sifatnya yang tidak memaksakan otoritasnya, orang lebih bebas memilih
dan mengutarakan pendapat. Sementara gereja karena didukung doktrin keagamaan
tertentu sehingga sudah menjadi sesuatu yang final, dan ketika digugat akan
mengguncang stabilitas keyakinan. Otoritas gereja merupakan sesuatu yang
absolut dan sensitif kritik. Mungkin kita pernah mendengar kisah galileo dan Copernicus
yang mendapat hukuman karena mengutarakan pendapat sains yang bertolak belakang
dengan pemahaman gereja.
Sains lebih comunicable, dengan memuat teori dan praktek, sehingga lebih
populis. Galileo misalnya merekomendasikan banyak teori tentang mekanisme
artileri yang merupakan pesanan kekuasaan. Waktu itu sains lebih bersifat
praktis dan dekat dengan kepentingan kekuasaan, akrab dengan istilah “the sense of power”. Sains juga
membincangkan bibit-bibit demokrasi, walau dimensi pertarungan politik sangat
menyengat. Seperti yang diutarakan Machiavelli dalam bukunya “Sang Pangeran”.
Ia menggambarkan dengan rigit sejarah Italia dan bagaimana peta raja-raja Italia
waktu itu. Ada prinsip yang berlaku saat itu dan mungkin masih relevan, “Nabi dengan
pedang akan menang, nabi tanpa pedang akan kalah..” Machiavelli memantau
kesenangan dan keterampilan politik raja-raja Italia saat itu. Dari segi nilai
ia menentang Caesar, tapi ia tertarik dengan keterampilan raja. Dari ciri yang
tidak stabil, sains merekomendasikan terbentuknya tim dalam penelitian dan
adanya organisasi atau tatanan.
Fase negatif ditandai dengan
runtuhnya otoritas daerah, tapi didahului munculnya otoritas sains. Kekuasaan
daerah meredup dan direduksi ke otoritas negara bangsa yang dikuasai oleh para
raja. Saat itu ada raja yang kecendrungannya demokratis dan ada yang menjadi
raja tiran (despotik).
Rasionalisme
Era modern ada pertautan dengan
perkembangan pemikiran di Italia, dengan para eksponennya seperti Leonardo Da
Vinci, Galileo, Aquinas. Namun, ciri pemikiran zaman keemasan italia itu masih
bersifat universal. Para filsuf dan ilmuan hampir menguasai banyak bidang ilmu,
mereka memiliki kecenderungan polimorf atau ensiklopedis, serta lebih mengarah
pada dimensi etik. Barulah sejak Rene Descartes yang menggali lebih dalam
subjektifitas manusia menemukan genre baru dalam berfilsafat, yaitu aliran
rasional.
Rene Descartes memiliki asumsi
epistemologi yang mengarah pada pengetahuan bawaan, in net knowledge, pengetahuan yang bersifat apriori analitis. Sehingga,
realitas utama dalam dunia ini tidak bersifat indrawi atau sensibel, tetapi
bersifat platonik. Masa itu lingkaran abstrak dalam pikiran lebih diutamakan
dibanding lingkaran dalam dunia nyata. Orang berpusing-pusing dengan segitiga
sempurna, gerakan parabola, rumus-rumus cartesian, sehingga dapat disebut
partikular adalah aktualisasi dalam sikap apriori.
“Pengetahuan adalah proses
mengingat kembali” plato. The
metode. Metode filsafat adalah metode of doubt, metode tentang
keragu-raguan. Pada awalnya realitas indrawi tidak bisa dipercaya, informasi
indrawi harus diragukan, misalnya pinsil dalam air, paralax, pembiasan kolam
renang. Tapi, akal bisa mengantisipasi itu. Ada satu hal yang tidak bisa
diragukan, bahwa saya sedang ragu. Karena saya berfikir, saya ragu, maka saya
ada, saya berfikir maka saya ada (Cogito ergo sum).
Descartes mendasari teorinya
dengan sifat-sifat aksiomatik dualistik, yaitu rex cogita (jiwa / pikiran) dan
rex extensa (sesuatu yang mengambil tempat dan bisa dibagi-bagi : tubuh). Jiwa
itu lebih utama karena bersifat kekal dan tidak bisa dibagi-bagi, sementara
tubuh itu hanyalah tempat jiwa itu bersemayam. Cogito (saya berfikir)
menyangkut “pikiran dan jiwa” dan ergo sum “itulah rex extensa atau tubuh”.
Cogito-nya descartes merupakan
substansi yang tidak berubah-ubah. Tapi, para pengkritiknya menganggap bahwa
cogito itu tidak bisa disebut sebagai subjek sejati, tapi hanya sekadar
subjektivikasi. Subjek yang berarti pula sebagai subsensi, atau substansi
epistemologis yang memungkinkan kita untuk paham dan mengerti. Atau berupa
subjeksi yang mengikuti pertengahan dalam dirinya. Subjek menempatkan dirinya
ditengah-tengah tuhan. Sehingga bukan merupakan subjek yang otonom. Di situ
masih terdapat logos, atau residu abad pertengahan.
Parameter benar versi Descartes
ada dua, yaitu clearly and distingly atau benar dan terpilah-pilah. Misalnya
H2O bisa disintesa, dari keseluruhan berdasarkan jumlah bagian-bagian. Cogito
ergo sumnya descartes melahirkan konsekuensi lanjutan, yaitu oposisi biner. Terma
yang satu lebih superior dibanding terma di belakangnya. Ada jiwa yang
menempati badan (ruang), sehingga Bersifat dominatif. Ada hubungannya dari aura
sense of power.
Sehabis revolusi Prancis, orang-orang
jengkel lantaran terlalu banyak pilihan, tapi tidak jelas konsekuensinya.
Kemudian ramai-ramai mereka merindukan kepastian, seit geits dan kemunculan
tatanan. Kalau melihat Isaac Newton, cosmos berada dalam tatanan yang sangat
erat, cosmos seperti jam tangan. Tuhan dianggap ahli geometri. Tuhan dianggap
sebagai pembuat jam. Saat itu terlihat jelas pula kecenderungan atomistik.
Seakan-akan kalau sudah memeriksa bagian-bagian sudah mengetahui keseluruhannya.
Empirisme
Filsafat modern kedua yang diurai
lebih banyak oleh Asra berasal yiatu empirisme, yang kental dengan paham
filsafat di negara Inggris. Mula-mula Asra menjelaskan tentang teori tabula
rasa Jhon Lock, yang mengatakan bahwa tidak tidak ada pengetahuan yang bersifat
bawaan, tapi sekadar akal bawaan, akal sekadar sebagai prangkat. Pengetahuan
dimulai ketika manusia bersentuhan dengan realitas.
David Hume melanjutkan tradisi
Lock, dengan menetapkan bahwa pengetahuan itu bersifat aposteori, yang juga
mengakui bahwa pengetahuan itu bersumber dari pengalaman, asintesis. “kita berhadapan
dengan hal-hal partikular, kemudian menyusun kesamaan dari situ, itu disebut
abstraksi atau induktif,” ujar Asra dengan keringat yang mulai menetes di
keningnya. Hume beranggapan bahwa ada dua istilah yang dapat kita bedakan,
pertama adalah ide, kedua yaitu impresi (kesan-kesan). Yang menarik di sini adalah
impresi yang tidak sama dalam tradisi positivisme yang berarti revisi-revisi.
Impresi Hume terbagi dua yaitu internal impresi dan eksternal impresi. Internal
adalah kesan yang bersifat batiniah, eksternal berarti kesan yang masuk melalui
indra yang kemudian disebut pengalaman. Impresi inilah yang melahirkan ide,
impresi menjadi sebab pertama.
“Ide hasil impresi ini ada yang
simpel dan ada yang kompleks. Ide kompleks lebih majemuk dan biasanya rabun-rabun
menjelaskan realitas. Ide kompleks dimulai dari impresi pertama sebagai sebab,
kemudian menjadi ide, ide tersebut lalu direfleksikan. Ide yang sudah
direfleksi itu memperoleh tambahan impresi atau impresi sekunder, sehingga
terjadi proses peng-ide-an ulang. Tapi, biasanya ide simpel lebih terang
menggambarkan realitas,” tambah Asra.
Hume merumuskan teori garpu,
“kita hanya mempercayakan pengetahuan, petama: pengetahuan dari observasi
langsung, kedua dari deduksi logis dari observasi. Pengetahuan berupa cinta,
tuhan, bersifat nonsense karena tidak bisa diamati dan diverifikasi”. Dalam
filsafat analitik yang kemudian berkembang di Inggris dan Wina (austria),
pernyataan dianggap bermakna ketika bisa diverifikasi, sehingga tema-tema
metafisika seperti tuhan, cinta, kasih, dianggap tidak bermakna. Manusia
memiliki perasaan spiritual, perasaan diterima sebagai realitas, tapi sumber
perasaan yang disebut tuhan itu ‘nonsense’.
Pada zaman kegilaan empirisme
itu, perkembangan metode ilmu pengetahuan kian menanjak. Namun prinsip
kausalitas mulai dipertanyakan. Misalnya peristiwa pemuaian akibat pemanasan
pada besi atau air mendidih pada 100 0C, dimana sains dianggap
berdiri atas landasan kausalitas. Hume menyerang ini, ia menyatakan “tidak ada
kausalitas, yang ada hanyalah urutan kejadian yang kita kesani”.
“Tidak ada daya aktif yang
membuat botol ini gepeng! Ide-lah yang menyusun semua realitas di alam ini.. semua sudah tersusun dan mengalir dalam
alam ruang dan waktu”. Ini sangat mirip dengan fenomena Algazali, dimana
terdapat campurtangan tuhan. Disebutkan bahwa tidak ada kehendak bebas dari
manusia, tapi semua merupakan aksi dari tuhan. Tapi, tentang tuhan sendiri,
Hume pun menyerangnya, “Kita tidak diakibatkan oleh tuhan, yang katanya sebab
utama”. Ini disebut skeptisisme radikal.
Hubungan ide-ide dipertalikan
oleh Hume, mengaitkan kesamaan-kesamaan yang menyebabkan abstraksi dalam
kontinyuitas ide-ide. Kemudian, ide Hume mendapat kritik dari Imannuel Kant, “jika
menerima sepenuhnya imperisme David Hume, masa depan ilmu pengetahuan akan
terancam”.
Kritisisme Kant
Rasionalisme dan empirisme
berbicara objek pengetahuan apa adanya. Sedangkan kritisisme imanuel kant,
mengajak kita kembali pada subjek, kembali menentukan batas-batas rasionalitas
manusia. Dalam Kant terdapat oposisi biner, ada fenomena dan noumena. Asra
melanjutkan, Kant memperkenalkan istilah “das ding an sich” atau realitas pada
lubuknya, terdapat kenyataan yang telanjang. Sementara terdapat realitas yang
tertutup tabir yang disebut noumena, meski rasionalitas berusaha menembusnya,
ia akan selalu tertumbuk oleh batas rasio. Jadi yang hanya bisa diakses
hanyalah fenomena “das ding fuur me” atau “yang tampak pada saya”. Tetapi tidak
berarti nomena tidak ada, naumena sebagai basis dimana manusia tidak melihatnya
secara telanjang.
Kant mengatakan pengetahuan tidak
sepenuhnya subjektif (rasional) dan juga tidak sepenuhnya objektif (empiris). Ide
dan kesan dalam Kant punya saham masing-masing. Kant mengatakan ada tiga bentuk
pengetahuan, pertama; bersifat apriori
analitis/apriori aksiomatik, misalnya, segitiga sama sisi 1800 dan dua
garis sejajar tidak pernah bertemu. Kedua; pengetahuan bersifat posteriori
sintesis atau pengetahuan yang berbasis pengalaman dan bersifat partikular.
Ketiga; ada pengetahuan yang apriori tapi sintesis. Yaitu aksioma-aksioma yang
berfikir tanpa bantuan eksperemental. Ruang dan waktu itu memiliki sifat tapi
tidak bisa dioperasikan, hanya bisa dipahami jika menuju benda partikular
tertentu dan berbasis pengalaman. Ketiga hal ini disebutnya kategori-kategori
pengetahuan.
Kant merumuskan pula prinsip kausalitas.
Jika Hume berandai kausalitas dari kesan-kesan, Kant bertafakur bahwa
Kausalitas itu berasal dari apriori sintesis. “Kita tidak bisa menjelaskan
pristiwa tanpa hubungan sebab akibat. Kausalitas itu apriori, sehingga kita
bisa menjelaskan sesuatu dalam konteks ruang dan waktu. Kant mengatakan ide-ide
yang bisa menghubungkan semuanya, tapi ada apriori yang menghubungkan,” ujar
Asra gesit.
Lintasan – Lintasan
Percikan-percikan wawasan
filsafat Asra melintas kemana-mana pada malam itu. Tidak sekadar membahas
filsafat dari eropa, tapi juga sedikit menyinggung kebuntuan filsafat dalam
dunia timur, dalam hal ini dunia Islam. Seperti postulat diawal tulisan ini,
pengetahuan tidak lahir sendiri, tapi ada latar belakang sosial, namun latar
belakang itu tidak mendeterminasi penuh. Dalam filsafat Islam mengalami
devaluasi lantaran tidak mendapat tempat dalam pertarungan wacana sepanjang
abad. Paham atau aliran yang berhasil bertahan rata-rata karena mendapat
sokongan kekuasaan.
Misalnya pada masa Khalifah
Umayyah, berkembang saat itu adalah faham Jabariah, dimana manusia yang
melakukan dosa besar maupun dosa kecil pada dasarnya bukan kehendak dari
dirinya sendiri, tapi juga tuhan terlibat di dalamnya. Sebenarnya, ini karena
keculasan Umayyah karena tinkah bobrok khilafahnya, Umayyah berupaya membius
masyarakat untuk percaya bahwa tindakan keji (main perempuan, tukang minum) itu
bukan murni dari watak pemimpin, tapi juga merupakan kehendak tuhan.
“Sampai sekarang kita hanya
mengenal 5 mashab, padahal ada lebih 100 aliran teologis. Kenapa hanya lima ini
yang sampai ke kita? karena mereka direstui oleh kekuasaan karena diwariskan”.
Kita juga sering mendengar
beberapa teman mengungkap romantisme sejarah, bahwa jika tak ada Islam maka
renaisance di Italia dan Eropa tidak akan terjadi. Sebenarnya Islam sendiri
banyak meminjam ilmu dari beragam penjuru, dari India, Persia, Jundisapur,
Yunani. Unsur-unsur modernitas inheren dalam Islam mungkin membantunya dalam
menyerap keutamaan-keutamaan negeri lain. Tapi, sebenarnya ini hanyalah proses
biasa. “Kadang teman-teman islam itu paradoks, mereka menerima
kelebihan-kelebihan pengetahuan para filsuf islam, tapi mereka menolak
kemampuan filsafatnya”.
Dari Islam, Mammiritable melintas
ke Schopenhauer. Schopenhauer berangkat dari “keinginan”. Sosok filsuf ini
mengembangkan peryataan dan pertanyaan dalam kitab Upanisad (Hindu), yang lebih
mengeksplorasi apa keinginan-keinginan kita, hingga menemukan batas keinginan
itu. Apakah sampai di situ saja keinginanmu? Ketika tiba pada kejenuhan
keinginan-keinginan, kita akan mengetuk pintu nirwana, puncak spiritualitas.
Keinginan ini lalu diterjemahkannya sebagai kehendak. Schopenhauer sejaman
dengan Hegel, kemudian ia berkata; hegel menganggap umur kita terlalu pendek
untuk mencari kebenaran, jadi percuma saja.., tapi Schopenhauer lebih menikmati
hidup dan meyakini hidup ini seperti air mengalir, hidup itu tidak tetap, tapi
berubah-ubah.
Ketika malam makin larut, kami
melesat lagi ke filsuf Kierkegaard. Menurut filsuf ini, kesadaran itu bersifat
intensional, selalu mengarah pada dirinya. Kesadaran dikonstitusi bukan oleh
kita. Sesuai pendapat Husserl, bahwa pengetahuan itu orisinil dan merupakan
sesuatu yang apa adanya. Pemikiran ini melahirkan paham eksistensialisme. “Dasar
atau aksioma itu bukan noumena atau fenomena, tapi keberadaan. Eksistensi dulu
baru substansi. Muncul (ada) dulu baru ide (pemikirian).
Kierkegaard masuk dalam kategori
eksistensialis yang teistik (beragama). Menurutnya, manusia mengalami
pertumbuhan kesadaran, dari tahap estetis yang masih tergerak hawa nafsu
birahi, menuju ke tahap etis. Ketika sampai ke tahap etis, manusia menyerahkan
dirinya pada otoritas tertentu. Lalu tiba pada tahap religius, saat manusia
mengalami lompatan keimanan, yaitu orang menerima tuhan (kristus) apa adanya
dan tuhan memenuhi dirinya. “Manusia dianggap baik ketika kebaikan tidak
diharapkan mendapatkan balasan. Semacam altruisme tanpa syarat”.
Asra sedikit menjelaskan Albert
Camus, filsuf dan sastrawan Prancis yang juga berpaham eksistensial. Menurut
Camus, manusia itu absurb. Manusia dalam menghadapi keabsurbannya terdapat dua
kemungkinan. Pertama, menghadapi dengan kaki yang tegak, kedua dengan bunuh
diri. Konteks berdiri dengan kaki tegak itu diartikan dengan bunuh diri secara
fisik, lalu bunuh diri yang kedua yaitu bunuh diri secara intelektual. Sama
halnya dengan para cendekiawan yang menceburkan dirinya sebagai penjilat
penguasa, mereka sebenarnya telah melakukan bunuh diri.
Heidegger cuma disinggung secuil,
dalam Budi hardiman, buku: mistik keseharian. “jika anda ingin memperoleh
kebenaran, anda harus mengundang makan malam”. Mistis itu femenin, jika
perempuan mempunyai wajah, dia memiliki wajah perempuan. Kebenaran itu
diundang. Diundang dengan cara interpretasi.
Menuju gerbang perhentian,
seorang menanyakan tentang Lacan yang merupakan kelompok post strukturalisme.
Lacan fokus menyerang subjek, dimana yang ada hanyalah subjektivikasi. Tuhan
kemudian digantikan dengan sistem atau struktur pemikiran yang berkuasa saat
itu. Juga pandangan tentang orang gila, menurutnya tidak ada orang gila, tapi
yang ada adalah gilaisasi. Kemudian Zisek mengembalikan subjek. Ia menggeser
lagi subjek ke subjektum. Subjeknya Zisek bukan subjek yang tertutup, tapi
bersifat empty cogito. Subjek yang menganga. Subjek yang tergelitik. Tidak bisa
merepresentasikannya secara pas, tapi melampaui bahasa. Mis recognition. Subjek
politik radikal. Subjek tidak sepenuhnya bisa menggambarkan dirinya.
Penutup, bahasa itu berangkat
dari yang real, tapi bisa membuat realitas kedua di atas realitas yang sejati.
Biasa dikenal dengan istilah fetisisme. Bahasa kodratnya bersifat fetis. Terkadang
memiliki kuasa, mengkategori-kategori dan mengandung ekspresi-ekspresi. Apa
yang saya katakan, tidak bisa mewakili apa yang kita rasa. Kalau islam
(huduri). Subjek itu selalu tergelitik, tidak bisa tetap.
Mungkin, masih banyak yang belum
disinggung, tapi itu sebenarnya ada juga dalam benak kita masing-masing. Bahasa
itu terbatas, begitu pula dengan pikiran kita, tapi objek yang akan kita
pikirkan itu tidak terbatas, tergantung sejauh mana kita berusaha untuk
berfikir. Nah, saya tutup dengan kata antropologi pengetahuan. Dimana kapasitas
eksperimentasi kita terbatas, tapi manusia selalu punya cara untuk
mensistematisasi, menyusun kategori-kategori, dengan postulat-postulat
imajinasi.
0 komentar:
Posting Komentar