Pertemuan awal ini ditaburi
dengan kegelisahan, rasa gaduh pada dunia yang stagnan, yang sedang tidak
baik-baik saja. pertemuan pada hari Rabu, 20 Juni 2012 itu diisi oleh Kak Asran
Salam (29), seorang senior yang drajat kepeduliannya pada peradaban kami anggap
cukup tinggi. Kak Asran kami culik di malam hari itu dari toko buku Papirus,
untuk mengisi sebuah forum anak-anak muda yang sedang mencari-cari, sedang
merasa bahwa ada sesuatu yang harus dilakukan, yaitu diawali dengan komitmen
dan bertukar pikiran.
Ya,
kami memulai pertemuan maraton ini dengan berbagi gelisah, gundah pada
ruang-ruang yang tak terpantul cahaya makna. Ruang yang kosong dan perlu diisi.
Kata kak Asran, ruang-ruang ini akan dikerumi oleh percikan-percikan pikiran,
yang tak lain untuk mempercantik pikiran itu sendiri. “untuk bisa berfikir
besar, kita harus melirik pikiran-pikiran besar,” ucap Asran. Kata ini menjadi
pembuka diskusi mammiri table (meja mammiri) tahap I, dengan peserta :
Sasliansyah Arfah, Jikun, Dilla, dan Idham.
Peradaban
ini harus dibangun, tentu dengan saling berbagi dan bertukar informasi,
fostulat utama yang sempat dirumuskan saat itu adalah kita akan selalu
berkumpul jika ada informasi yang dipertukarkan. Kita pun akan tidak merasa
sepi dan sunyi, bahwa kita bisa bersama untuk mengatasi kegilaan ini. Kak asran
menganggap, bahwa dengan adanya forum-forum seperti ini rasa sedih akan
kesendirian bisa ditepis, ternyata masih banyak ada yang peduli. Ternyata kegelisahan
ketika dibagi bersama, jika diorganisir dengan baik akan memunculkan sebuah
energi perubahan yang dahsyat. Mungkin teman-teman juga berfikir seperti itu.
Waktu
itu kita berfikir harus memulai dari mana, apakah harus dari kampus, ataukah
dari ruang-ruang publik seperti warkop? Kak asran menganggap bahwa kita harus
memulainya dari kampus. Menurutnya, kalau perlu kita membangun mazhab
tersendiri di kampus itu. Dan ia pun menawarkan dirinya untuk diperkenalkan
dikampus, untuk menularkan semangat perjuangan. Bahwa peradaban harus
ditorehkan, lewat budaya menulis, diskusi dan membaca.
Mengamati
mahasiswa yang semangatnya melempem, apakah harus dimulai dengan memperkenalkan
kondisi ril lapangan? Melihat saat ini mungkin banyak diantara mahasiswa yang
tahu teori tapi miskin pengalaman. Mereka mampu merekonstruksi kejadian, tapi
tidak tahu strategi dalam pelaksanaan program pengembangan ilmu ketika
diperhadapkan dengan masalah. Ini menjadi perbincangan hangat waktu itu.
Menurut kak asran, selain pengetahuan lapangan, mereka pun harus diasah dengan
teori-teori besar yang mampu mengasah cara berfikir mereka.
Kita
pun diperhadapkan pada problem, apakah kita sebagai perintis harus menempuh
jalan sunyi yang bernama kemiskinan? Pada wilayah ini kami tak menemukan
solusi, sebab tentang hal ini masing-masing kita punya pilihan-pilihan jalan,
kami tak menganjurkan agar harus kaya, tapi ketika menjadi kaya harus tetap
komitmen bahwa kita akan terus bersama dalam perjuangan. Entah yang disebut
perjuangan disini masih berupa banyangan yang demikian abstrak. Muncul
ketakutan-ketakutan, bahwa ketika orang sudah mapan, ia akan melupakan
komitmen-komitmennya. Nah, tentang hal ini, waktu lah yang menentukan. Perjuangan
memang selalu memakan anak kandungnya sendiri.. hehe.. menjadi kaya yang lupa
mungkin adalah bentuk krisis kemanusiaan pula.
Rekomendasi
yang sempat terumuskan adalah, bagaimana setiap pertemuan ada rekaman
prosesnya. Yaitu sebuah atau dua buah tulisan. Agar kelak bisa dijadikan
pelajaran dan dapat ditarik hikmahnya darinya.
Akhir
pertemuan, terkumpul semangat, berikutnya adalah terus melanjutkan apa yang
telah kita rumuskan bersama..
Dare to be wise
0 komentar:
Posting Komentar