Tak
ada manusia yang paling membingungkan yang pernah saya temui, selain Alwy Rahcman. dahinya lebar, senyum terbuka nan misterius, mata tenang sekaligus
menyelidik. Berbincang dengannya kita dipaksa untuk bersikap terbuka, tapi
sewaktu-waktu mesti tertutup. Sebab, setiap kata-kata yang terlontar dengan
sengaja akan membuka lapisan tabir kita, yang dalam teori lingustik disebut
lapisan makna : biner, saling mengisi, dan metateks.
“dengan memahami dasar-dasar linguistik, dengan mudah kita mengetahui dunia”.
Saya
berkunjung ke Lembaga Penerbitan Unhas (Lephas) petang kemarin (25/6), tempat
cendikiawan itu biasa nongkrong. Ia selalu pulang pada malam hari, sebelum
pulang Alwy selalu berbincang dengan para pemuda, mahasiswa, dan orang-orang
yang terpaut hatinya sejak awal mengenal beliau. Di dalam ruang beraroma asap
itu, telah ada Kak Ari, senior yang matang teori sekaligus praktek, contoh
telak manusia yang nyeleneh sekaligus rasional.
Saya hanya
menunggu, menunggu informasi jatuh dan tertangkap. Saya merasa tak percaya diri
untuk memulai bertanya tentang banyak hal. Saya hanya membiarkan alam ruang itu
memaksa Pak Alwy untuk ngomong. Pun kalau beliau tidak ngomong, alam serasa
turut berbicara, memecah kesunyian yang asyik.
Pengetahuan
pertama : tentang orang yang lebih memilih terkurung dalam doktrin dan kebakuan
literasi. Menurutnya, itu sesuatu yang wajar, sebab saat ini tidak ada lagi
tokoh-tokoh yang kredibel di masyarakat. Mereka kesulitan menemukan sosok yang
bisa dijadikan contoh atau teladan. Sementara tokoh struktur semakin bejat
dengan pola represi dan kooptasinya. Mereka dihancurkan oleh pertukaran uang
dan jasa, yang mungkin tidak cocok antara nilai yang dijual dan harga yang
diperoleh. Kesenangan dan kebahagiaan pun diperoleh dengan mencintai alam lain,
dunia setelah dunia, mencintai sesuatu yang lebih abstrak, dengan menihilkan
pertalian yang rill. Segala sesuatu yang bertentangan dengan kehendak-Nya
adalah dosa, dan mereka yang berdosa adalah jahat, sekaligus beda. Mereka pun
terjerumus dalam lingkaran membenci perbedaan (heterofhobi).
Dalam diri
manusia pun berlapis, selain lapisan rasional, terdapat lapisan paling purba
yang disebut lapisan primordial. Lapisan inilah yang berperan mengambil
pengaruh saat rasionalitas dan empati tidak laku lagi.
Untuk membenahi
tatanan masyarakat yang rusak ini, sangat dibutuhkan tokoh-tokoh kredibel, yang
lahir langsung dari rahim masyarakat. Sosok-sosok panutan yang telah menempuh
tempaan masyarakat yang panjang, yang dalam perjalanannya selalu menjaga
konsistensi dan ketetapan hati. Yang hidupnya ia serahkan untuk kebaikan
masyarakat dan dunia.
Pengetahuan
kedua : tentang peristiwa dan kesetiaan, berangkat dari filosofi religiusitas
tradisi marx, alain badiou. “setia pada moment-moment kebenaran”. Katanya, marx
dalam perjalanan teorinya dapat juga menimbulkan semangat religi, yang disebut
momen kebenaran itu. Untuk bisa memahami kebenaran, kita harus setia dulu
padanya. Seperti argumen Mario teguh, untuk bisa memahami arti cinta, tak ada
lain selain mulai mencintai dan setia pada cinta itu. Yah.. bagaimana
memperoleh moment-moment kebenaran ini? Contoh yang bisa disebut ketika kita
bangun pagi dan betul-betul merasakan hidup, pada saat itu ada kesadaran yang
muncul, ada sesuatu yang tak terbahasakan. Atau ketika seseorang yang menanti
kematian, air matanya menetes bahagia. Mungkin pada momen-moment itu bisa
dikategorikan sebagai moment kebenaran.
Alwi bercerita
tentang Hasan Tiro, pemimpin aceh itu punya landasan moral perjuangan. Pertama dia
mewarisi semangat juang para leluhurnya, ia mengetahui bagaimana sejarah
leluhurnya dalam mempertahankan martabat dirinya. Kedua, Hasan tiro
terinspirasi dari kisah perlawanan Imam Husein, yang tak menyerah di tangan
kesadisan penguasa Umayyah. Imam husein tidak lari dari perjuangan, walau ia
kalah dalam hal strategi, tapi ia menang dari segi etik. Ketiga, hasan mengambil
etos nitzche, yang berkata “jika kita tak bisa lagi hidup secara terhormat,
maka jalan terkahir yaitu mati secara terhormat”. Ketiga etos ini menurut Alwi
berkaitan dengan momen-momen kebenaran itu.
Pengetahuan
ketiga : tentang pergerakan sosial, yang dimulai dari gosip dan kabar burung,
yang kemudian melebar menjadi wacana publik, lalu muncul agitasi-agitasi untuk
membuka tabir prasangka pada masing-masing warga, tahap organisasi dan
manajemen massa, disini muncul tokoh-tokoh berpengaruh. Ketika mencapai puncak,
biasanya mengalami decline atau penurunan dengan dua cara, yaitu represi dan
kooptasi. Represi dengan pembunuhan tokoh-tokoh penting, biasanya massa akan
meluber jika pimpinan puncak dibunuh. Kooptasi yaitu dengan pemberian uang atau
jabatan pada masing-masing tokoh.
Tahapan tersulit
adalah tahapan pengorganisiran massa, disini dibutuhkan konsistensi dan
ketegaran para pimpinan (tokoh). Selain itu, dibutuhkan pembagian peran di
masyarakat, sehingga semua elemen saling mendukung perjuangan.
Pengetahuan
keempat : tentang kebenaran, bagaimana kita bisa mencapai kebenaran itu? Kalau
bintang-bintang saja kita mengetahui adanya setelah 2500 meledak di alam
semesta (Karlina Supelli). Memandang itu, bagaimanakah posisi kita selaku
mahluk yang saat ini berada dan akan mati? Mungkin, peristiwa israj mi’raj nabi
Muhammad dalam rangka untuk mengetahui pristiwa sejarah berdasarkan
persegeseran waktu itu, agar tidak ketinggalan informasi untuk menyampaikan
kebenaran di muka bumi ini? Nabi Muhammad memperoleh kebenaran (ayat-ayat
tuhan) sedikit demi sedikit, selama 30 tahun, dimana setiap menerima ayat tuhan
selalu dimulai dengan rasa sakit. Apakah kita selalu menderita sakit waktu
memperoleh kebenaran?
Pengetahuan
kelima : ada kecendrungan bahwa, ketika etik sudah menyatu di kehidupan
masyarakat, nuansa spritual berupa ritus mulai ditinggalkan. Sementara jika
semangat ritual masih kuat, justru etika masyarakat masih lemah dan tidak
menyeluruh. Entah lah?
Mungkin, masih
banyak pengetahuan-pengetahuan tambahan, tapi otak saya kesulitan menampung
pada malam itu. Hanya inilah yang bisa saya refleksikan. Itu pun masih
membingungkan kan?
Selasa, 26 Juni 2012
0 komentar:
Posting Komentar