Selain lokus perahu pinisi dan
Pantai Bira, Bulukumba masih menyimpan pesona lain, yaitu potensi hutan rakyat-nya.
Pesona ini tidak bertaburan keindahan alam, tapi lebih bernuansa keteguhan
ekonomi dan semangat sosial. Hutan rakyat yang luasnya sekitar 25.000 Ha itu
dianggap cukup membantu masyarakat pedesaan untuk mandiri, sekaligus sebagai
upaya penerapan hutan lestari, dengan menumbuhkan tanaman jenis kayu-kayuan di
kebun rakyat.
Kabupaten
Bulukumba memiliki luas Daratan 115.467 Ha, dengan luas kawasan hutan negara
8.435 Ha, dari sini dibagi berdasarkan fungsi, yakni hutan lindung (HL) seluas
3.537 Ha, Taman Hutan Rakyat/konservasi seluas 3.537 Ha, hutan produksi (HP)
seluas 931,25 Ha dan hutan produksi terbatas (HPT) seluas 509 Ha. Selebihnya
adalah lahan milik atau hutan yang berada di luar kawasan negara, namun potensi
dan luas kawasannya belum terpetakan secara pasti.
Kamis
- Selasa (23 - 28/2/2012), tim Kajian Kayu Rakyat Bulukumba dari Sulawesi
Community Foundation (SCF) berada di Bulukumba, untuk menelusuri; 1) potensi
hutan rakyat yang berkaitan dengan kapasitas industri pengolahan kayu rakyat,
2) memetakan alur peredaran dan perdagangan kayu rakyat, 3) memetakan kebutuhan
kayu publik, 4) membangun perspektif penggunaan kayu ramah lingkungan kepada
pengambil kebijakan. Di samping itu, kajian ini juga mencoba menemukan hal-hal
lain berupa permasalahan di tingkat petani, serta bagaimana pelaksanaan program
penghijauan dan reboisasi di Bulukumba.
Tulisan ini masih
merupakan berita gambaran umum tentang kayu rakyat di Bulukumba. Sembari
menunggu hasil penelitian/kajian kayu rakyat yang diolah oleh SCF (Sulawesi
Community Foundation) bekerjasama dengan pihak Fakultas Kehutanan Universitas
Hasanuddin.
Program Kayu Rakyat
Secara garis
besar, program kayu rakyat dibagi tiga, yaitu Hutan Rakyat (HR), Penghijauan
Lingkungan dan Kebun Bibit Rakyat (KBR). Hutan Rakyat diperioritaskan pada
Daerah Aliran Sungai (DAS) wilayah hulu, lahan milik yang terlantar dan tidak
produktif, serta lahan tersebut tidak terlibat sengketa. Sementara program
penghijauan lingkungan mulai dicanangkan pada 2007 melalui aksi penanaman
serentak di seluruh Indonesia, pada November 2008 ditetapkan sebagai Hari
Menanam Nasional, semua departemen melakukan pembibitan dengan bantuan dari
Bappenas.
“Bibit yang
digelontorkan waktu pencanangan itu yaitu trambesi, angsana, tanjung, glodok,
suren, mahoni, gmelina dan sukun. Pada 2010 sebanyak 130.000 batang dan pada
2011 sebanyak 80.000 batang. Yang ikut terlibat ada BUMN yakni PT. PAL serta
bank-bank di Bulukumba. Prinsip yang dibangun untuk industri kala itu tebang satu
tanam sepuluh,” kata Sahriana, Shut, Divisi Penghijauan dan Konservasi Dishut
Bulukumba.
Kebun Bibit
Rakyat (KBR) merupakan program yang dimulai tahun 2010, berjumlah 30 unit, satu
unit setara 50.000 bibit, pada 2011 bibit yang disediakan sebanyak 44 unit.
Jenis dan jumlah bibit sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Mekanisme
pengadaannya melalui proposal yang dibuat kelompok kemudian disampaikan ke
BAPPEDAS dengan tembusan ke Dinas Kehutanan. Bappedas melakukan verifikasi
administrasi kemudian mengeluarkan SK Kelompok. Untuk melengkapinya harus ada
sketsa lokasi persemaian dan penanaman. Setelah SK keluar, dinas terjun ke
lapangan dengan dibantu oleh pendamping yang juga di SK-kan oleh Bappedas.
Untuk wilayah
kawasan hutan produksi dan hutan lindung, dulu ada program GNRHL (Gerakan
Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan). Salah satu bagiannya adalah bantuan
tanaman kayu-kayuan dan MPTS, program ini biasa disebut reboisasi.
Menurut
Sudirman, Divisi Peredaran Kayu Dinas Kehutanan Bulukumba, pemenuhan program
kayu rakyat di Bulukumba belakangan ini ditempuh melalui jalur partisipatif,
yaitu PRA (Participatory Rural Apprasial). PRA merupakan metode yang
memposisikan masyarakat sebagai penentu sebuah permohonan atau proyek.
Pelaksanaan program ditentukan dari sejauh mana kebutuhan masyarakat dirumuskan
oleh masyarakat itu sendiri.
Metode PRA
aktif dilakoni sejak 2006, namun dalam pelaksanaannya masih ada oknum yang mencuri-curi
perhatian untuk meningkatkan citra pribadinya sendiri. Langkah-langkah ini
kadang berakibat dengan tidak sesuainya kebutuhan dan pemenuhan kebutuhan,
misalnya pemberian bibit yang tidak tepat. Di samping itu, masih ada juga
hal-hal menyimpang dalam penyalurannya, misalnya praktek nepotisme dalam
pembagian bibit. “Dalam model PRA ini masih terdapat permohonan dari kelompok
tani yang tidak sesuai dengan juknis, seperti jenis bibit yang tidak cocok di
lahan petani kelompok tani tersebut,” ujar Sudirman.
Pembagian
bibit berdasarkan petunjuk teknis, tanaman yang biasa diminta oleh para
kelompok tani adalah tanaman hias, blodok, palem, kayu sengon, mahoni,
trambesi, angsana, MPTS (kelompok buah-buahan). Keterlibatan pihak lain
sementara ini masih bekerjasama dengan pihak swasta. Dalam penentuan jenis ini
terdapat pemetaan berdasarkan kondisi iklim dan geografis, seperti untuk
Bulukumba wilayah timur jenis yang cocok adalah sengon, gmelina dan mahoni dan
untuk Bulukumba bagian barat adalah suren, sengon (dataran tinggi).
Realitas di
lapangan, pemberdayaan kayu rakyat tidak selalu berjalan mulus. Ada daerah yang
bibitnya tidak cocok, seperti di daerah Bonto Biraeng Kec. Kajang dimana kayu
Suren tidak cocok karena desa tersebut merupakan daerah panas. Sedangkan di
Desa Bukit Harapan, Kec. Gantarang, tingkat keberhasilan program Hutan
Kemasyarakatan (HKm) untuk kawasan hutan produksi hanya 20 Persen saja.
Ini diakui
oleh Ramli selaku Kepala Desa, “Kegagalan disebabkan karena faktor disengaja,
masyarakat membunuh sendiri bibit yang sudah ditanam. Masyarakat belum paham
mengenai tujuan penanaman pohon. Masyarakat menganggap, kayu-kayuan ini akan
merusak kebunnya, anggapan lainnya kayu yang diberikan tidak menghasilkan dan
tidak bisa dijual,” kata Ramli. Kedua desa ini pun mendorong agar pemerintah
bisa mewadahi tersedianya bibit karet di desa masing-masing. Karet lebih
disukai warga karena dianggap lebih bernilai ekonomis.
Pembinaan Penanaman
Pembinaan
dilakukan melalui penyuluhan kehutanan. Mengenai tugas dan tanggungjawab
penyuluh sesuai dengan tupoksi pembinaan kelompok tani yang melekat sebagai
tenaga fungsional pada Badan Penyuluhan. Namun penyuluh masih terbatas baik kuantitas
maupun kualitasnya. Tentang kualitasnya, tenaga penyuluh belum ada yang
merupakan keluaran perguruan tinggi.
Prosedur
pelaksanaan program beserta pembinaannya dimulai dengan perjanjian kerjasama
antara instansi Dishut dengan Kelompok tani hutan yang bersangkutan, kemudian
pembersihan lapangan, pembuatan lubang, penyiapan bibit, selanjutnya adalah
pemeliharaan. “Masyarakat melaporkan perkembangan pada tiap tahapan ini, yang
biasanya ditindaklanjuti dengan pemberian upah,” tutur Sahriana. Teknik pemeliharaan
diawasi oleh penyuluh selama dua tahun, setelah itu diserahkan sepenuhnya ke
pemilik lahan. Dana pemeliharaan tergantung pada anggaran.
“Permasalahan
di lapangan terletak pada masyarakat juga. Masyarakat terbatas jangkauan
pandangannya untuk analisis masalah. Kebanyakan berubah cara pandang setelah
melihat perubahan dari pihak lain,” papar Sudirman.
Peredaran Kayu
Peredaran kayu
terkait dengan perizinan yang biasanya dilakoni oleh para pedagang pengumpul.
Untuk pedagang perorangan dibatasi volume tebang kayu sebanyak 150 kubik
perenam bulan, sedangkan untuk badan usaha atau kelompok dibatasi 300 kubik
perenam bulan. Dalam proses pengangkutan hasil hutan ini disertai dokumen
angkutan dari lokasi TPK (Tempat Pengumpulan Kayu), yakni SKAU (Surat Keterangan
Asal Usul), SKSKB-cap KR (Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat), dan nota
penjualan. Ini sesuai dengan peraturan No. 33 tahun 2007.
SKAU
dikeluarkan oleh pemerintah desa, namun rata-rata kepala desa hanya
mengeluarkan surat keterangan desa sebagai dasar penerbitan dokumen oleh Dinas Kehutanan.
Kepala desa tersebut harus memiliki kualifikasi, dalam hal ini harus mengikuti
diklat penerbit. Setelah itu ditetapkan oleh bupati sebagai penerbit. Kemudian
setelah di lapangan, selaku penerbit Pak Desa melakukan pengukuran dan
pengujian kayu, setelah itu mengajukan permohonan dokumen ke dinas untuk
dibuatkan SKAU. Dalam SKAU itu tertera volume, jenis, tempat, dan waktu
pengambilan kayu. Namun, dalam sekian desa yang dikunjungi, belum ada kepala
desa yang pernah menerbitkan SKAU. Kepala desa sekadar membuat surat pengantar
penebangan kayu. Bahkan ada desa yang petaninya tidak tahu cara mengurus izin
tebang.
“Sistem
pemasaran kayu, mulanya dari petani ke pedagang pengumpul dengan sistem
penjualan pohon dan hamparan. Kemudian dari pedagang ke industri menggunakan
sistem volume/m3. Cela kecurangan bisa muncul karena tidak ada
batasan wilayah tebang untuk para pedagang, sepanjang masih di kawasan Bulukumba,”
papar Sudirman.
Pemanfaatan Kayu Rakyat
Sudirman
juga memaparkan pemanfaatan kayu untuk kebutuhan publik. Menurutnya kayu publik
biasanya menggunakan kayu kelas 2 atau 3, seperti kayu Jati, Bitti, dan
kelompok meranti. Kayu publik ini diperoleh dari para pedagang pengumpul dan
industri, tak ada yang langsung dari masyarakat. Di Bulukumba masih banyak kayu
yang berasal dari luar daerah karena untuk kebutuhan publik ini terbatasi oleh
jenis. Contoh jenis yang biasanya diperoleh dari luar Bulukumba yaitu Merbau,
Ulin dan kelompok Meranti.
Jenis
kayu rakyat yang biasa digunakan untuk kebutuhan publik, seperti bangku sekolah
atau kantor pemerintahan hanya jenis jati olahan mebel. Produk mebel sendiri
sudah banyak yang berasal dari perusahaan dalam Bulukumba yang dulunya
didominasi dari produk luar daerah. Tentang pengadaan ini biasanya dilakukan
tender, melalui pihak ketiga berdasarkan PAGU anggaran.
for Sulawesi Community Foundation (SCF)
0 komentar:
Posting Komentar