Dua hari penuh kejutan. Sabtu,
(7/9), dua pekan lalu sebenarnya saya berencana untuk berleyeh-leyeh saja di
warung kopi, sambil nonton film kolosal via laptop. Pagi itu saya telat bangun,
dan merenung-renung di kursi untuk melonggarkan urat syaraf, bagaimana tidak, berhari-hari
tubuh dan pikiran diberondong data dan bacaan, serta tugas-tugas yang saya
yakin tidak akan pernah usai. Jadi ada baiknya untuk menyisakan satu hari saja hanya
untuk diri sendiri atau untuk urusan lain di luar pekerjaan.
Menjelang siang, perut tiba-tiba
keroncongan, di sekretariat IDEC belum ada yang bisa dikunyah dan terik sudah
menusuk, salah satu solusinya yaitu lekas mandi dan jalan keluar mencari makan
di warung. Sehabis mandi, handphone berdering, ada contact dari Kak Yusuf
(WWF), “Idham, lagi dimana? Ayo ke Bandara jemput Pak Wawan,” ajaknya. Saya
meng-iya kan. Ujub-ujub ada kejadian hari itu, untung waktu itu sudah mandi,
jadi dapat langsung meluncur. Kami pun bertemu di depan PUSDAM (Pusat Dakwah
Muhammadiyah) Tamalanrea, tempat saya menitip motor untuk sementara.
Alamak, akhirnya rencana
leyeh-leyeh otomatis batal. Sebab yang akan kami jemput adalah Wawan Ridwan, Direktur Program Marine WWF –
Indonesia. Sebelumnya pernah sekali bersapa dengannya, itupun hanya secuplik
sebab cuma jabat erat dan perkenalkan nama. Dari perkenalan pertama itu, saya
tahu bahwa Pak Wawan adalah sosok yang akrab. Dan hari itu saya diberi kesempatan
untuk menemaninya selama berjam-jam. Sejak kami jemput di bandara, makan siang,
makan malam, hingga nongkrong di pantai losari menjelang tengah malam. Di
Bandara kami juga menjemput Ranggi dan Wahyu, staff WWF – ID yang bertugas
untuk melakukan penilaian awal terhadap kondisi bahan baku perikanan ramah
lingkungan.
Dari bandara kami mendrop Pak
Wawan di Hotel Quality dan Mas Ranggi di Hotel Aston. Setelah mereka menyimpan
barang di hotel, kami mengajaknya ke lokasi RM. Imperial Star dan Istana Laut
(milik bersama) untuk mengecek kondisi tempat dan makanannya. Di rumah makan, Pak
Wawan heran melihat ada ikan kotak-kotak (sejenis ikan buntal) yang dibekukan
di lemari pendingin. “ Kasihan melihat Ikan yang biasa kita lihat saat menyelam
itu menjadi santapan,” ujarnya. Kalau menurut Muh. Yusuf disebabkan karena
fantasi liar orang Makassar yang selalu ingin mencoba hidangan baru. Kami pun
memesan ikan kue-cepak goreng, bandeng, dan baronang, serta masing-masing air
kelapa muda. Alhamdulillah, saya betul-betul lahap saat itu, soalnya telah
menahan lapar dari tengah hari dan baru bisa makan pada pukul 15.30 Wita.
Beruntung saat itu saya tidak
memesan kerapu, ternyata status kerapu untuk konsumsi di Makassar berada pada
kondisi rentan (warna merah).
Sehabis makan siang kami mengantar
Pak Wawan kembali ke Hotel Quality. Kak Yusuf lalu mengajak kami mangkal di
Cafe Dapur Sulawesi, sebenarnya untuk menghabiskan waktu sembari membuka laptop
dan mengerjakan tugas-tugas yang belum rampung. Saya senang dengan suasana
Dapur Sulawesi, cafe yang terletak di sudut jalan dekat Benteng Rotherdam itu
menawarkan pemandangan keramaian jalan Ujung Pandang, dengan aroma kopi yang
menyengat, serta derai tawa para pengunjung lain. Di sana kak Ucu sibuk
mengerjakan tugas-tugasnya, begitu pula ranggi, dan saya mengajak Mas Wahyu
untuk diskusi tentang pengolahan hasil perikanan, khususnya ikan tuna.
Menurut Wahyu masih banyak
problem dalam mempertahan sumberdaya serta penangkapan di Indonesia. Diantaranya, penangkapan ikan tuna belum
menerapkan standar IUU Fishing (illegal, Unreported and Unregulated Fishing),
sehingga jatah ekspor ikan tuna Indonesia hanya 700 ton pertahun, jauh dibawah
jatah ekspor negara-negara lain di wilayah asia tenggara. Pihak luar atau
organisasi tuna dunia belum membuka akses lebih pada Indonesia karena masih
banyak terjadi praktek-praktek penangkapan tuna yang tidak ramah lingkungan.
Meski begitu, angka ekspor tuna sebenarnya menurut Wahyu berkisar 1200 ton.
Jadi sekitar 500 ton tidak terdaftar atau diluar jatah ekspor.
Malamnya kami kembali menjemput
Pak Wawan untuk agenda makam malam. Waktu itu Pak Wawan mengusulkan Konro Bakar
Karebosi, ia tersengat dengan rasa konro bakar yang pernah ia coba di salah
satu rumah makan di Jakarta. Sembari mencicipi dengan lahap, pak Wawan ngobrol
tentang pertandingan bola populer, Ranggi dan Wahyu menanggapi, dan saya
bengong-bengong saja, soalnya tak tahu perkembangan bola. Saya mengingat-ingat,
terakhir santap konro bakar ketika menemani Mas Candhika dan Mas Gogon dalam mengurus
kesediaan tim konsultan Kementerian Lingkungan Hidup Makassar untuk evaluasi
proper PT. MMA (Mustika Marinusa Aorora) yang masih berada dalam garis merah.
sayangnya, rasa wow Konro sesaat di lidah berbanding terbalik dengan efek
pusing sehabis makan. Malam itu saya betul sempoyongan sehabis menghabiskan
beberapa daging bakar pada tulang iga tersebut.
Rasa nyut-nyut masih terasa
ketika kami nongkrong di pinggir jalan dekat pantai Losari. Untung sedikit
ternetralisir saat mengunyah pisang epek, dan meminum air aqua banyak-banyak. Hal
lucu yang kami temukan, sebab tempat kami nongkrong saat itu tepat di depan
atau tak jauh dari hotel Quality. Ternyata, jauh-jauh kami mengelilingi
Makassar, stay-nya justru di depan hotel quality. Hehehe..
Kala itu Pak Wawan bercanda
tentang upaya seorang kru WWF yang berupaya keras merebut hati seorang staff
WWF lainnya. Sembari berceloteh tentang para pengamen jalanan yang dengan
asal-asalan menyanyi, tidak tuntas dan segera menyodorkan tangan untuk minta
uang. Menurutku ini sudah agak mendingan, dibanding kondisi pantai losari pada
tahun 70-an, dimana banyak para penyakitan kusta berkeliaran meminta-minta,
jikalau pengunjung tak menyodorkan uang, para penyakitan itu akan
menggosok-menyentuhkan kulit lepra/kustanya ke kulit pengunjung. Meski begitu,
menurut Wawan ada baiknya para pengamen ini diorganisir agar lebih professional
dan mereka pun mendapat lebih banyak apresiasi. Begitu pula dengan para penjual
jajanan pisang epek, mestinya mereka diberi bantuan, agar mereka lebih kreatif
dalam menyediakan penganan khas makassar tersebut.
Kami tak begitu lama di pisang
epek, saya sendiri tak mampu menghabiskan tiga potong pisang coklat keju. Kami
pun mengantar para tamu itu kembali ke hotelnya masing-masing. Dan berharap
besok rencana menyambut Jim Leape bisa lancar dan sesuai rencana.
Bertemu Jim Leape
Minggu, 8/9, kami telah membagi
tugas, KaK Yusuf telah stand by di Bandara untuk menunggu kedatangan Jim Leape,
Leida Ped dan seorang rekan WWF lainnya. Sementara saya terlebih dahulu ke RM.
Imperial Star untuk memberi aba-aba ke para pelayan untuk segera menyediakan
hidangan sesaat para undangan tiba. Menu yang disediakan cukup banyak, ada
udang, ikan putih (cepak), kepiting, sayur-sayuran, mie titi’, ayam goreng,
ikan masak. Selain itu, untuk mengarahkan para tamu undangan lain (stakeholder
Makassar), serta tim WWF Jakarta yang kebetulan bertugas di Makassar. Saat itu
hadir Habibi, David, Ciquita yang baru saja melakukan assessment terhadap
lokasi dampingan YKL (Yayasan Kelola Laut) dan didampingi NGO Perikanan, yaitu
Mattirotasi.
Tamu yang terlebih dahulu datang
adalah rombongan WWF dan NGO mitra yang baru pulang dari Pulau Tanakeke,
Takalar. Kemudian beriringan datang Kak Bobby dari BRPBAP Maros, Prof Alpa,
Prof Syamsul Alam, dan Pak Hamzah dari Unhas. Tak lama kemudian, datanglah Jim
Leape bersama Ibu Leida Ped, dan seorang lagi rekan Jim Leape.
Saya melihat langsung Jim Leape
untuk pertama kalinya. Berjabat tangan dengan erat. Tubuhnya tinggi menghampiri
dua meter, berkacamata dengan kerutan di leher. Ia terlihat segar dengan senyum
ramah, dan berucap, “nice to meet you”. Saya begitu bersemangat kala itu, walau
harus menghadapi tantangan untuk bisa memahami perbincangan yang dilangsungkan
dalam bahasa inggris. Ibu leida Ped, tampil sangat meyakinkan. Ia menjabat kami
begitu memesona. Kami pun duduk melingkar, sekitar 20 partisipan waktu itu,
dihadapan begitu banyak menu makanan.
Jim Leape bergabung di WWF Amerika
Serikat pada 1989, sebelum memimpin WWF – International pada 2005. Jim
merupakan lulusan doktoral Harvard College dan Harvard Law School. Jim memulai
karirnya sebagai pengacara lingkungan, beberapa kali menangani kasus
perlindungan lingkungan di Amerika Serikat. Sebelumnya ia pernah menjadi
penasehat United Nations Environment Programme di Nairobi, Kenya, dan
co-authoring teks Amerika terkemuka tentang
hukum lingkungan.
Leida Ped, ibu muda yang
eksenterik memimpin dialog, ia mahir berbahasa Indonesia. Ternyata beliau
pernah lama melakukan riset tentang hiu dan biota laut di perairan spermonde,
yang waktu itu bekerjasama dengan kelautan Unhas. Leida saat ini memimpin
program pembenahan karang dan biota laut pada lima negara beririsan CTI (Coral
Triangle Initiative), yaitu Indonesia, Filipina, Solomon, Papua Nugini, dan
Timor-Timor. Karena itulah beliau sangat pasih memandu sesi diskusi singkat
saat itu, disamping membantu menerjemahkan pernyataan-pernyataan stakeholder
yang memakai bahasa Indonesia.
Mulanya adalah sesi perkenalan
diri, masing-masing peserta memperkenalkan nama dan perannya dalam dunia
perikanan. Untuk WWF Indonesia diwakili oleh Habibi (Koordinator Capture, WWF –
ID), yang menjelaskan langkah-langkah yang dilakukan WWF-ID untuk meminimalisir
jejak-jejak kerusakan pada ekosistem perairan. Diantaranya melakukan dialog
dengan beragam stakeholder untuk menentukan standar pengelolaan lingkungan,
serta melakukan pendekatan bisnis untuk perbaikan lingkungan, dengan
pengelolaan lingkungan sesuai standar MSC (Marine Stewardship Council) dan ASC
(Aquaculture Stewardship Council), bekerjasama dengan mitra lokal dalam
advokasi pengelolaan, serta melakukan penyadaran ke masyarakat umum tentang
konsumsi produk perikanan yang bertanggungjawab. waktu itu saya memperkenalkan
diri dengan sedikit terbata-bata, maklum saya baru memulai untuk mempraktekkan
perkenalan dengan menggunakan bahasa Inggris.
Dialog pun dimulai dengan
pertanyaan Jim Leape terkait implementasi EAFM (Ecosystem Approach to Fisheries
Management) di Sulawesi Selatan. Pertanyaan itu ditanggapi oleh Prof Alfa, yang
mengatakan bahwa pendekatan tersebut masih terhadang persoalan sosial ekonomi
masyarakat yang begitu ribet. Bagi masyarakat, pendekatan EAFM masih sangat
ideal, sebab masyarakat masih berkutat soal ekonomi/perut, sehingga pendekatan
yang digunakan masih bersifat parsial berupa maksimalisasi pada teknis
penangkapan. Sebab jika memasukkan indikator ekosistem/habitat serta redesain
alat tangkap akan menyebabkan menurunnya daya tangkap. Sementara pada
pengamatan sekilas, kehidupan nelayan masih tampak terseok-seok. Walaupun kadang
itu terlihat menipu, sebab banyak juga nelayan yang sebenarnya kehidupan
ekonominya baik, dengan pendapatan yang besar, namun karena dananya tidak
dikelola dengan bagus sehingga dengan cepat modal itu habis.
Prof Syamsu Alam menanggapinya,
apakah pendekatan ini akan bernasib sama dengan program Coremap (Coral Reef Rehabilitation and Management
Program)? dimana program bantuan Bank Dunia tersebut hanya berlangsung
beberapa tahun dan akhirnya tersendat dan gagal. Pendekatan Coremap dianggap
tidak tepat sasaran, banyak kegiatan yang tidak lanjut dengan sarana prasarana
rusak, selain itu konservasi karang tidak terjadi (justru semakin menurun),
sementara ekonomi masyarakat sekitar tidak berubah.
Tanggapan tersebut kemudian
ditampung oleh Leida Ped, yang kemudian bersemangat menanyakan kondisi
penangkapan Tuna di Indonesia, yang disesuaikan melalui pendekatan EAFM.
Menurutnya di tempat lain ia menemukan contoh bahwa tuna bisa dibudidayakan?
Pertanyaan ini ditanggapi dengan pesimisme audiens, budidaya tuna belum bisa
dilakukan, sebab mengharuskan cost besar untuk fasilitas dan pakannya. Serta
mengharuskan tersedianya ruang yang besar untuk menampung, membudidayakan tuna
tersebut. Sehingga ide tersebut dianggap terlalu rumit dan belum terbayangkan
oleh audiens/stakeholder Makassar.
Jim Leape saat itu dengan tenang
menyantap makanan laut, berupa udang, kepiting, dan ikan, ia pun minum jus
sirsak. Ia makan sembari mendengarkan diskusi dan pernyataan para stakeholder.
Ia pun melontarkan pertanyaan seputar perbaikan ekosistem dengan pendekatan
bisnis? Pertanyaan ini kalau tidak salah kurang ditanggapi oleh para
stakeholder. Padahal sebenarnya bermaksud untuk menggali peran atau pelibatan
sektor swasta dalam perbaikan dunia perikanan, serta inisiatif pemberian insentif
pada pelaku-pelaku perikanan yang melakukan perbaikan dalam pengelolaan bahan
baku perikanan atau dalam proses penangkapan ikan.
Tema bisnis ini ditanggapi oleh Edy
Hamka, direktur Mattirotasi, menurutnya pendekatan bisnis agak sulit dilakukan
pada tingkatan masyarakat lokal. Sebab konsumsi komoditas perikanan yang biasa
dikonsumsi masyarakat lokal yaitu ikan-ikan permukaan yang berharga rendah atau
ikan hasil budidaya (milk fish). Sementara ikan demersal dan ikan tuna biasanya
digunakan untuk ekspor, sehingga pendekatan intensif mesti dilakukan pada
perusahaan-perusahaan ekspor.
Dialog berlanjut dengan tema
peran birokrasi/pemerintah dalam perbaikan dunia perikanan. Pada tema ini
sayangnya saya kurang menyimak, tapi tampaknya tidak ada statement menarik pada
tema birokrasi ini. Walaupun sebenarnya banyak hal yang bisa didiskusikan,
seperti kebijakan pemerintah dalam penetapan standar budidaya melalui CBIB
(Cara Budidaya Ikan yang Baik) dan CPIB (Cara Pembenihan Ikan yang Baik) untuk
komoditas budidaya perairan. Standar milik pemerintah ini sudah
disosialisasikan di masyarakat, tapi dalam penerapannya membutuhkan waktu dan
SDM yang berkualitas, serta kajian sosial, ekonomi dan budaya masyarakat petani
tambak. Sebab untuk kasus Sulawesi, masih sekitar 277 unit tambak yang telah
bersertifikat CBIB. Di samping standar milik pemerintah ini lebih pada aspek
ketahanan pangan dan jaminan mutu. Belum begitu melirik aspek ekosistem,
keanekaragaman hayati, serta aspek sosialnya.
Lalu Leida Ped, mengajak audiens
untuk mendiskusikan tema akuakultur di Sulawesi Selatan, Bobby, Peneliti dari
BRPBAP menanggapi pertanyaan tersebut. Bobby bercerita panjang tentang kegiatan
penelitian udang dan kondisi budidaya perairan di Sulsel. Bobby sempat
menyinggung tentang penelitian induk udang (Broodstock) di Barru yang sementara
mengembangkan spesies yang dapat resisten terhadap virus WSSV. Namun, Leida Ped
menolak konsep pengembangan spesies tersebut. Sebab ujicoba GMO (Genetically
Modificated Organism) dapat berdampak buruk bagi keseimbangan organisme (rantai
makanan) di ekosistem. Juga berefek pada pencemaran keanekaragaman hayati.
Seorang audiens sempat
mengungkapkan bahwa Indonesia belum begitu membutuhkan pendekatan EAFM, sebab
hal tersebut merupakan kepentingan dan kebutuhan negara-negara lain. Menurutnya Indonesia butuh menggali apa
kebutuhan dasar Indonesia sendiri. Tapi itu ditanggapi kembali oleh Jim Leape,
saya tak begitu paham apa yang beliau katakan. Tapi saya akan menjabarkan bahwa
pendekatan EAFM merupakan pendekatan yang bersifat multidimensional dengan
banyak indikator, yaitu habitat-ekosistem, sumberdaya ikan, teknis penangkapan
ikan, sosial masyarakat, ekonomi masyarakat, kelembagaan dan tata kelola. Dengan
kacamata banyak aspek ini diharapkan sumberdaya ikan yang sudah kritis tersebut
dapat dikelola secara berkelanjutan, dengan melibatkan aspek ekosistem,
perbaikan ekosistem secara tidak langsung akan menjaga ketersediaan (stok) ikan
di alam, yang nantinya akan tetap dapat dinikmati oleh anak dan cucu kita.
Diskusi berlangsung selama dua
jam, pukul 15.30 Wita diskusi akhirnya ditutup. Jim Leape dkk pun bersiap-siap
ke Bali. Pimpinan WWF – International itu hendak melihat hiu dan konservasi
penyu di sana. Sehabis foto bareng, para tamu pun satu persatu pulang. saya,
David, dan Cita masih di restoran, bersama sisa-sisa makanan di atas meja.
Dalam hati pun masih tersisa senyuman
Jim Leape, beserta tatapan hangat menembus lapis kaca matanya. Saya hanya
bangga, doktor lulusan Harvard itu datang kepada kami, makan dan bertanya,
bukan memberikan penjelasan panjang lebar yang mungkin saja tidak saya
mengerti.
Idham Malik, 18 September 2013
Staff Akuakultur SBS
0 komentar:
Posting Komentar