Jam delapan pagi kami sudah
bersiap-siap menjelajahi Lombok Timur, 8 Juni 2013. Di sana kami (Nur Ahyani
dan saya) akan ke Jerowaru, kecamatan yang warganya banyak mengusahakan tambak
udang dan bandeng. Sehabis sarapan roti bakar di Restoran Hotel Handika, mobil
avanza ada di halaman, Mas Totok sang pemilik moda angkutan jasa travel muncul
dengan rambut disanggul ke belakang, dengan lengan kanannya bergambar dedaunan.
Sekilas dia tampak seperti artis film laga.
Perjalanan menempuh waktu satu
jam. Di sana kami menemui Amin Abdullah (47), pimpinan KSU (Koperasi Serba
Usaha) Masyarakat Tani dan Nelayan “Sabuk Hijau”. Sejak setahun lalu koperasi
yang dipimpinnya menjalin kerjasama dengan World
Food Program (WFP) untuk mendorong kegiatan silvofishery, pemanfaatan bakau dalam pemeliharaan bandeng. Sebelumnya
Amin banyak berkoordinasi dengan dosen dari IPB, LIPI, dan dosen Universitas
Mataram, untuk bersama-sama melakukan pendampingan dalam pengelolaan manajemen
lingkungan perairan. Sudah bertahun-tahun beliau bersama masyarakat menanam
bakau di pesisir Jerowaru.
Menurut Amin, tambak di Jerowaru
dominan tambak tradisional dan tradisional plus. Tambak yang luasnya banyak di
atas satu hektar. Tambak-tambak ini disesuaikan dengan kondisi iklim. Pada
musim-musim tertentu (Juli – November), tambak-tambak ini berganti fungsi
menjadi tambak garam. Sebagian tambak-tambak ini pun sejak setahun kemarin
dimanfaatkan untuk kegiatan demonstrasi plot tambak Silvofishery. Luas tambak tersebut yaitu 14 hektar dan dikelola
oleh sebelas orang anggota kelompok. “Bandeng dipelihara selama empat bulan,
modal sedikit dan hasilnya juga tidak seberapa, tapi itu cukup membantu para
warga di sini,” kata Amin.
Sementara untuk tambak udang
tradisional, mengandalkan bibit dari alam sebab kepadatannya cukup rendah, 50
ribu – 100 ribu ekor perhektar. Mereka kadang memberi pakan tambahan sekali
dalam sepekan dan kadang tidak diberi pakan. Mereka pun memanen sesuai kebutuhan,
tidak langsung panen. Pada tambak tradisional ini jarang ditemukan kendala
penyakit atau kegagalan. Hasilnya pun lumayan, ada udang yang besarnya lima
udang perkilogram atau 200 gram, tapi rata-rata 20 udang perkilogram.
Dua tahun terakhir, tambak semi
intensif mulai diterapkan di Jerowaru. Yang menginisiasi adalah H. Mansur dan
diikuti oleh Pak Ahbad dan beberapa petani lainnya. Mereka dibantu dan dibimbing
oleh para teknisi dari sebuah perusahaan pakan. Petani mulai menggunakan kincir
dan pakan tambahan, manajemen kualitas air dalam tandon, pintu masuk dan pintu
keluar. Namun dalam implementasi tambak intensif ini tidak semuanya berhasil.
Contohnya Bapak Ahbad.
Ahbad (42) seorang guru di
Sekolah Perikanan Lombok Timur mengaku telah menghabiskan dananya sebesar 200
juta untuk mengejar peruntungan melalui tambak udang semi intensif. Namun,
percobaannya dan impiannya tidak terkabulkan, sudah empat kali dia mencoba dan
ke empat-empatnya mengalami kegagalan.
Ahbab bercerita bahwa dasar
tambaknya mengandung lumpur yang cukup dalam. Pernah ia mencoba mengangkat
lumpur tersebut, tapi semakin digali semakin dalam dan tidak ada habisnya. Dia
juga telah melakukan pengukuran kualitas air, dan katanya sudah memenuhi
persyaratan. “Jenis tanah, benur, pakan, pH, semuanya hampir sama dengan tambak
milik H. Mansur,” ungkap Ahbab.
Pada percobaan pertama ia menebar
bibit sebanyak 300 ribu secara merata pada tiga tambak dan sebuah tandon yang
seluruhnya seluas 1,5 hektar. Hasilnya mengecewakan, pada umur dua bulan udang
sudah melayang-layang dan harus diangkat. Diperoleh hasil 90 kilogram dengan
ukuran udang 125 perkilogram.
Dari kegagalan pertama itu ia tak
menyerah, bersama teknisi ia melakukan pembenahan dan persiapan untuk penebaran
kedua. Ia pun menebar 500 ribu benur dengan sejuta harapan akan keberhasilan,
demi mengembalikan modal pertama. Namun, apa daya, udang lagi-lagi mati dalam
jangka dua bulan. Waktu itu diperoleh hasil panen 300 kilogram, ukuran 125
perkilogram. Lebih baik dari yang pertama tapi tetap merugi jika dibandingkan
dengan ongkos yang telah dikeluarkan. Sama halnya dengan penebaran ketiga,
kegagalan menghadang lagi. Tapi kali itu hasilnya agak lebih mendingan, yaitu 500
kilogram dengan penebaran 400 ribu. Penebaran keempat sudah mulai membaik,
dengan penebaran tidak terlalu besar, yaitu 100 ribu dengan hasil 10 kwintal
atau 1 ton.
Sayangnya Ahbab tidak mampu
menjelaskan ciri-ciri udang yang mati tersebut. Dia hanya mengatakan bahwa udang
mati mengambang, dan banyak mati di bawah kincir. Ia memprediksi bahwa
kegagalan ini disebabkan oleh lumpur tambak yang sudah kalah. Kami pun tidak
memperoleh penjelasan tentang kualitas air dan tanah, apakah tanah itu
mengandung racun (H2S), amoniak tinggi pada air, atau seperti apa? Apakah
terserang penyakit? Kita tidak tahu.
“Sebaiknya petambak jangan dulu
menerapkan tambak semi intensif yang membutuhkan modal besar. Sebab dengan
tambak tradisional kemungkinan berhasilnya lebih besar, walau hasilnya tidak
sebesar hasil tambak intensif,” ujar Amin Abdullah. Saat ini Ahbab kembali ke
sistem tradisional. Ia memelihara bandeng yang dianggap minim resiko.
Selain Ahbab, H. Mansur juga mencoba
tambak semi intensif, dan H. Mansur berhasil. Waktu itu kami duduk-duduk di
balai depan rumah Pak Haji. Sembari ngobrol, keluarlah empat cangkir kopi dan
sebungkus rokok dalam mangkuk. Bapak yang sudah melewati usia emas ini sudah
melewati empat siklus pemeliharaan pada tambak seluas 2,5 hektar yang terbagi
dalam 4 petak tambak dan sebuah tandon.
Siklus pertama ia lewati dengan
terbata-bata. Keuntungan tidak besar, ia menebar 300 ribu dan memelihara hingga
dua bulan. Hasilnya 2 ton dengan size 150 perkilogram. Ia bangkit pada siklus
kedua, menebar 600 ribu ekor, dipelihara selama 100 hari. Ia menambah kedalaman
tambak hingga 100 centimenter. Hasil panen lumayan, 5 ton 6 kwintal. Menurut
Wahju Subachri, Senior Fisheries WWF-Indonesia, hal utama dari kualitas tambak
salah satunya adalah kedalaman tambak. Kedalaman mempengaruhi suhu,
ketersediaan oksigen, serta mempengaruhi tingkat stress udang. Pada siklus
ketiga, tambak milik H. Mansur terkena banjir, penebaran yang berjumlah 600
ribu itu hanya menghasilkan panen 3 ton 2 kwintal, dengan size 80 ekor
perkilogram.
Pada sekeliling tambaknya tampak
rimbun bakau. H. Mansur sendirilah yang menanam pepohonan itu sejak 12 tahun
silam. Bakau menjadi penetralisir dan punya peranan dalam pengelolaan kualitas
air di lingkungan tambak. bakau juga menjamin keberlangsungan kelimpahan keragaman
genetik di perairan.
Kembali ke bale-bale depan rumah,
kami disuguhkan air kelapa muda oleh H. Mansur. Menelan air kelapa membuat
sisa-sisa asap rokok di lambung terdorong keluar. Kami pun meninggalkan pak Haji.
Malam hari kami kembali ke
Mataram, dengan kantung mata yang tertahan. Semoga perjalanan ke Jerowaru
membawa hikmah.
1 komentar - Skip ke Kotak Komentar
Apabila Anda mempunyai kesulitan dalam pemakaian / penggunaan chemical , atau yang berhubungan dengan chemical, jangan sungkan untuk menghubungi, kami akan memberikan konsultasi kepada Anda mengenai masalah yang berhubungan dengan chemical.
Salam,
(Tommy.k)
WA:081310849918
Email: Tommy.transcal@gmail.com
Management
OUR SERVICE
Boiler Chemical Cleaning
Cooling tower Chemical Cleaning
Chiller Chemical Cleaning
AHU, Condensor Chemical Cleaning
Chemical Maintenance
Waste Water Treatment Plant Industrial & Domestic (WTP/WWTP/STP)
Degreaser & Floor Cleaner Plant
Oli industri
Posting Komentar