Pukul 10.00 pagi, terik sudah
menusuk, Bandara Sultan Hasanuddin tampak jumawa oleh langkah-langkah migrasi,
lalu lalang orang pulang dan pergi. Bandara layaknya pasar tempat orang tawar menawar,
di sana ada loket tiket, warung makan, bising tengik agen transportasi. Sejarah
dahulu dibangun di tempat seperti ini, tempat barang datang dari negeri yang
jauh dan hasil bumi diangkut ke sauh untuk diantar di bumi kuning. Tampaknya,
ratusan juta uang beredar saban hari di tempat ini.
Do Minggo, 27 Oktober itu, saya
ikut antri di loket Garuda, bersama puluhan calon penumpang lain. Tak disangka,
terjadi keributan di loket, terlihat seorang ibu dan bapak protes ke petugas
dan meminta jadwal penerbangannya tidak ditunda. Tiba-tiba saja pihak garuda
menunda penerbangan ratusan orang hari itu ke jadwal penerbangan berikutnya.
Alasannya karena kursi sudah penuh dan mereka tak dapat memberikan jawaban
kenapa penumpang gelap itu asalnya dari mana? Orang-orang yang protes itu
bertahan di depan loket, membuat kami yang dibelakang seperti patung yang
kelelahan menunggu. Tak terasa sudah hampir satu jam saya ikut antri, namun tak
mendapat kepastian. Saya mendatangi petugas loket dan menyodorkan tiket, dia
bilang jadwal Anda juga ikut ditunda. Tanpa berfikir panjang saya menerima saja
kebijakan itu, walau dengan sedikit gerutu, “Kok bisa garuda berbuat hal
ceroboh seperti ini?”
Sisa waktu yang berkisar tiga jam
itu saya luangkan untuk duduk di cafe bandara, menyeruput kopi dan membuka
laptop untuk mengerjakan tugas kantor yang lain. Cafe bandara ini cukup
diminati banyak orang, tengah hari orang berdatangan untuk mengisi kampung
tengah atau sekadar minum kopi menanti panggilan terbang. Setelah mengerjakan
sebagian tugas ketik-an, saya pun bergegas ke ruang tunggu, menanti
keberangkatan.
Garuda kecil itu take off pada
pukul 14.00 dan mendarat di Bandara Jalaluddin, Gorontalo pada pukul 16.00.
Bandara yang dari luar terlihat lawas itu menyisakan sepotong kenangan akan
bandara lama di Makassar. Dengan hamparan padang hijau-nya di sepotong keliling
mata, aspal hitam yang basah dengan garis-garis kuning yang kita langkahi
menuju pintu masuk ke ruang bagasi, dan luas kotak landasannya yang cuma dapat
memarkir tiga atau empat pesawat saja.
Bandara adalah tempat pertama
kali kita menandai rasa sebuah kota. Dengan terik mataharinya, menaranya, dan papan
ucapan selamat datang. Bersama penumpang lain saya memasuki gerbang, melihat gestur
wajah petugas bandara dan supir taksi, mendengar logat bicara mereka, membuat
alam imajinasi saya membumbung. Tampaknya setiap tempat mempunyai rasanya
masing-masing. Yang begitu luar biasa emosional pada pengalaman pertama,
kunjungan kedua kadar emosinya bisa jadi menurun. Rasa penasaran melempem dan
mungkin hanya mensisakan rasa rindu semata.
Pikiran saya kembali disibukkan
dengan pertanyaan bagaimana dapat tiba di Boroko dengan selamat? Boroko
merupakan pusat kota Kabupaten Bulaang Mongondow Utara atau disingkat Bolmut.
Saya bertanya ke supir taksi untuk kesediaannya mengantar ke Boroko, namun tak
satu pun supir taksi yang mengiayakan. Beruntung ada supir bentor yang dengan
mata nyalang bertanya-tanya tentang arah tujuan. Saya bilang ke Bolmut. Dia
menjawab, kita naik bentor (becak motor) ke Terminal Sentral Asimo dan menunggu
mobil angkutan ke Boroko. Saya menurut saja pada supir bertubuh bongsor itu.
Bentor-nya lumayan besar dan full music. Kami pun berbelok-belok, keluar
bandara dan tiba di tepi jejeran pertokoan, depan sebuah mesjid besar. Saya
disambut gembira oleh para kernet dan meminta untuk menunggu sebentar angkutan
ke Boroko. Sekitar setengah jam saya mengamati mobil lalu lalang, pengendara
motor, pejalan kaki. Akhirnya ada mobil yang mengarah ke Boroko, sebuah mobil
angkot dengan kapasitas 15 orang. Saya duduk di bangku paling belakang bagian
tengah, diapit oleh dua bapak tua yang mengenakan peci. Di bangku tengah duduk
ibu tua beserta para cucu-cucunya. Di bangku tengah depan, tepat di belakang supir
terdapat anak-anak muda duduk berdempet-dempetan. Mobil pun melaju gegas,
dimeriahkan oleh lagu Manado dan Ambon yang mengiringi perjalanan kami.
Lagu daerah sangat cocok menemani
penumpang sepanjang perjalanan. Apalagi saat memandang kiri kanan jalan yang dirimbuni
pepohonan kelapa, jati putih, pohon kayu, dan rumah-rumah kotak dengan halaman
dihiasi bunga-bunga. Pemandangan desa dengan jalan sempit, terdapat penduduk
setempat menghabiskan waktu nongkrong petang hari dan hanya satu dua mobil yang
melintas, sangat menawarkan rasa khas Indonesia. Indonesia yang dalam damai
menyerap pelan modernitas, walau kian terasa janggal ketika kita mengunjungi
pelosok dan pinggir-pinggir Indonesia. Pada ruas-ruas jalan itu, kekuatan alam
dan fisik begitu dominan, dimana rakyat menggantungkan hidup pada keberadaan
sumberdaya alam yang sebenarnya sudah mulai rentan.
Tiga setengah jam perjalanan
melintasi petang akhirnya mobil tiba di depan Hotel Triputra, Boroko. Hotel
yang ruang tamunya dihiasi oleh rak berisi buku-buku sejarah, filsafat dan
agama. Terdapat buku Moh. Hatta di sana. Ada juga Buku tentang Imam Ali. Saya
tak punya banyak waktu untuk mengamati judul-judul buku, sebab tubuh minta
istirahat sejenak di kamar penginapan. Sayang, penginapan itu tak menyediakan
makan malam, sementara perut sudah minta jatah makan malam, apalagi tadi siang
juga lupa diisi penganan berat. Saya mencoba untuk berjalan-jalan ke luar dan
mencari warung-warung kecil yang menjual makan. Akhirnya setelah menempuh jarak
sekitar 150 meter dari penginapan, terdapat kios kecil yang menjual nasi
kuning.
Dengan suhu kamar 24oC,
malam itu saya tidur begitu lelap dan terbangun pukul 07.00 pagi. Setelah mandi
dan sarapan, saya menghubungi Bapak Yudi (pegawai dinas bidang kehutanan
Bolmut) untuk konfirmasi kunjungan ke pengusaha-pengusaha kayu di sekitar Kec.
Bintuna, Bolmut. Bapak Yudi akan ke hotel setelah upacara Sumpah Pemuda, 28
Oktober, namun hingga pukul 10.00 belum ada tanda-tanda bahwa ia hendak
bertandang ke hotel. Saya berinisiatif untuk menghubunginya via handphone,
Bapak Yudi meminta maaf karena beliau sedang sibuk mengurus administrasi dan
persuratan Workshop Sertifikasi Kayu pada 30 Agustus, dia meminta saya berkenan
untuk datang ke kantornya yang bersebelahan dengan Kantor Pertanian Bolmut.
Mendengar kabar itu saya tanpa membuang-buang waktu segera chek out dan mencari bentor untuk diantar ke kantor
kehutanan.
Awalnya saya kesal dengan sikap
Bapak Yudi yang tidak segera memberi konfirmasi, tapi ketika tiba di kehutanan
dan disambut hangat, rasa kesal saya itu melempem dan justru timbul rasa
persaudaraan. Yudi terlihat sibuk mondar-mandir membawa berkas-berkas persiapan
pelatihan yang juga didukung oleh SCF (Sulawesi Community Foundation), yayasan
nirlaba yang mengutus saya ke daerah ini untuk mengamati aktivitas industri
pengolahan kayu. Yudi pun membantu menghubungkan saya dengan Adink, staff honor
yang selama seharian itu menemani saya mampir ke industri-industri primer
kehutanan.
Bidang Kehutanan Bolmut
Pada sela waktu di Kantor
kehutanan, saya berkesempatan untuk wawancara dengan Kepala Bidang Kehutanan,
Bolmut, Ir. Daniel Palilu. Saat itu saya mencoba untuk mencari tahu gambaran
besar industri primer kayu dan bentuk dukungan pemerintah Bolmut untuk menjaga
kelestarian dan keberlanjutan industri primer. Alhamdulillah, bapak berdarah
Toraja itu merespon dengan baik.
Industri kehutanan di Bolmut
menurut pengamatan Daniel masih dalam kondisi stabil. Hanya saja beberapa
industri sedikit terhambat ketersediaan bahan baku kayu. Enam industri yang
masih bertahan mengandalkan bahan baku dari hutan rakyat, seperti kayu rimba
campuran (aras, bugis, bayur, nantu/nyatoh, bolangitang), kayu jati
putih/gmelina, jabon. Sumber kayu lainnya berasal dari kawasan hutan produksi
dengan melakukan tebang pilih, seperti kayu jenis Cempaka dan Aliwowos/besi
perempuan. Namun Daniel tidak menjelaskan metode pengambilan kayu dari hutan
produksi.
“Sebenarnya pemilik HPH mempunyai
kewajiban untuk menyisihkan lima persen sumber kayunya untuk industri kecil.
Tapi sampai saat ini masih sebatas komunikasi dan belum ada tindak lanjut,”
ujar Daniel. Kayu HPH yang dikelolah PT. Huma Sulut Lestari saat ini sepenuhnya
dikuasai oleh PT. Bela Samia Lestari yang kayu olahannya dijual hingga ke
Manado, Surabaya, dan kota lainnya. Beberapa sumber juga mengatakan bahwa PT.
Huma Sulut Lestari dan PT. Bela Samia Lestari berada di bawah kendali orang
yang sama, yaitu Muh. Djohan Liando. Selain itu, menurut Daniel, pasar kayu PT.
Bela Sania lebih baik dibanding industri kayu saingannya. “walau harga tinggi,
kayu PT. Bela Samia Lestari lebih disukai karena kualitasnya unggul,” kata
Daniel.
Pihak kehutanan juga sudah
melonggarkan perizinan dalam memanfaatkan hutan rakyat. Masyarakat boleh
memanen kayunya sendiri tanpa ada surat-surat tertentu dari Bidang Kehutanan,
tapi mereka tetap diharuskan untuk melaporkan kegiatan pemanenannya tersebut.
“Kayu rakyat yang dikembangkan adalah jenis kayu yang mudah tumbuh, seperti
jabon dan gmelina,” tambah Daniel. Dukungan terhadap kayu rakyat dimulai pada
2010 dengan menggalakkan program KBR (Kebun Bibit Rakyat). Mayarakat pun tidak
sungkan-sungkan lahannya ditanami tanaman kayu. Meski begitu ada juga yang
beranggapan bahwa kayu jabon dan jati mudah pecah dan kurang baik untuk industri
rumah panggung. Sehingga jenis kayu itu hanya digunakan untuk kebutuhan rumah
tangga lainnya, seperti pembuatan plafon, latah (kerangka atap) atau lapis
berseri untuk dinding. Kayu yang digunakan untuk kebutuhan industri rumah
panggung yaitu Aliwowos (Besi perempuan) untuk tiang dan kerangka rumah, nyatoh
diolah menjadi lembar seri untuk dinding, jendela, plafon, tangga, dan
ornamen-ornamen lainnya. Kayu Nyatoh bisa digantikan jenis kayu rimba campuran
yang lain, yang di Bolmut dikenal dengan kayu Bolangitang.
Mengantisipasi kayu ilegal yang
mungkin masih beredar di wilayahnya, Daniel merespon wacana SVLK untuk
diterapkan pada industri pengolahan kayu di Bolmut. Kayu harus dapat dilacak
asal usulnya dengan pengamatan dokumen asal usul kayu, baik lokasi pengambilan
kayu, jenis, diameter/umur, dan surat keterangan pengangkutan. Wacana ini sudah
mulai diketahui oleh para pengusaha kayu dan mereka merespon positif kebijakan
pemerintah untuk memperketat keterlacakan kayu. Saya mendapat informasi bahwa
sudah ada pengusaha yang mencoba untuk melakukan aplikasi SVLK dengan penyiapan
berkas-berkas. Para pengusaha kayu tersebut sementara ini melakukan konsultasi
dengan konsultan dari SCF untuk penyiapan sertifikasi legalitas kayu.
Menuju Kawasan Industri Kayu
Tengah hari kami siap-siap
berangkat ke Kecamatan Bintauna, tempat beberapa industri kayu berada. Menuju
Bintauna memerlukan sekitar satu jam perjalanan dari Kota Boroko. Beruntung
saya ditemani Adink, pegawai berumur 30 tahun ini sudah kenal dengan para
pelaku industri kayu primer di Bintauna, sehingga akan memudahkan proses wawancara.
Waktu itu ikut pula Sasli, pegawai honor kehutanan juga.
Dalam perjalanan terdapat banyak
kebun jati yang ditanam oleh masyarakat. Kebun jati itu tersebar di beberapa
desa yang dilewati, seperti Desa Salemo
dan Desa Binuanga. Bahkan di Binuanga, rimbun jati putih yang merambat di
kejauhan itu adalah milik Sinyo Hary Sarundajang, Gubernur Sulawesi Utara.
Kepemilikan kebun tersebut sudah berlangsung selama 6 tahun dan merupakan bekas
HPH.
Masuk ke wilayah desa Bahabak
terhampar pepohonan kelapa sejauh mata memandang. Perkebunan kelapa ini milik
sebuah perusahaan yang mengolah bahan baku kelapa menjadi kopra. Kopra adalah
kumpulan daging kelapa yang dikeringkan untuk dijadikan bahan baku minyak
kelapa dan turunannya. Beda lagi di desa Binjaita, di sana terlihat banyak
petak-petak sawah. Namun sawah di daerah ini sangat bergantung dengan musim
atau tadah hujan karena belum adanya sarana irigasi.
PT. Bela Sania Lestari (BSL)
Industri pertama yang kami datangi
adalah PT. Bela Sania Lestari (BSL) yang berlokasi di Desa Bunong, Kec.
Bintauna. Dari pintu masuk, perusahaan ini tampak boyas dengan hamparan tanah
luas yang di sisi-sisinya ada kayu gelondong dan limbah kayu yang
bertumpuk-tumpuk, di kejauhan tukang sibuk memotong, menghaluskan balok-balok
beragam ukuran. Mobil truk pun terparkir di dalam ruang kerja, hendak menelan
kayu-kayu siap pakai ke dalam bagasi-nya.
Saya diajak Adink ke ruang kerja
pegawai dalam gedung persegi panjang. Di sana kami menemui Erwin (30-an),
penakar kualitas/quality control, pria ini tahu betul seluk beluk kayu. Setelah
disodorkan undangan pertemuan pengusaha kayu dari Dinas Kehutanan, Erwin
bersedia memberikan informasi tentang produk dan pasar.
BSL menerima bahan baku
sepenuhnya dari PT Huma Sulut Lestari, yang merupakan perusahaan penerima
konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), satu-satunya HPH yang masih bertahan di
Bolmut, terletak di Desa Nunuka, Kecamatan Bolangitang Timur. Sebelumnya masih
ada satu HPH yang bernama Lembah Hijau Semesta (LHS), tapi sudah dialihtangankan
menjadi kebun jati putih milik Sarundajang, Gubernur Sulut. Sebab itu BSL tidak
kesulitan memperoleh bahan baku. Dalam sebulan perusahaan tersebut dapat
mendatangkan kayu log sebanyak 2 – 3 mobil truk, dimana satu mobil dapat memuat
18 – 20 kubik. “Namun pengambilan bahan baku tersebut tidak tentu, karena
kadang terkendala cuaca yang dapat menyebabkan jalanan becek. Jarak ke sumber
bahan baku itu sekitar 60 – 70 kilogram,” ucap Erwin.
Kayu dengan jenis meranti,
nyatoh, rimba campuran, aras, dan binuang, bolangitang itu dengan segera diolah
oleh para pegawai menjadi balok besar, balok sedang, papan, groti kecil, lembar
seri, atau produk lokal seperti pintu, bingkai jendela. Hasil olahan itu
diangkut ke Manado atau ke Surabaya melalui Bitung dan diangkut menggunakan
kontainer. Sejauh ini rata-rata BSL menghasilkan 300 – 400 kubik perbulan.
Saat melihat proses kerja di
pabrik, pegawai sementara memasukkan balok kayu ke dalam mobil truk untuk
diangkut ke Manado. Pegawai lain bertugas untuk membelah-belah kayu sesuai
ukuran yang diinginkan. Sehingga di sana terdapat potongan-potongan balok
dengan berbagai ukuran.. terdapat pula
potongan-potongan kayu besar yang belum diolah, pada setiap log kayu terdapat
catatan pada lingkaran kayu, yang memuat informasi posisi tegakan di hutan,
diameter, hutang yang belum dibayar. “Nomor kayu itu berguna bagi para petugas
kehutanan yang tiap tahun melakukan pengecekan jejak tebangan (Cruising),” ujar
Erwin.
UD. Lili Meubel
Tak begitu lama kami di Bela
Sania Lestari (BSL), kemudian kami bergeser ke UD Lili Meubel milik Bapak
Reksosiswoyo, biasa disapa Bapak Leko. Perusahaan industri primer yang dari
segi luas lahan pabrik dan jumlah produksi lebih kecil ini sudah berjalan
selama dua tahun. Berdiri setelah Bapak Leko tidak lagi menjadi penerbit bagi
UD. Bukit Karya Lestari, dan berkeinginan menerbitkan kayu dari perusahaan
sendiri. Namun, karena itu Bukit Karya Lestari hingga saat ini mandek tidak
beroperasi karena tidak punya penerbit kayu. “semua industri kecil di Bolmut
mempunyai penerbit sendiri,” ujar Adink.
Leko mengatakan bahwa UD. Lili
Meubel telah menghasilkan bahan baku siap pakai sebanyak 500 kubik setahun dan
30 - 50 kubik perbulan. Berbeda dengan BSL yang bahan baku dari HPH, UD Lili
memperoleh bahan baku dari Kayu Rakyat dan dari Hutan Produksi. Setiap minggu
UD Lili menerima kayu gelondongan sebanyak satu truk mobil yang memuat 7 – 8
kubik kayu. kemudian kayu itu diolah selama satu minggu menjadi beberapa
turunan olahan.
Untungnya masih banyak tanaman
kayu lokal yang berada di kebun rakyat, yaitu jenis rimba campuran (Aras,
Buarao, Bugis, Bayur, Nantu/Nyatoh, dan Bolangitang). “Kayu lokal ini digunakan
untuk kebutuhan bahan baku rumah lokal/rumah biasa, sedangkan kayu nyatoh dan
aliwowos serta kayu bugis dapat digunakan sebagai bahan baku rumah panggung
khas Minahasa-Tomohon,” ucap Leko.
UD. Lili juga menerima kayu jenis
baru yang dipromosikan oleh Bidang Kehutanan Bolmut, yaitu jenis jati putih
(gmelina) dan jati kebon (Jabon). Jenis jati ini diintroduksi sejak program
Kebun Bibit Rakyat (KBR) pada 2010. Kayu-kayu tersebut dibeli perkubik, jati
dan gmelina seharga Rp. 1.3 juta dan kayu jenis buarao seharga Rp. 900 ribu.
Untuk kayu dari hutan produksi, meranti seharga Rp. 1,25 juta perkubik dan kayu
rimba campuran seharga Rp. 1 juta perkubik.
Perolehan kayu yang berasal dari
hutan produksi lah yang lebih menantang. Dimana jenis-jenis kayu tertentu,
seperti Aliwowos dan Cempaka hanya diperoleh dalam hutan. Industri kayu seperti
UD. Lili Meubel, UD Rakyat Mania dan UD. Elvit harus menyewa para penebang kayu
untuk masuk di pelosok-pelosok hutan produksi, yang letaknya bersebelahan
dengan kawasan HPH. Setelah ditebang, kayu-kayu itu digerek oleh sapi melewati
pelosok-pelosok hutan hingga tiba di aliran sungai. Kayu itu terbawa air dan
diarahkan hingga tiba di Desa Paku. Dari sinilah batang-batang pohon itu
diangkut ke truk dan diantar ke industri. Jarak desa Paku diperkirakan 60 - 70
kilometer dari kawasan industri.
Sejauh pengamatan saya, tidak ada
keluhan dalam proses pengambilan kayu itu. Meskit tampaknya para pengusaha
maupun pemerintah malas memberi info detil aktivitas penebangan kayu di dalam
hutan. Mungkin pihak industri hanya tahu beres, bayar penebang pohon dan tunggu
kayu tiba di industri. Sementara pemerintah berfikir yang utama adalah
kelengkapan surat-surat pengambilan kayu. Menyikapi hal itu, setidaknya tetap
harus dilakukan pemantauan terhadap jumlah tebangan dan potensi restorasi
ekosistem hutan. Setelah itu harus ada upaya penanaman kembali jenis-jenis
pohon yang dibutuhkan oleh industri. Kita dapat memperidiksi jumlah kayu di
hutan produksi dan jumlah kebutuhan kayu oleh industri, sehingga kita dapat
memperkirakan apakah ekosistem hutan dapat melakukan peremajaan sendiri (outomatis)
setelah terjadi penebangan kayu.
Menurut Anton Sanjaya, Manager
Program SCF, pengambilan kayu di hutan produksi itu belum menjadi masalah.
“Jika pengambilan kayu dilakukan secara tebang pilih, satu persatu, itu tidak
akan mengganggu kestabilan ekosistem hutan tropis. Yang dapat merusak itu
adalah pengambilan secara massif terhadap kayu di hutan. Itu tidak akan
mengembalikan kestabilan ekosistem hutan tropis,” kata Anton. Memang kalau
diamati dari jauh, dari tepi jalan Desa Salemo dan Binuanga, kawasan itu masih
terlihat rimbun dengan hijau terhampar.
UD. Lili pun mengaku belum
mendapat hambatan serius. “Sejauh ini kendala yang kami hadapi yaitu modal,
permintaan banyak dan bahan baku juga bisa diakses,” ungkap Leko. Bersama
Steven dari UD Rakyat Mania, Leko termasuk pemasok bahan baku untuk kebutuhan
kayu rumah panggung di Woloan, Tomohon. Setiap bulan dia memperoleh pesanan
dari Woloan untuk menyediakan bahan baku berupa balok besar ukuran tiang dan
kerangka rumah dari kayu Aliwowos, groti kecil dan lapis berseri (kayu nyatoh
dan bolangitang) atau ukuran lainnya ke pemasoknya di Woloan. “Para pemasok itu
rata-rata belum punya ijin usaha dan berskala rumah tangga. Yang sering meminta
kayu itu ada Weli, Sawon, dan Oon,” kata Leko, yang saat itu sibuk
menghitung-hitung dengan kalkulator.
Sementara pesanan untuk kebutuhan
rumah lokal, dapat berupa papan lebar (tebal 4 centimeter, lebar 15 – 20
centimeter), papan sempit (tebal 5 centimeter dan lebar 10 centimeter), dan balok
hati (tebal 10 centimeter dan lebar 20 – 30 centimeter). Saat itu balok-balok
groti kecil sementara dinaikkan ke dalam mobil truk, seorang pegawai sementara
menandai ujung balok dengan kapur tulis. Truk tersebut hendak bergerak ke
Manado. “Harga papan sekitar Rp. 2.5 juta perkubik, jadi untungnya sekitar satu
juta perkubik,” ungkap leko.
Leko mengirim produksi kayunya
sebanyak dua kali sebulan ke Manado dan Tomohon melalui jalur darat. Sekali
mengirim menggunakan sebuah truk yang dapat memuat tujuh sampai delapan kubik
balok-balok kayu. Waktu tempuh ke Manado memakan waktu selama 6 – 7 jam. “Namun
kadang dalam sekali kirim para supir harus menyetor uang jalan ke beberapa pos
pengamanan di sepanjang jalan Bolmut – Manado. Pengeluaran sekali jalan hingga
2 – 3 juta rupiah,” ungkap Adink.
Selanjutnya, terkait isu kayu
ramah lingkungan, Leko mulai mengenal garis besar SVLK. Beliau siap untuk
mengikuti pelatihan SVLK yang diadakan pada hari Rabu, 30 Oktober 2013 itu.
“Kami akan mengarah ke SVLK, kami harus mempelajarinya lebih banyak,” ujar Leko.
UD Rakyat Mania
Kami berkunjung ke UD. Rakyat
Mania, Desa Talaga, Kec. Bintauna pada waktu yang kurang tepat. Bapak Steve,
pemilik industri sedang tak ada di tempat dan kami hanya menemui pegawainya
yang bernama Opank. Pegawai yang sudah berumur itu merasa tidak berwenang untuk
membeberkan informasi perusahaan, sehingga kami cukup kesulitan untuk menggali
data perusahaan yang dengar-dengar sudah mulai mengurus sertifikasi SVLK.
Meski begitu, satu hal menarik,
saya dapat menyaksikan rumah panggung yang dimaksud, melihat motif dan
ukurannya. Mengamati warna kayu yang dipoles halus pada lembar-lembar seri yang
tertempel di dinding dan plafon. Rumah kayu yang merupakan prototipe/model
rumah panggung Minahasa khas Woloan itu tampaknya merupakan satu-satunya rumah
panggung di daerah itu. “Rumah ini cuma contoh saja, siapa tahu ada orang lokal
sini yang berminat membangun rumah panggung. Jadi tidak perlu jauh-jauh memesan
ke Woloan,” ungkap Opank.
Saya melihat-lihat ke belakang,
produk olahan kayu yang dihasilkan UD. Rakyat Mania sama dengan perusahaan yang
lain, yakni papan, groti kecil, balok besar (untuk tiang), lapis berseri. Jenis
kayu yang digunakan juga sama, rimba campuran dan aliwowos, namun jenis kayu
yang mendominasi produk yang ada di sana saat itu adalah kayu bolangitang dan
nyatoh. “Aliwowos belum ada karena belum ada yang memesan,” kata Opank.
Sama halnya dengan UD. Lili
Meubel, UD. Rakyat Mania mengirim produknya ke Manado - Tomohon dan ke
Surabaya. Kayu Aliwowos yang telah bertranspormasi menjadi balok-balok untuk
tiang dan kerangka bangunan itu banyak dikirim ke UD. Panca Putra di Woloan,
Tomohon. UD Rakyat Mania dengar-dengar sudah mulai mengajukan seleksi untuk
memperoleh sertifikat verifikasi legalitas kayu. Sehingga saat ini sudah ada
dua perusahaan yang berniat mengikuti anjuran pemerintah agar perusahaan teliti
betul dalam memperoleh kayu, dimana kayu harus jelas asal usulnya dan diperoleh
dengan prinsip-prinsip ramah lingkungan. UD. Rakyat Mania mewakili industri
primer dan UD. Panca Putra mewakili industri lanjutan sebagai pilot project
SVLK.
Sebenarnya kami belum puas
menggali informasi di UD. Rakyat Mania, namun kami harus segera meninggalkan
Bapak Opank yang begitu hati-hati memberi informasi. Kami kemudian mengunjungi
UD. Elvita yang dipimpin oleh Bapak Firman, namun sayang seribu sayang, Bapak
Firman tak ada di tempat, beliau saat itu berada di Manado. Sehingga kami hanya
sekadar mengamati proses pengolahan kayu di pabrik belakang rumahnya. Para
tukang kayu UD. Elvita sementara menghaluskan sebuah pintu yang bahan bakunya
dari kayu cempaka. “Biasanya kami menyelesaikan dua pintu sehari,” kata tukang
yang tak diketahui namanya. Di sana terdapat juga balok-balok kecil (groti
kecil), papan, dan balok besar. Jenis-jenis kayunya sama dengan industri primer
yang lain, yaitu rimba campuran, meranti, cempaka, jati, jabon. “Ada juga kayu
besi di sana, namun para tukang tidak mau bilang,” kata Adink. Ibu Ning, istri
Firman juga tak banyak omong. Sehingga informasi yang diinginkan tak dapat
diperoleh.
Petang hari, Perjalanan ke Manado
Hari mulai menyusut, semburat
senja mulai merona di cakrawala. Kami pun kembali ke Boroko untuk negosiasi
peminjaman mobil. Sekaligus untuk menghimpun tenaga untuk pemberangkatan ke
Manado. Saya beruntung hari itu, dapat ditemani sama Adink dan Sasli, dua
tenaga honorer yang terlihat tak lelah menamani untuk mengunjungi industri.
Syukur pun berlipat dua ketika Adink bersedia untuk mengantar hingga ke
Tomohon. Dalam kondisi lelah dia menyetir mobil menembus gelap dan meraba ruas
jalan sempit, dimana mobil harus hati-hati ketika hendak berpapasan.
Alam imajinasi saya tidak sampai
untuk menjawab apa gerangan yang menghubungkan antar peristiwa? Kenapa ruang
dan waktu membuka gerbangnya untuk dijelajahi? Kenapa banyak orang baik yang
datang membantu? Ini merupakan misteri yang tidak pernah terjawab. Masa depan
adalah urusan masa depan, kita hanya bisa meramalkan, memprediksi. Yang
terjawab hanyalah pristiwa saat ini, faktisitas, fakta yang tiba-tiba hadir.
Kemudian kita tercenung, dan merenungi bahwa betapa tidak kuasanya kita di
hadapan ruang dan waktu.
Terbit di : www.scf.or.id (Sulawesi Community Foundation)
Terbit di : www.scf.or.id (Sulawesi Community Foundation)
Idham Malik
7 November 2013, Tamalanrea, Makassar.
0 komentar:
Posting Komentar