Saya sudah lupa, berapa kali
datang ke Djakarta, kota yang sedari dulu kusut oleh lalu lalang dan semraut
dalam tata letak. Seingatku, waktu pertama kali singgah di Jakarta, 2 September
2006, aromanya begitu kenes, dinding-dinding bata dan konstruksi bandara
menubruk alam sadarku tentang eksotisme bercampur kegelisahan. Derap kaki
orang-orang menunjukkan bahwa kota ini begitu tergesa-gesa, lesat, dan waktu
menjadi takaran yang penting. Itulah yang saya rasakan pada awalnya, dan waktu
itu saya masih hijau, masih terselungkup oleh batok, yang tak mengerti apa arti
di balik ketergesahan itu.
Sekarang, setelah sedemikian kali
berkunjung ke jakarta, aroma gesa itu kian menyengat. Apalagi saya tak sekadar
mengamati, melihat orang bolak-balik, tapi turut ikut berbolak-balik. Bahkan turut
berjingkrak-jingkrak, hingga sempoyongan. Dahulu, saya hanya butuh beberapa
gelas air putih yang biasanya saya ambil percuma di galon
organisasi-organisasi, dan kini saya sudah membutuhkan suplemen dan kopi
bergelas-gelas. Walau sebenarnya itu sekadar penawar saja terhadap laju
metabolisme tubuhku yang konstan dan cendrung melandai turun. Yang terkadang
tiba-tiba stag, seperti pikiranku mati di tengah jalan, kesulitan mencerna,
merasionalisasi, mengingat, dan segala hal yang berhubung dengan kerja otak.
Kejadian-kejadian itu pun menjadi
bayolan. Ketika kita menjadi limbung dan disorientasi, kemudian meracau tak
nyambung, tampaknya merupakan kenyataan yang ditolak oleh kota besar. Kota besar
menghendaki terang yang direct,
sebuah relasi yang pas tanpa kelok, anda yang terbiasa berkelok-kelok pun akan
merasakan ketegangan. Seperti tali yang terbiasa melengkung di atas permukaan
air, tiba-tiba dipaksa menjadi tali jemuran.
Saya mengendus, dengan segala
inferioritas saya terhadap hal-hal yang berbau asing, bahwa kota ini selalu bersembunyi
di balik kedok objektivitas, di belakang rasio positivistik, di antara wong
cilik yang tiba-tiba juga berfikiran kapitalistik. Sahdan, hantu itu bersemayam
dalam rongga dada masing-masing orang, menular dari lapisan ke lapisan kalau
kita percaya ada itu yang disebut strata. Saya tak tahu kenapa simtom-simtom
itu menjangkiti siapa saja, dimana orang menjadi terprivat, terspesialisasi.
Orang mulai tak acuh dengan hal-hal yang berbau lumpur, lumpur pun hanya
menjadi tontonan orang banyak, yang justru kian menjadi tips membuat benteng,
agar tak ikut terjerambab. Ada ketakutan orang-orang, dalam dirinya untuk
kembali atau ikut dalam hisapan lumpur.
Mental inilah yang dahulu membuat
para orang pintar nan bijak untuk membuat rasionalisasi, teori. Ambillah
contohnya Adorno dan Horkheimer, yang dengan gelisah menatap rasio masyarakat
modern yang ujuk-ujuk termekanis, yang diputar-putar dan diaduk dalam sistem
ekonomi dan administrasi birokratis. Om Horkheimer merasa proyek pencerahan
yang dibentuk secara massif oleh masyarakat kapitalis lanjut (yang juga mewabah
ke Djakarta), juga sebagai biang keladi munculnya cara berfikir yang positif,
yang selalu merujuk pada teknik, metode, dan hitung-hitung. Ia menyebutnya
sebagai rasio instrumental. Rasio ini menindas nilai-nilai yang dahulunya
menjadi perekat untuk saling menyemai, saling membangkitkan diri atau diri
tenggelam dalam luapan mistik komunitas, mengusung ide-ide komunal yang
mendewakan solidaritas. Aspek solidaritas merenggang, privatisasi melebar, dan
orang-orang menjadi hantu bagi orang-orang lain. Solidaritas pun melempem dan
hanya menjadi mitos yang terus menerus disingkirkan dalam terang logos
produktivitas. Orang menjadi alat bagi orang lain untuk memproduksi sesuatu
bagi orang lain. Orang lain tak tahu dari mana produk itu, siapa yang buat,
yang mereka tahu hanyalah transaksi, hanyalah proses tukar menukar.
Orang – orang kota pun hidup
untuk meneruskan bentuk yang telah ia rangkai, ia susun dengan pola yang sama.
orang mencari bentuknya sendiri dan betah dalam bentuk yang tunggal itu. Orang
menjadi satu dimensi, istilah yang diperkenalkan oleh Herbert Marcuse, One-Dimensional Man. Hal ini terlihat
dari pojok mana pun anda melihat, dan tentu akan sulit mengamatinya dari
teleskop Monumen Nasional (Monas). Manusia satu dimensi ini ada di mana saja,
di tempat-tempat kerja, di caffe-caffe, di apartemen-apartemen. Tentu, anda
yang terbiasa keluar masuk dalam banyak dunia, akan cepat merasa bosan dengan
kehidupan yang selayak mesin ini. Meski
begitu, akan sulit melampaui keterbatasan ruang yang telah mengkotak-kotakkan
tersebut. Kita pun akhirnya tenggelam dalam dominasi total teknokratisme.
Teknokratisme mensasarkan pada
apa yang akan kita capai secepat mungkin. Dengan selalu bersandar pada target
dan schedule, orang pintar menyebutnya ‘tindakan-rasional-bertujuan’. Tindakan
ini hinggap pada jaring-jaring struktur, dimana orang-orang mengambil peran
sesuai dengan kompetensi-nya masing-masing. Dimana tiap orang punya tujuan yang
telah dikerangka-kan dengan jelas, dan semakin lapang tujuannya, semakin
tinggilah bayaran orang itu.
Meski demikian, kerangka tujuan
yang hidup dalam strukstur organisasi kerja atau manajemen ini, pada akhirnya mentok
dan orang yang berfikir tentang masa depan rasionalitas tersebut mengalami
kemacetan untuk membebaskan (emansipasi) masyarakat modern. Untuk itulah orang
cerdas lain mencarkan jalan keluar untuk menyelamatkan logika masyarakat modern,
untuk tidak terjebak hanya dalam dunia praktis, dunia kerja. Kemudian, Jurgen
Habermas memandu kita untuk tidak saja melihat manusia dari aspek ‘kerja’ atau
kata yang lebih marxis disebut sebagai ‘praksis’.
Menurut Habermas, jika kita hanya
berpatok pada praksis, perjuangan revolusioner hanya dipahami sebagai
penaklukan kelas atas kelas. Hidup tak sepenuhnya berbicara tentang kerja
ataupun jam kerja. Walau saya pun selalu mengeluh dengan tugas-tugas dan jam
kerja yang begitu ajaib nan melelahkan. Praksis kerja pun menyimpan paradigma
produksi, bahwa subjek mengendalikan objek, manusia menaklukkan alam. Walau
saat ini tampak terbalik, alam-lah dalam hal ini cuaca-lah yang mengendalikan
aktivitas manusia. manusia justru kewalahan mengatur hal yang tampak sepele,
yaitu mengatur air. Air yang sebenarnya jatuh normal, dan selalu tepat waktu.
Hanya saja, manusia semakin melepaskan diri dari air, semakin menganggap air
sebagai sesuatu yang asing. Yang hanya digunakan sebagai media pembersih dan
membantu mengencerkan darah.
Makanya Habermas menganjurkan
jalan lain untuk keluar dari kebuntuan dunia struktur ‘kerja’, yaitu jalan
komunikatif. Ia membedakan antara tindak rasional bertujuan (instrumental
maupun strategis) dengan tindakan komunikatif yang berorientasi pada ilmu-ilmu
historis/reflektif-hermeneutis. Komunikatif diandaikan membuka jalan bagi
dimensi moral pada ruap-ruap imajinasi manusia. Dalam komunikasi, terdapat ruang-ruang
yang bebas dominasi sehingga memungkinkan terlaksananya kepentingan
emansipatoris. Walau pun dalam komunikasi itu terdapat dominasi dari segi
kuantitas, dimana orang yang punya karakter ekstrovert akan berbicara sepanjang
dia punya energi untuk berbicara. Sementara orang introvert akan diam sambil
merawat informasi yang tertanam di kepalanya. Meski begitu, yang dibutuhkan
adalah kekuatan konten dalam berkomunikasi. Walau lagi-lagi ada orang yang
kesulitan membahasakan sesuatu. Informasi selalu tersangkut di ujung lidah dan
ketika ia ngomong sesuatu, selalu ada informasi yang hilang atau tersendat. Ini
lagi-lagi harus dicari akar histori, psikologis dan sosiologisnya. Dimana
inferioritas selalu hinggap pada orang-orang introvert. Saya pun menghadapi hal
itu, yang begitu sulit membahasakan sesuatu pada tim atau komunitas. Apalagi
jika komunitas itu sangat berbau manajerial dan berbasa-basi tak penting.
Tapi, dalam kenyataannya, praktek
komunikasi juga selalu tersendat oleh kurangnya bahan, kurangnya data yang
dapat diolah dan dilontarkan. Ini jugalah kemudian yang mengkotak-kotakkan
orang saat berkomunikasi, dimana begitu rumit menyambungkan selera
masing-masing orang. Dimana ada yang serius membincangkan hal-hal rumit,
sementara banyak orang yang justru intens hanya membicarakan orang-orang di
sekitarnya.
Dan saya menemukan itu di
Jakarta, dimana orang dengan bangga bercerita tentang kehebatan dan
kekonyolannya, atau tentang kekonyolan orang lain. Dan kekonyolan yang paling
tragis yaitu, ketika praktek komunikasi tak terbangun antar manusia yang hidup
bersama dalam satu kotak gedung yang disebut apartemen. Orang-orang hanya
saling menatap di lift, tanpa ada pretensi untuk berkenalan, untuk mencari tahu
siapa tentangga sebelah kamar. Praktek komunikasi menjadi buntu. Orang pun
ramai-ramai membawa dunia privat-nya ke dunia sosial/publik. Orang dengan
gampang memakai baju tidur dengan kain sedikit melindungi tubuhnya ke
ruang-ruang publik.
Sedikit tentang informasi yang tersendat itu, dapat dilacak menggunakan pendekatan Karl Jasper, yang melihat bahwa manusia selalu menampakkan ke-akuan-annya di hadapan orang lain. Manusia menjadi terasa sifat rohaniahnya dengan bersama orang lain. Aku bersama aku yang lain (alter ego). Proses bersama itu dirawat dengan komunikasi, komunikasi menjadi mata rantai eksistensi manusia. jika proses pengungkapan diri itu tak penuh dan patah, hal tersebut akan menjadi sebab kerusakan mental manusia. Proses pengakuan dirinya terhadap orang lain (intersubjektivitas) menjadi timpang dan memancing prilaku asing tampak, yang bisa saja menuntut pengakuan tertentu.
Sedikit tentang informasi yang tersendat itu, dapat dilacak menggunakan pendekatan Karl Jasper, yang melihat bahwa manusia selalu menampakkan ke-akuan-annya di hadapan orang lain. Manusia menjadi terasa sifat rohaniahnya dengan bersama orang lain. Aku bersama aku yang lain (alter ego). Proses bersama itu dirawat dengan komunikasi, komunikasi menjadi mata rantai eksistensi manusia. jika proses pengungkapan diri itu tak penuh dan patah, hal tersebut akan menjadi sebab kerusakan mental manusia. Proses pengakuan dirinya terhadap orang lain (intersubjektivitas) menjadi timpang dan memancing prilaku asing tampak, yang bisa saja menuntut pengakuan tertentu.
Dan saat ini, di sebuah caffe di
sekitar apartemen. Saya berada di antara orang-orang kota yang sibuk dengan
dunia-nya sendiri, tanpa ada kehendak untuk menggamit, untuk menyapa yang lain.
Kalibata, Jakarta Selatan
27 Februari 2014
Idham Malik
0 komentar:
Posting Komentar